21. Ibu Kota Maetala

65 10 6
                                    

Bau harum menyeruak ketika Gajah Lembong membuka matanya disebuah kasur empuk nan mewah. Di samping dipan sudah tersedia satu mangkuk sup beruap untuk sarapan. Dia duduk dipinggir dipan, melihat ke sekeliling. Sebuah kamar dengan dinding batu dan perapian di tengahnya telah dia huni sejak dia dipindahkan dari penjara, sehari lalu. 

Tatapannya teralihkan manakala dia melihat bias cahaya masuk melalui jendela di pojok kamar. Dia mendekati jendela lengkung itu. Dari sana dia bisa melihat megahnya kota Maetala di pagi hari. Kanal-kanal yang dipenuhi kapal terlihat dari atas sana seperti gerombolan semut yang sedang berjalan. Disisi lain, dia bisa melihat dataran tinggi memanjang dengan puncak yang tertutup oleh salju.

Gajah Lembong kini berada di kastil ibu kota Maetala. Dia menempati kamar yang berada di atas salah satu menara nya. Sepertinya Raja Maetala benar-benar berbaik hati kepada nya. 

"Gusti Lembong...," bisik seseorang berusaha membangunkan Gajah Lembong dari lamunannya namun tidak berhasil.

"Gusti...," sekali lagi pria itu bersuara mendekati Gajah Lembong. Untuk membangunkan Gajah Lembong dari lamunannya yang ketiga kalinya, si pria tadi menyentuh bahu Gajah Lembong yang sedang duduk di jendela lengkung dikamarnya. 

Terkaget, Gajah Lembong menjawab panggilan di pria itu. "Oh, Demong..., bagaimana kabarmu?" 

"Saya baik Gusti. Bagaimana dengan Gusti? Saya melihat Gusti sedang tidak baik-baik saja?"

"Aku baik saja Demong. Hanya sedikit merenungi keberadaan kita di Maetala," keluh Gajah Lembong. "Kita sudah berhasil sampai di Maetala membawa nama Majapahit, sama seperti sumpah kita kepada Raja Wikramawardhana." Gajah Lembong tersenyum puas. "Sumpah kita sudah puput!"

"Maksud gusti bagaimana?"

"Kita sudah menjalankan tugas kita sesuai dengan sumpah Bhayangkara kita kepada Baginda Raja dan Mahapatihnya. Sumpah kita sudah selesai. Kita sudah bebas Demong!" 

"Hanya saja Gusti..." Bhre Demong merasa sedikit ragu mengungkapkan isi hatinya. Dengan sedikit terbata dia melanjutkan pendapatnya. "Apakah Gusti bermaksud menyudahi Ekspedisi Pedaksina ini?"

"Tentu saja kita masi harus keluar dari Maetala Demong. Dan aku bertanggung jawab akan hal itu kepada kalian!" seru Gajah Lembong. "Tapi setidaknya semua itu lebih ringan, satu beban kita sudah hilang. Pada awalnya aku fikir bahkan gilitua adalah sebuah kebohongan, apalagi tempat yang disebut Maetala ini."

"Aku juga begitu Gusti, sempat ada keraguan. Tapi, dengan bantuan keyakinan dari Gusti akhirnya kita bisa sampai juga ke tempat ini."

"Bagaimana dengan Uleng dan Lancap? Apakah mereka bersama mu?" tanya Gajah Lembong.

"Mereka bersamaku Gusti. Tadi kami berpisah. Mereka mencoba berkeliling kastil ini, mencari informasi."

"Baguslah kalau begitu." Gajah Lembong beranjak dari pinggir jendela. "Aku ingin melihat-lihat kota Maetala yang megah ini Demong. Barangkali sekembalinya kita ke Trowulan, kita bisa meniru hal-hal baik yang kita temui disini."

"Saya setuju Gusti," jawab Demong. "Gusti, ada hal yang ingin saya diskusikan lebih lanjut kepada Gusti Lembong."

Bhre Demong menuju ke arah pintu besar milik kamar Gajah Lembong. Dia menutup pintunya.  

"Sepertinya kita akan segera diantarkan ke Kertala Gusti. Sebelum saya sampai disini, saya dan Sorengpati lainnya sempat mendengar percakapan pengawal gilitua yang sedang mempersiapkan pasukan pengawalan kita Gusti. Mendengar hal itu Uleng dan Lancap memisahkan diri untuk mencari informasi lebih lanjut."

"Sebesar apa pasukan yang akan mereka kirimkan?"

"Kami belum tahu Gusti. Namun, bagi saya hal ini sungguh sangat berbahaya apabila pasukan gilitua masuk ke Kertala."

Gajah Lembong berpikir sesaat. Apa yang dikatan Demong memang sejalan dengan perkiraan kejadian yang sudah direncanakan oleh Mardukh. Mau bagaimanapun Gajah Lembong bertanggung jawab akan semua resiko yang terjadi apabila sampai pasukan Maetala ini masuk ke Kertala. Apalagi Gajah Lembong juga tahu bahwa secara kekuatan dan teknologi perang, manusia di Kertala masih tertinggal dari gilitua.

"Aku mempercayakan hal ini kepada Mardukh dan Enil. Aku yakin mereka tahu bagaimana cara menghadapi persoalan ini."

 "Namun bagaimana bila perhitungan mereka meleset Gusti?"

"Kita sama-sama tahu, kekuatan Majapahit di Kertala akan kalah jauh dibanding satu batalion pasukan gilitua. Tidak ada jalan lain selain pura-pura bodoh, bahwa kedatangan mereka adalah untuk menjalin hubungan dagang, bukan untuk menakhlukan. Sampai kemudian mereka percaya pada kita dan mulai lengah, kita bisa mengalahkan mereka. Sama seperti yang dilakukan Sang Rama Wijaya kepada pasukan Monggol."

Pembicaraan di pagi itu berakhir. Demong undur diri dari kamar Gajah Lembong. 

Sesaat kemudian seorang pengawal gilitua mengetuk pintu kamar Gajah Lembong yang tertutup. Setelah dipersilahkan masuk, pengawal itu menyampaikan penawaran untuk bisa menemani Gajah Lembong  dan Sorengpatinya mengelilingi Maetala sebagai tamu kerajaan.

Pada sore harinya, Gajah Lembong dan ketiga sorengpatinya diajak oleh pengawal tadi untuk berkeliling. Mereka menaiki mammoth yang telah dipasangi tempat duduk dengan penutup atap yang akan melindungi mereka dari matahari. Mammoth itu tinggi menjulang, gadingnya telah dipotong sehingga nampak tumpul. Dengan gerakannya yang lemah gemulai namun cepat, mamoth itu membawa rombongan Gajah Lembong keluar dari lingkungan kastil. Jalanan di Maetala cukup lengang, karena kebanyakan warganya menggunakan perahu dan sampan.

Si pengawal dengan telaten menjelaskan mengenai bangunan-bangunan yang ada di Maetala. Dia menunjuk ke arah kaki gunung urla untuk menunjukan lokasi bangunan pertama di Maetala, yaitu menara purva. Lebih jauh lagi si pengawal menunjuk ke bangunan piramid di sebelah sebuah kanal. Gajah Lembong dan sorengpatinya di buat kagum dengan piramid itu. Warnanya yang kekuningan terbuat dari emas, memantulkan cahaya matahari yang menyilaukan.

"Apakah kaliah kagum dengan piramid ini?" tanya si pengawal dengan bangganya, seolah-seolah dia adalah pemilik dari setiap bangunan yang ditunjukannya. "Simpan kekaguman kalian. Aku memiliki bangunan yang lebih indah dan lebih besar."

Mereka melanjutkan perjalanannya. Melewati beberapa jembatan dan bangunan tinggi, akhirnya mereka sampai di sebuah taman. Taman itu ramai oleh gilitua yang menghabiskan sore harinya dengan bersantai dan bercengkrama dengan keluarga dan handai taulan. Pada mulanya Gajah Lembong merasa kebingungan apa sebenarnya yang ingin ditunjukan oleh si pengawal kepadanya. Setelah beberapa saat, Gajah Lembong baru sadar dibelakangnya terhampar susunan batu yang menjulan tinggi, hingga ujung atasnya tertutup awan.

"Aku persembahkan kepada rekan-rekan dari Majapahit, Piramid Nergal!!!" teriak si pengawal. "Meskipun piramid ini belum selesai, kalian bisa membayangkan bukan betapa besarnya piramid ini."



Maetala - Ekspedisi PedaksinaWhere stories live. Discover now