BERSEKUTU PADA SETAN

48 4 0
                                    

Pagi hari telah tiba, semburat arunika menembus kaca jendela tempat bergantinya sirkulasi udara. Tepat di dalam rumah sakit dengan suasana sedikit temaram, arloji berdecak seirama setelah mendapati pasien yang kala itu memasuki ruangan.

Tempat yang saat ini menjadi pusat perawatan kesehatan sang buah hati, telah ditempati orang lain yang lebih dahulu telah hadir. Tampak dari wajah anak itu sangat depresi berat. Katup netranya telah melingkar sebuah garis hitam, bahkan air mata keluar secara terus-menerus.

Bahkan dokter yang kala itu menangani kasus tersebut juga sangat kebingungan. Pasalnya, mereka tak mendapati penyakit dalam tubuhnya. Namun, gadis berusia 8 tahun itu selalu saja tertawa sendiri, bahkan menangis setelah mengeluarkan jeritan-jeritan.

"Bu, aku tidak ingin menjadi tumbal selanjutnya. Tolong sudahi permainan konyol kalian agar cepat kaya itu. Revina takut banget, Bu." Gadis berbandana merah itu memeluk ibunya penuh ketakutan.

"I-iya, Nak. Maafin ibu yang tak bisa melarang ayahmu untuk mencegah segalanya. Kamu harus sehat, Nak. Ibu enggak mau kehilanganmu," jawab wanita yang mengenakan pakaian serba kuning.

Sementara di posisi samping kanan, Jefri dan ibunya saling tukar tatap. Mereka tak habis pikir kalau mereka sebagai orang tua telah tega menumbalkan anaknya yang masih terbilang kecil, hanya sekadar ingin mempercepat kekayaan semata.

Tib-tiba, gadis berusia 8 tahun yang kala itu sedang kerasukan menatap tajam ke wajah Aurel—anak pertama Jefri. Kerlingan netranya mampu membuat sekujur tubuh menjadi sangat gemetar, akan tetapi tidak pada Aurel, dia pun membalas tatapan itu tanpa mau berpaling.

"Aurel, jangan lihatin dia," kata Jefri sembari membelakangi gadis tersebut.

"Aurel kasihan padanya, Yah. Karena di samping kanan dan kirinya ada hantu seram," papar Aurel sembari mendongak.

"Emang, yang kamu lihat apa?" tanya sang nenek.

"Ada monyet putih dan hitam, Nek. Mereka hendak menyekik lehernya," jelas Aurel lagi.

"Sudah-sudah, jangan dilanjutkan lagi. Ayah enggak mau kalau kamu melihat ke sana terus," papar Jefri menengahi.

Tak berapa lama, seorang lelaki paruh baya memasuki ruangan minimalis sebagai tempat perawatan anak-anak itu. Dia membawa tasbih dan mengenakan pakaian serba putih dilengkapi dengan kopiah beserta serban putih. Yakni posisinya tertegun pada ambang pintu setelah melihat dua tempat peristirahatan kedua gadis kecil.

Pada kerlingan pertama, dia menatap Aurel yang kala itu mendudukkan badannya di atas tempat tidur. Setelahnya dia melirik gadis berusia 8 tahun dengan posisi kejang-kejang. Akan tetapi lelaki berserban putih itu tidak ingin beringsut dari Aurel, padahal keadaan putri—Jefri tidaklah teriak-teriak seperti yang berada di samping kiri.

Lamat-lamat, lelaki berjenggot panjang itu mendekat ke arah Aurel. Kemudian dia berkata, "assalammualikum ...."

"Wa'asaikumsallam, Ustaz." Secara serempak, Jefri dan ibunya merespons.

"Ustaz, yang kerasukan sebelah sini," cetus seorang wanita yang mengenakan pakaian serba kuning itu.

"Iya, saya tahu. Tapi ... saya lebih tertarik dengan yang ada dalam gadis ini. Nama kamu siapa, Nak?" tanya ustaz berserban putih itu.

"Nama saya Aurel," jawabnya.

"Aurel, kamu sedang bersama siapa di sini?" tanya ustaz.

"Dengan kami, Taz. Saya adalah ayahnya, emang kenapa?" Jefri pun menyambar percakapan itu.

"Tidak apa-apa, Pak. Maaf, kalau saya lancang tiba-tiba bertanya." Sang ustaz pun beringsut dan meninggalkan berjuta pertanyaan.

Sementara Jefri pun kembali menatap putrinya itu, dia mendudukkan badan di atas kursi seraya merumuskan pertanyaan yang datang secara bertubi-tubi.

Pengantin KutukanWo Geschichten leben. Entdecke jetzt