ORANG-ORANG BERHATI MALAIKAT

40 2 0
                                    

Sudah hampir dua puluh empat jam Jefri berada dalam pondok pesantren. Namun, dia masih tak mau untuk melaksanakan kewajiban sebagai umat islam. Malam itu, dengan semilir angin yang datang memboyong suasana temaram, kabut hitam dan putih bergerak anggun ke sana ke mari.

Dalam posisi bergeming, Jefri hanya menatap semburat rembulan penuh di atas langit semesta. Sementara jiwanya kian gelenyar ditimpali dengan rasa was-was. Yakni perihal kedua buah hatinya, menurut telepon yang datang, kabar seputar Aurel dan Radit sedang sakit.

Sementara untuk pulang ke rumah, Jefri sudah tidak memiliki uang lagi. Nestapa menyergap dan mengepung ironi kehidupan, mulut pun tak mampu berkata apa pun selain menandang sejurus pada langit yang kian gelap menutup rembulan.

Kala itu, seseorang pun menyetuh pundaknya dengan perlahan, tapakkan yang pernah Jefri rasakan beberapa jam yang lalu. Lamat-lamat, lelaki beranak dua itu memutar badannya, dia telah mendapati seorang ustaz tengah mengenakan seragam serba putih, dilengkapi kopiah dan serban.

"Assalammualikum ...," sapanya sangat lembut.

"Wa'alaikumsallam ...," respons Jefri sembari membuang senyum simpul.

Tak berapa lama, ustaz-ustaz lainnya pun berdatangan dan menggerompok di atas sebuah pondok berukuran minimalis. Mereka mendudukkan badan seperti tengah membuka forum berbentuk lingkaran. Kemudian, Jefri mengikuti apa yang telah mereka lakukan.

Tatapan Jefri pun sedari tadi hanya menadah, ustaz berkopiah hitam di posisi samping kanan sedikit heran, lalu dia pun menarik napas panjang untuk memulai ucapannya.

"Pak Jefri, kenapa Anda terlihat seperti bingung begitu?" tanyanya.

"Kalau ada masalah, tolong sampaikan pada kami, barangkali kita bisa cari solusinya bersama-sama," sambar ustaz yang satunya lagi.

"Jadi begini Pak Ustaz, beberapa hari ini saya merasakan hal yang sangat aneh. Padahal, saya tidak merasakan apa pun sebelum—" Jefri menggantung ucapannya.

"Sebelum apa, Pak? Lanjutkanlah," titah ustaz di sebelah kiri.

"Sebelum saya membeli rumah baru, Taz," jelas Jefri menyambung perkataan yang sempat terputus.

"Oh, biar saya lihat dulu situasi rumah Bapak. Kalau boleh tahu, di mana alamatnya?"

"Jalan Lintas Sumatra, Kota Lima Puluh, Medan."

Tanpa membalas ucapan, ustaz berkopiah putih itu menutupkan netranya, tampaknya sedang mengucapkan sesuatu. Namun, tidak dapat didengar oleh telinga. Tampak sesekali ekspresinya berubah, akan tetapi mendadak netral.

Dalam posisi memekik, Jefri pun saling tukar tatap pada kedua ustaz lainnya di sebelah kanan dan kiri. Tiba-tiba, lelaki berkopiah putih itu memuntahkan sesuatu dari dalam mulutnya, berwarna merah menyerupai darah.

"Astaghfirullah ... astaghfirullah ...." Ustaz pun memberhentikan aksinya diiringi selawat beberapa kali dia ucapkan.

"Ustaz, apa yang terjadi?" tanya sahabatnya di samping kanan.

"Ternyata, yang menghuni rumah itu adalah sesosok wanita mengenakan gaun pengantin. Melalui gelombang udara dia berkata, kalau saya mencoba menganggu, dia akan meluluhlantakkan pesantren ini."

Mendengar pernyataan itu, para ustaz lainnya saling tukar tatap. Apalagi Jefri, dia yang tak tahu-menahu perihal kehidupan dunia gaib, tiba-tiba berkecamuk pada peristiwa dan ironi tersebut. Rasa takut pun menyergapnya, sontak posisi tubuh tak mampu bergeming untuk beringsut pergi.

Kini kehidupan Jefri serba salah, apabila dia pergi dari rumah itu, otomatis tempat tinggalnya tak lagi ada. Namun, di sisi lain, dia tak bisa terus-terusan tinggal, karena berpotensi dapat membuat kehidupannya terganggu. Baik itu mental, maupun keselamatan kedua buah hatinya.

Pengantin KutukanWhere stories live. Discover now