12. Seorang Arkeolog - 1996

84 13 0
                                    

"Sudah ku bacakan separuh lebih dari lontar emas pertama kita, bagaimana menurutmu?" Katherine bertanya, membangunkanku dari lamunan yang panjang.

Saat itu jam dinding sudah menunjukan pukul 4 pagi. Aku bisa dengan jelas membayangkan apa yang Mpu Denula tuliskan di separuh lontar emas yang pertama. Sebuah perjalanan yang tidak pernah diduga mampu dilakukan oleh orang-orang Majapahit dijaman itu. Barangkali lontar ini adalah cerita relik yang sama dengan Ramayana atau Mahabarata. Sebuah cerita fiksi fantasi yang berhubungan dengan kesakralan ajaran agama.

"Apa mungkin cerita ini hanya cerita relik suci dari masa Majapahit?" jawabku.

"Ah, awalnya aku juga berfikir seperti itu Cup. Tapi Mpu Denula mampu memberikan penanggalan waktu dengan gamblang," jawab Katherin. Kini tangannya membuka bungkusan rokok yang masih tersegel dan menyalakan salah satu batang gulungan tembakau itu. "Rokok cup?" Dia menawariku rokok.

"Engga usah Kat. Kopi ini udah cukup," jawab ku sembari memperlihatkan cangkir dengan foto Nike Ardila ditengahnya, yang telah terisi kopi tubruk favoritku. "Cuma karena tanggal, kamu jadi berkesimpulan cerita ini sesuatu yang nyata?"

"Bukan cuma karena itu doang Cup. Aku punya beberapa hipotesa. Selama seminggu ini, selain menerjemahkan lontar itu, aku juga meneliti beberapa fakta historis." Katherin menghirup asap dari gulungan tembakau itu. Dihembuskannya asap itu, menyebabkan seisi ruangan dipenuhi asap rokok. "Fakta-fakta simple aja sebenarnya," lanjutnya.

"Fakta historis apa Kat?"

"Awal tahun kemarin kamu pergi ke Ciamis ya?" tanyanya.

Hatiku berdegup. Bagaimana bisa dia tahu kalau aku pergi ke Ciamis awal tahun lalu. Memang benar aku pergi ke sana di bulan Maret.

"Tau dari mana Kat? Fakta historis yang kamu maksud ada di Ciamis?"

"Bisa jadi," seru Katherin. Senyum tipis menghiasi bibir mungilnya. "Fakta kalau kamu abis ke peringatan satu tahun meninggalnya perempuan favoritmu, Nike Ardila di Ciamis... itu cangkirnya." Katherin menunjuk ke arah cangkir kopi ku. Dia tertawa terbahak-bahak

"Serius dikit dong Kat..." kata ku sembari tersentum kecut.

"Besok siang saja kita bahas lebih detail. Sekaligus akan ku lanjutkan cerita yang termuat di lontar emas pertama ini." kata Katherin. "Mataku sudah tidak bisa diajak berkompromi."

"Baiklah..." kataku sembari menyeruput kopi tubruk kesukaanku.

-----

Hari itu aku bangun pukul 10 siang. Sengaja memang ku minta Parno tidak membangunkan ku lebih awal,  karena memang sebelumnya aku bekerja bersama Katherin hingga pukul 4 pagi.

Setelah beres mencuci muka dan melakukan 'kewajiban' di kamar mandi, aku menuju ruang tamu yang sudah disulap menjadi tempat kerja. Di sana Katherin sudah duduk ditemani sebatang rokok yang terselip di bibirnya. Mejanya berantakan dengan banyak buku dan jurnal.

"Halo Cup," sapa nya tanpa menoleh ke arahku.

"Wah sudah ready ternyata," kata ku.

"Bagaimana tidur mu?"

"Tidak terlalu nyenyak, dihantui rasa penasaran akan hipotesamu," jawabku.

Maetala - Ekspedisi PedaksinaWhere stories live. Discover now