17. Penjara

60 9 2
                                    

Angin gurun yang kering berdesir membawa musim kemarau. Pohon-pohon yang mulanya rimbun kini mulai meranggas dan menggugurkan daunnya. Burung-burung berterbangan dalam jumlah besar untuk bermigrasi ke daerah lain. Mereka terbang melewati piramid-piramid dan bangunan tinggi di Ibu Kota Maetala. Satu diantaranya terlihat bertengger diatas pucuk sebuah pohon besar. Sehelai daun jatuh dari ranting yang di duduki burung itu. Terbawa angin dan masuk kedalam sebuah lubang yang ada di bangunan besar dipinggir pohon itu. Melewati celah ventilasi dan jatuh tepat pada sebuah lorong gelap. Sebuah tangan menggapainya melalui jeruji penjara. Diamatinya daun kecil itu.

Pria itu merasa iri pada daun jatuh yang bebas menentukan nasibnya sendiri. Ketika ingin jatuh, dia tinggal menyampaikan keinginannya kepada angin. Tidak seperti dirinya yang kini dipenjara di negeri yang jauh dari rumah.

Empat hari Gajah Lembong ada di dalam penjara. Tempat itu gelap dan lembab, sesekali cahaya matahari dapat menerobos masuk melalui celah atap di tengah lorong penjara. Sanitasi yang buruk menyebabkan bau busuk selalu tercium setiap saat. Entah sudah berapa gilitua dan manusia yang tewas di tempat ini. 

Gajah Lembong, Bhre Demong, Bhre Lancap, Uleng Tepu dan Enil berada dalam satu sel penjara sedangkan Mardukh ada di sel sebelahnya dengan dibatasi oleh jeruji besi. Hanya mereka yang tersisa dari rombongan. Pasukan lainnya tidak diketahui nasibnya. Beberapa penjaga mengatakan pasukan Gajah Lembong telah dibunuh, adapula berita yang mengatakan para pasukan Majapahit dijadikan budak untuk membangun piramid di Maetala. Mengingat kabar itu hati Gajah Lembong menjadi geram! Dia meremas daun kecil yang ada di telapak tangannya.  

Sorengpati yang tersisa dan Gajah Lembong sudah berkali-kali mencoba untuk melarikan diri dari penjara itu. Namun semua usahanya gagal. 

Berbeda dengan orang-orang Majapahit yang selalu bersemangat untuk membebaskan diri, Mardukh dan Enil selalu bergeming. Mereka duduk bersila di pojok penjara seperti orang bertapa. Mata nya terpejam dengan tangan berada di paha.

Suatu waktu kemarahan Bhre Demong memuncak karena Enil sama sekali tidak  membantu mereka pada saat akan merebut kunci dari penjaga penjara. Beberapa kali bogem keras di lepaskan oleh Bhre Demong, namun Enil diam dan tidak membalasnya. Dari kegelapan penjara, Mardukh hanya berucap, "Kita akan segera keluar."

Perkataan yang diulang-ulang dari Mardukh justru membuat para Sorengpati semakin emosi, karena sama sekali tidak ada gerakan dan diskusi untuk meloloskan diri dari penjara. Beruntungnya Gajah Lembong selalu dapat menguasai kondisi para bawahannya itu.

Siang itu dua penjaga membawa tawanan gilitua melewati lorong  penjara. Kepalanya ditutup dengan kain gelap. Setelah memapah tawanan masuk kedalam selnya, si penjaga keluar dan mengunci pintunya. Dia memerintahkan si tawanan tadi mendekatkan tangannya ke jeruji besi. Si penjaga melepaskan borgolnya. Kemudian dengan gerakan mendadak si tawanan berhasil mengunci leher penjaga melalui jeruji dengan tangannya. Si penjaga tadi berteriak meminta bantuan. Dengan sigap si penjaga disebelahnya memukulkan tongkat kekepala tawanan yang masih tertutup oleh kain gelap itu. Cukup lama si penjaga tercekik oleh gerakan tawanan itu. Sampai kemudian penjaga lainnya datang dan ikut memukul tawanan tadi hingga kunciannya terlepas.

Tawanan itu tersungkur akibat dorongan tongkat dari seorang penjaga. Dengan sumpah serapahnya, para penjaga pergi dari lorong penjara.

Pelan si tawanan tadi membuka kain penutup kepalanya. Dia memangdang sekilas ke sel sel di sebelahnya sembari menyesuaikan pupil matanya.

Dari dalam kegelapan Mardukh begumam, "Bansir, apakah kau disana?"

Suara lirih dari Mardukh membuat tawanan tadi mendekatkan dirinya ke arah jeruji penjara. "Tuan Mardukh?"

Enil yang sedari awal selalu diam tiba-tiba bergerak antusias mendekati sel tawanan tadi. "Bansir!" teriaknya.

"Enil...!" Suara si tawanan tadi bergema di sepanjang lorong penjara. "Sugil telah sampai di Meso. Mereka telah membuat rencana."

Gajah Lembong dan Sorengpatinya saling pandang dan mengerti akan diamnya Enil dan Mardukh selama ini. Ternyata mereka sedang merencanakan sebuah bantuan.

"Bagaimana kau bisa sampai kesini Bansir?" tanya Enil.

"Aku membuat keributan di Ibu Kota." jawab Bansir. "Hal ini tidak penting. Aku disini untuk memberikan informasi kepada Tuan Mardukh dan kau Enil."

"Informasi apa Banzir?" tanya Mardukh.

"Pembangunan Piramid raksasa satu arah menuju Kertala dinilai tidak efektif Tuan. Sudah ratusan tahun hal ini tidak mendapatkan hasil. Pihak kerajaan tahu bahwa Clan Mardukh masi memiliki keturunan terakhir yaitu Tuan. Maka dari itu mereka akan menggunakan Tuan sebagai alat bagi mereka untuk dapat pergi ke Kertala." jawab Bansir. "Dan juga... mereka akan membangun piramid baru di Kertala di tempat orang-orang Majapahit berada. Maka dari itu mereka pasti akan berbaik hati kepada orang-orang Majapahit."

"Apa yang akan dilakukan orang-orang kita mengetahui hal ini?" tanya Enil.

"Kita akan mengikuti skenario dari kerajaan. Selebihnya akan diurus oleh orang-orang kita," jawab Bansir. 

"Tuan Mardukh... batu raja-raja sedang membuktikan dirinya..." kata Enil dengan suara lirih. "Semoga ramalan itu ada di pihak kita."

"Cukup Enil!" hardik Mardukh. Suaranya bergema di seantero penjara. "Kita tidak perlu memikirkan ramalan itu! Pikirkan saja apa yang harus kau lakukan!" 

Suasana hening tiba-tiba terjadi. Bansir mencoba mencairkan suasana dengan bertanya dimanakan orang-orang Majapahit asal Kertala itu berada.

"Bansir perkenalkan, ini adalah Gajah Lembong dan para Sorengpatinya." kata Enil. Dengan anggukan kepala Gajah Lembong dan Bansir berkenalan.

"Apakah kau tau nasib para prajuritku?" tanya Gajah lembong.

"Mereka semua menjadi budak di pembangunan piramid raksasa," jawab Bansir. "Aku yakin kau bisa melakukan permintaan kepada Raja untuk membawa prajuritmu keluar dari Maetala."

Gajah Lembong dan Sorengpati bernafas lega akan keterangan yang diberikan oleh Bansir. Ada sedikit senyuman di wajah Gajah Lembong mendengar hal itu.

Pada malam harinya, beberapa orang penjaga masuk kedalam ruang penjara. Mereka mengeluarkan Gajah Lembong dan Sorengpatinya dari dalam penjara. Tanpa borgol di tangannya Gajah Lembong berjalan melewati lorong penjara itu. Dalam kegelapan Gajah Lembong menganggukan kepala ke arah Mardukh, tanda akan mengikuti semua rencana sesuai dengan apa yang Bansir katakan pada siang harinya.

Enil tinggal sendiri di dalam gelapnya sel penjara. Dalam kesunyian itu dia melihat secerca cahaya bulan menembus atap. Pikirannya melayang kepada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di hari esok. Lirih dia berkata kepada Mardukh. "Ini semua akan menjadi awal perang besar di Maetala Tuan."

Mardukh diam seribu bahasa. Dia bangkit dari tempatnya duduk. "Aku akan berpihak kepada perdamaian Enil. Aku yakin ketika Gilitua berhasil membangun piramid di Kertala, akan ada banyak penindasan kepada manusia." Mardukh berpaling ke arah sel milik Enil. "Apakah aku harus memutus keturunan Mardukh?"

"Jangan Tuan!" jawab Enil. "Kau adalah sosok dalam perjuangan ini."

"Benar kata Enil, Tuan," timpal Bansir. "Untuk itulah saya datang menghadap disini, untuk memastikan semua berjalan sesuai rencana orang-orang kita di Meso."

Mardukh duduk kembali dalam kegelapan. Bagaimanapun, manusia di Maetala masih membutuhkan sosoknya sebagai penyemangat perjuangan mereka. 







  



Maetala - Ekspedisi PedaksinaWhere stories live. Discover now