Khansa menghela nafas lalu kemudian dia menangkup kedua pipi Jerome. "Aku tau kok. makanya kamu bela-belain kerja sekeras mungkin sampe kamu berhasil ada di posisi kamu yang sekarang ini kan? You did well about it, Jei. i'm so proud of you."

Keduanya saling bertatapan dengan sorot yang begitu menerawang jauh.

"Hmm... how can I say this without sounding like a gold digger?" Khansa terkekeh dan langsung mendapatkan pelototan sengit dari Jerome. "Bercanda ih. Kamu serem banget melotot kayak gitu."

"Ya lagian kamu ngapain ngomong kayak gitu sih? siapa yang bilang kalau kamu itu gold digger coba?!" protes Jerome jengkel. "Sekarang kasih tau aku pendapat kamu soal ini. I need an opinion and also an advice from my wife's point of view."

Khansa menarik nafas dalam-dalam lalu kemudian dia memberi isyarat pada Jerome agar mereka bisa mengobrol sambil berbaring. Jerome menurut. Dia langsung merebahkan dirinya di kasur diikuti oleh Khansa yang ikut merebahkan kepalanya di dada bidang sang suami.

"Abangnya mama, Om Ardan, pernah bilang gini sama aku waktu aku masih SMP dulu," Khansa mulai berbicara lagi. "Yang namanya nafkah itu pada dasarnya emang urusan laki-laki. Tapi itu bukan berarti perempuan nggak boleh cari nafkah juga, semuanya bisa disesuaikan dengan kondisi dan situasi kehidupan masing-masing. Makanya meskipun serabutan, om Ardan selalu berusaha untuk kerja. Mau jadi kuli, pelayan restoran, supir taksi, semuanya dia lakuin supaya kebutuhan istri dan anak-anaknya bisa terpenuhi."

Jerome mendengarkan dengan seksama tanpa ada niatan untuk memotong sama sekali. Dia jelas tahu soal om Ardan yang merupakan kakak laki-laki dari ibu Khansa dan satu-satunya saudara yang masih peduli pada Khansa dan ibunya setelah ditinggal mati oleh sang kepala keluarga. Pria itu sangat ramah, murah senyum dan juga sangat sederhana. Kehidupannya memang tak lebih baik dari kehidupan Khansa bersama sang ibu, tapi dia orang yang sangat bijaksana dan pekerja keras. Dia juga menyayangi dan memperlakukan Khansa seperti anak sendiri. Jerome juga masih ingat bagaimana om Ardan yang merupakan salah satu saksi pernikahannya dari keluarga ibu Khansa sempat menangis tersedu-sedu sebelum ucapan ijab qabul keluar dari mulutnya dan wali hakim waktu itu.

"Mbah aku dari keluarga ibu itu termasuk orang yang cukup kaya di kampung. Tanahnya ada dimana-mana, punya toko baju yang tersebar di Semarang, Jepara, Solo sama Malang. Tapi mbah selalu mendidik anak-anaknya untuk mandiri sekaligus ngajarin mereka supaya bisa mencari uang sendiri. Dan dari semua saudaranya, cuma ibu sama om Ardan yang nggak pernah mau menggunakan privilege nya untuk hal-hal yang nggak berguna. Mereka belajar sekeras mungkin untuk bisa kuliah dan kerja di tempat yang bonafit sementara saudara-saudara mereka yang lain justru malah sibuk foya-foya pake uang mbah dengan alasan untuk modal usaha, tapi nggak ada satupun usaha mereka yang goal. Semuanya gagal."

"Aku nggak tau kenapa dari semua saudaranya, om Ardan sama ibu yang kehidupannya paling susah tapi mereka berdua selalu mikir kalau ini adalah ujian dari yang maha kuasa. Mereka juga tetep nggak mau minta uang sama mbah untuk biaya hidup mereka dan terus nyari kerja supaya mereka bisa berdiri di kaki sendiri. Om Ardan bahkan bilang, pantang bagi seorang laki-laki untuk minta biaya hidup apalagi untuk anak sama istri ke orang tua jadi sebisa mungkin dia berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sendiri walaupun hasilnya nggak menentu."

Khansa mengangkat kepalanya sedikit untuk menatap wajah Jerome yang masih sibuk mendengarkan ceritanya. Perempuan itu tersenyum tatkala mata Jerome terarah padanya.

"Prinsipnya sama kayak kamu. Sama-sama mau mandiri, sama-sama mau berdiri di kaki sendiri, sama-sama mau menjalankan peran sebagai pencari nafkah dalam keluarga tanpa bantuan siapapun, tapi Jei..." Khansa terdiam sejenak. "Adakalanya kita juga harus liat kondisi dari orang tua kita. Mbah dulu juga pengen nyerahin semua toko-tokonya ke om Ardan dan Ibu untuk dikelola sama mereka, tapi mereka nolak dengan alasan pengen coba cari kerja dengan usaha sendiri dan akhirnya toko-toko itu dikelola sama saudara-saudara yang lain. hasilnya? 3 dari 4 toko yang ada bangkrut, tanah-tanah mbah juga di jual-jualin seenaknya walaupun hasilnya dibagi-bagi juga. Everything is messed up, Jei. Dan itu adalah salah satu alasan juga kenapa ibu sama om Ardan memutuskan untuk balik ke Semarang dan tinggal disana setelah kita nikah. mereka mau memperbaiki kekacauan yang dibuat oleh saudara-saudara mereka."

AVENGEMENT ( ✔ )Where stories live. Discover now