KEMATIAN ADALAH PERISTIWA YANG HAKIKI

Start from the beginning
                                    

"Bu, siapa yang sedang memasak di luar sana?" tanya Jefri.

"Ibu enggak tahu, Jef. Suara-suara seperti itu sering datang belakangan hari," jawab Mirna sekenanya.

"Atau jangan-jangan ... rumah ini berhantu, Bu!" pungkasnya.

"Ah, ngaco kamu ini. Zaman sekarang mana ada yang namanya hantu," titah Mirna menengahi.

Aurel dan Radit tampak memekik dan gelisah. Pasalnya, sejak kepergian Jefri magrib tadi, mereka sangat ketakutan dengan sebuah pengakuan lewat telepon. Bahkan Mirna mengatakan kalau Radit—putranya sedang panas tinggi. Padahal sebelumnya, Jefri tidak mendapati hal seperti itu ketika dia berada di sekitar anak-anak.

Sentuhan lembut Jefri pun mendarat di kening kedua buah hatinya, tampak dari wajah mereka sangatlah pucat layaknya mayat. Namun, suhu badan dan napas mereka masih terbilang normal.

"Bu, apakah kita bawa ke rumah sakit saja mereka," ujar Jefri sembari menoleh sekilas.

"Katanya ... kamu tidak memiliki uang untuk membawa mereka berobat?" Mirna menadahkan kepala karena telah berkata sangat jujur.

"Alhamdulillah, saya sudah dapat pinjaman dari Fernando. Jadi, kita bisa membawa mereka untuk berobat malam ini," titah Jefri menjelaskan.

Senyum simpul Mirna buang, ekspresinya mendadak semringah mendengar pengakuan itu. Lalu, dia menjawab, "ya, sudah, kita pergi sekarang. Jangan tunggu lama-lama lagi, entar terjadi yang tidak kita inginkan."

Akhirnya Jefri bersemangat untuk membawa kedua buah hati menuju rumah sakit. Aurel pun berada dalam dekapan Mirna, sementara Radit berada dalam dekapan Jefri. Tanpa memedulikan hiruk pikuk ruang dapur, mereka beringsut dan memasuki garasi.

Menggunakan mobil sport berwarna putih, mereka pun pergi menuju rumah sakit kembali. Di sepanjang perjalanan, kedua anak-anak tampak sedang kedinginan. Padahal, mereka sudah diberikan selimut yang sangat tebal dan hangat. Dengan membawa uang hasil pemberian dari Fernando, sampailah mereka tepat di lokasi tujuan.

Kali ini, mereka tak menuju RS. Bintang Kasih sebagai langganan dalam pengobatan. Jefri memboyong ke RS. H. Anwar Mangunkusumo yang berada di pusat kota Medan. Pasalnya, menurut rumor beberapa bulan lalu, rumah sakit itu lebih intensif dalam memberikan pelayanan pada pasien.

Setelah memasuki ruangan perawatan, dokter yang kala itu mengenakan seragam serba putih keluar dengan tapakkan lambat. Di tangan kirinya telah ada stetoskop. Kemudian, lelaki tampan berkacamata bulat itu tertegun dan menoleh ke bangku tunggu. Secara saksama, Mirna dan Jefri membangkitkan badan.

"Selamat malam, Pak. Apakah Anda adalah orang tua dari Aurel dan Radit?" tanya dokter itu.

"I-iya, Dok, kami adalah orang tua dari pasien," jawab Jefri.

"Jadi begini, Pak. Sebelumnya saya minta maaf yang sebesar-besarnya kepada Anda di sini. Bahwa saya menemukan hal yang sangat aneh kepada kedua anak-anak Anda," titah si dokter.

Mendengar ucapan itu, Jefri saling tukar tatap pada Mirna—ibunya sekilas, kemudian dia menjawab, "maksudnya aneh bagaimana, Dok?"

"Mereka berdua sedang terganggu tentang kejiwaannya, karena sedari tadi menyebut nama seorang wanita yang saya sendiri lupa, kalau mereka menyebut siapa. Bukan apa-apa, nih, Pak. Kalau tidak ditangani lebih lanjut, kedua anak Anda dapat terkena gangguan jiwa."

"Astaghfirullah ...." Jefri pun menekan wajahnya menggunakan kedua tangan hingga menutup setiap sudut wajah.

Dokter itu menyentuh pundak Jefri perlahan, dia kembali berkata, "Pak, yang sabar. Kalau menurut dari kacamata medis, kedua anak Anda baik-baik saja. Coba cari perawatan dari non-medis."

"Begitu, ya, Dok?"

"Iya, Pak. Baiklah, kalau begitu saya tinggal dulu. Kalau ada apa-apa, langsung temui saya di ruang spesialis. Selamat malam."

"Selamat malam, Dok." Mirna pun turut berkata setelah beberapa menit membungkam.

Dari balik pintu ruang kamar pasien, Jefri menatap kedua buah hatinya yang sedang tertidur di atas kasur dengan sprei bernuansa serba hijau. Kemudian dia memalingkan netranya dan menyeret pundak sembari mendudukkan badan di atas lantai.

"Ya, Allah ... mengapa engkau lakukan ini pada hamba secara bertubi-tubi. Apa salah hamba!" Jefri pun meratapi kekesalan dalam jiwanya yang kian gelenyar.

Mirna pun datang menghampiri, wanita tua itu bersimpuh dan menyentuh pundak putranya. "Jef, kamu yang sabar, Nak. Ini adalah cobaan dari Allah, kamu harus kuat."

"Kenapa bukan Jefri aja yang menderita seperti itu, kenapa harus kedua anak Jefri yang tidak tahu apa-apa," rengek Jefri sembari memeluk dan meneteskan air mata di pundak Mirna—ibunya.

Suasana temaram rumah sakit menghadirkan berjuta pertanyaan. Dalam setiap detik, bahkan menit, masalah itu datang tanpa disangka. Tidak pandang bulu, semua manusia akan mendapati apa itu masalah, tergantung kembali pada kita, bagaimana cara menanganinya hingga berhasil menuju garis akhir.

Arloji menunjukkan pukul 00.00 WIB tengah malam, Jefri seakan tidak tenang dengan mendudukkan badan di atas kursi tunggu. Tiba-tiba, ponsel pun berbunyi dengan keras, tepat di dalam kantong sebelah kanan. Secara spontan, Jefri memandang layar ponselnya dan menatap nomor baru kala itu.

Tanpa basa-basi, Jefri mengangkat panggilan dari nomor asing itu.

[Hallo.]

[Hallo, Jef. Maaf mengganggu kamu, ini saya Ningsih—ibunya Fernando.]

[Eh, Bu Ningsih, ada apa malam-malam nelepon?]

[Ibu cuma mau bilang, kalau Fernando telah meninggal dunia. Dia tabrakan beberapa menit yang lalu.]

[Apa! Ibu tidak lagi bercanda, 'kan?]

[Tidak, Jef, besok pagi jenazah akan segera dikebumikan. Saya mohon, kamu hadir untuk memberikan doa padanya. Karena saya tahu, kalau kalian baru saja bercokol kemarin malam.]

[Innalillahi, wainnailahi, roziun ... besok saya pasti akan datang ke rumah ibu, pasti.]

[Terima kasih, Nak Jef, assalammualikum.]

[Wa'alaikumsallam.]

Selepas menjawab salam, Jefri pun bergeming dengan menatap arloji di dinding rumah sakit. Mulutnya terasa sangat terbungkam perihal ironi. Teman yang telah dia anggap sebagai saudara sendiri, kini telah pergi menghadap Sang Ilahi. Begitu singkat percakapan mereka kemarin malam.

'Ini uang 1 miliar untuk membantu meringankan utang-utang Abang.'

'Fer, jangan seperti itu, kehadiran saya bukan untuk merepotkan siapa pun. Sudahlah, biar saya cari pinjaman pada orang lain saja.'

'Bang, ini belum seberapa. Karena jasa-jasa Abang dulu, mencarikan saya kerja sehingga saya bisa menikmati hasil yang luar biasa. Izinkan saya membalas budi, sebelum saya pergi selama-lamanya.'

'Ah, ngaco kamu kalau ngomong. Berbisnis, ya, bisnis. Jangan sampai tidak pulang, dong.'

Tapakkan kaki terdengar sangat lembut, sentuhan telapak tangan mendarat sempurna di pundak sebelah kanan. Dalam lamunan yang telah membuyar, Jefri mendongak seraya menatap seorang wanita yang kala itu tertegun.

"Jef, kamu kenapa lagi, Nak?" tanya Mirna.

"Bu." Jefri pun bangkit dari duduknya dan memeluk Mirna.

"Nak, kamu kenapa lagi? Besok kita akan cari orang pintar agar bisa mengobati anak-anak. Jangan bersedih lagi," titahnya.

"Ini bukan hanya sekadar masalah anak-anak, Bu."

"Lantas?"

"Fernando meninggal dunia, Bu. Tadi Bu Ningsih menelepon saya, kalau jenazah akan dikebumikan besok pagi."

"Innalillahi, wainnailahi, roziun ...."

Pengantin KutukanWhere stories live. Discover now