PENGUNGKAPAN DARI SECARIK KERTAS

44 3 0
                                    

Setibanya di depan rumah, Jefri pun keluar dari dalam mobil dan bergerak cepat sejurus menuju teras. Netranya celingukan karena tiba-tiba, tengkuk terasa sangat berat ditimpali bulu kuduk meremang. Suasana temaram pesisir Pantai Sejarah menghadirkan hiruk pikuk seperti orang yang sedang berseteru. Namun, lentera ruang tamu seperti  tengah padam.

Ketika sampai di ambang pintu, lelaki beranak dua itu tertegun. Pasalnya, dia merasakan aura berbeda tepat di belakang badan. Lamat-lamat, netranya pun menoleh sekilas, sebelum akhirnya kembali memalingkan tatapan.

'Enggak ada siapa-siapa,' ucap Jefri bersenandika.

Selepas bermonolog, dia pun memasuki rumahnya yang sangat sunyi tanpa ada suara sama sekali. Arloji sakana klasik terdengar seirama memecahkan keheningan malam. Sampailah Jefri tepat di ruang tamu, kemudian dia mendudukkan badan seraya menyalakan dimar ublik.

Setelah lentera itu menyala, desas-desus berdesik kembali tertangkap oleh indra pendengaran. Kecipak air keran berbisik—datang dari dapur. Dalam sekelebat benak menafsirkan, Jefri beringsut menemui pantulan sosok diri lewat bayangan di atas ubin.

"Sayang ...," panggilnya sembari mengetuk pintu kamar mandi.

Akan tetapi, di sana tidak ada siapa pun. Sementara kecipak air keran tetap saja menyala. Akibat jiwa yang kian gelenyar, mengubah posisi Jefri sedari tadi bergeming sedikit demi sedikit menyibak pintu kamar mandi. Terbukanya pintu tersebut, ternyata ruangan tak ada siapa-siapa.

Dengan menarik napas berat, lelaki berusia 29 tahun itu pun memutar badan. Namun, ketika dia mengubah posisi badannya, pintu yang tadinya terbuka lebar kembali tertutup sangat keras.

"Astaghfirullah! Wah ... mau ngajak main kucing-kucingan ini setan," cetus Jefri sedikit melawak.

Terdengar samar, suara teriakan sepertinya datang dari atas lantai dua. Jefri pun mendongak dan mencoba mencari tahu siapa yang sedang berteriak itu.

"Tolong ...."

'Yang minta tolong siapa, ya?' tanyanya dalam hati.

Tapakkan demi tapakkan pun beringsut menaiki anak tangga lantai dua. Setibanya di atas ubin, lelaki bertubuh maskulin itu tertegun pada lukisan berbusana adat Jawa. Dengan senyum semringah, Jefri menggoda gambar wanita yang kala itu sedang memegang selendang merah.

"Lukisan ... lukisan. Kalau aja kamu bisa hidup, aku bakal menikah denganmu. Soalnya, cantik banget kamu itu. Enggak seperti istriku, sudah cerewet, galak, pongah lagi. Ha-ha-ha ... iya kali lukisan bisa hidup."

Selesai bercengkerama pada gambar tiga dimensi itu, Jefri pun pergi memasuki ruang kamarnya. Sementara wanita yang ada dalam lukisan pun tersenyum dan keluar dari posisinya ketika awal.

"Mas," panggil seseorang bernada suara wanita.

Mendengar ucapan itu, Jefri pun putar badan, lalu dia menjawab, "Sayang, kamu dari mana aja?"

"Tadi dari warung, kamu sudah pulang?" tanyanya.

"Hmmm ... iya, aku sudah pulang dari tadi. Anak-anak kita ke mana?" tanya Jefri seraya menatap sejurus menuju ambang pintu.

"Anak-anak sama ibu di bawah."

"Oh." Jefri pun beringsut menuju istrinya yang kala itu bersikap lebih lembut dari biasanya.

'Kenapa istri aku sikapnya berubah banget, ya? Atau jangan-jangan, dia mau minta nambah anak lagi. He-he-he ... kalau ada maunya, pasti selalu baik banget.'

Puas sudah bercengkerama dalam batin, Jefri pun mendudukkan badan di atas dipan, sementara pintu kamar tertutup sendiri tanpa ada yang mengunci. Jefri pun hanya berdua dengan Siska—istrinya, mereka bercokol sembari bermesraan. Lamat-lamat, Jefri menutup netra karena tengah merasa sangat damai.

Pengantin Kutukanحيث تعيش القصص. اكتشف الآن