Bab 4

512 117 19
                                    

****

"Kakak'e, kemana saja? Saya cari dari tadi ke sana kemari kakaknya tidak ada."

Dita mendelik tajam ke arah Raga, "Yang begini yang harusnya lo ikutin!" desisnya.

Bukan apa-apa, supir yang sebelumnya menjemput mereka memakai seragam dan memanggil mereka Mbak dan Mas, yang mana sepertinya adalah pegawai agen travel atau bahkan supir pribadi dari keluarga ningrat yang tinggal di sini. Jauh berbeda dengan cerita Pak Hadi yang mengatakan kalau dua orang karyawannya adalah penduduk lokal di sini. Dan ini dia, penduduk lokal yang Pak Hadi ceritakan.

Sumpah! Kalau ingat soal kejadian memalukan tadi, rasanya Dita ingin menjambak rambut Raga sampai laki-laki itu botak! Ya Tuhan! Malu sekali rasanya. Untung supir tadi berbaik hati untuk mengantarkan mereka ke Bandara lagi karena katanya jemputannya sudah naik Taxi karena supirnya lama. Ya Tuhan. Selain memberikan kesialan untuk dirinya, Raga juga memberikan kesialan untuk supir tadi. Sumpah ya! Haruskah Dita umpankan Raga pada Komodo untuk tumbal atas kesialan yang menimpanya ini?

"Aduh, maaf ya Kakak. Kita tadi salah mobil!" kata Raga. Mengikuti logat yang tadi didengarnya. Apa-apaan sih, si Raga?

"Ya sudah. Kita pergi sekarang. Ini kita pakai motor, jadi yang saya bawa barang-barangnya kakak dulu," katanya.

Dita menahan napasnya. Sudah naik kereta lama, menunggu transit lama, salah naik mobil, balik lagi ke Bandara, dan sekarang IA HARUS MENUNGGU DIRINYA DAN BARANG-BARANGNYA DIANGKUT SATU PERSATU! Sumpah! Bolehkah Dita berteriak sekeras-kerasnya sekarang?!

"Oke," kata Dita pada akhirnya. Energinya juga sudah terkuras habis sehingga lebih baik baginya untuk diam dan ikuti apa yang terjadi saja.

"Bawa koper saya dulu aja," kata Dita. Ia menatap seorang pria di hadapannya lalu bertanya, "Oh, iya. Namanya siapa ya Bang?"

Pria tinggi dengan kulit sawo matang itu tersenyum, "Panggil saja Bokir."

"Ya Allah Bang Bokir. Beli sate dong Bang," celetuk Raga. Ya Tuhan. Sempat-sempatnya.

Dita mendelik ke arahnya, "Lo mending diem deh Ga. Gue masih kesel sama lo. Bukan waktunya juga lo bercanda-canda begini," katanya.

Bokir tertawa, "Nanti saya berikan Kakak minuman enak kakak, biar Kakak tidak stress," katanya.

Dita tersenyum tipis sementara Raga mulai meraih kopernya dan mendudukkannya di atas motor.

"Bang, talinya mana?" tanya Raga.

Bokir mengeluarkan tali rafia dari saku celananya dan Raga sibuk mengikat kopernya, memastikan bahwa posisinya aman meskipun dibawa menggunakan sepeda motor.

"Tunggu ya Kak!" kata Bokir.

Raga terkekeh, "Heee siap kak. Beta tunggu! Air sudekaaa," katanya.

Bokir tertawa sementara Dita, ia menatap Raga dengan ngeri, "Woy! Otak lo ya! Sempet-sempetnya! Tar kalau mereka nyangkanya lo ngeledekin gimana?" tanyanya.

Raga menepis tangannya dan berkata, "Tenang saja. Beta sudah belajar," sahutnya. Masih dengan logat yang dibuat-buat olehnya.

"Bodo amat Ga. Gue capek banget sama lo."

"Tapi omong-omong Dit, kita ini dimana ya? NTB atau NTT?"

"MANA GUE TAHU!" teriak Dita.

Ia menatap Raga penuh perhitungan, "Geografi gue jelek nilainya," sambung Dita pada akhirnya.

Raga tertawa dengan keras, "Ya sama dong. Gue mah ijazah aja beli."

"Hah? Serius Ga?" tanya Dita.

Something About UsWhere stories live. Discover now