"Canggih dong ya gue, bisa nebus dosa-dosa lo yang banyak itu?" sambarnya.

"Diem atau lo gue lempar ke luar pesawat? Kebetulan gue duduk disebelah pintu darurat nih," ancam Dita membuat Raga terdiam dan membuka bungkus rotinya.

***

Perjalanan Semarang – Jakarta terasa sangat singkat bagi semua penumpang kecuali Dita. Bagaimana bisa ia menikmati perjalanan singkat ini jika dalam hatinya terpendam lahar panas yang ingin menyiram tubuh Raga, partnernya selama berada di Labuan Bajo nanti.

"Ah ... gak kerasa banget ya?" ucap Raga pada Dita yang berjalan menuju gate selanjutnya untuk berpindah pesawat.

"Mata lo gak kerasa! Sebel banget gue ya Tuhan!!" keluhnya lagi, "Ini Naura harus tau sih kelakuan lo, gue harus claim kerugian gue selama bareng sama lo. Dari mulai pantat gue yang jadi tepos, jam tidur gue yang kurang sampe waktu gue yang terbuang sia-sia buat sampe ke Labuan Bajo!" terangnya mengebu-gebu.

"Lo tahu nggak sih apa yang paling rugi di dunia ini? BUANG-BUANG WAKTU! Ya. Dan lo membuat gue melakukannya!"

Seolah tak mendengar ocehan Dita, Raga melihat jam tangannya. "Masih ada waktu, makan dulu ya? Barusan roti doang, itu bukan makan. Nasi adalah hal pokok, itu baru bisa disebut makan" ajak Raga.

"Bisa lo apa sih? makan, tidur, makan, tidur, buat masalah. ARG! YA TUHAN! Nggak kuat banget gue pengen bejek-bejek lo!"

"Bejek-bejek orang juga butuh tenaga Dit, kita makan dulu ya," ajak Raga.

Entah memang makanan sepenting itu untuk Raga, atau omelan Dita setidak penting itu untuknya, Dita juga tidak mengerti. Ih! Raga memang nyebelin banget!

Tapi omong-omong soal makan, Dita terdiam, jujur perutnya juga keroncongan saat ini. Apalagi saat di pesawat barusan ia sama sekali tidak memakan roti dan susu yang sudah diberikan, ini semua ulah Raga, sehingga Dita kehilangan nafsu makan.

"Lo kalo gak mau yaudah tunggu di gate aja," pesan Raga.

"Enak aja, lo mau makan sendirian? Terus di-claim? Gue juga maulah ..." ucap Dita melengos berjalan mendahului Raga. "Menu sarapan kali ini terserah gue!" tambahnya lagi.

Dengan pasrah, Raga berjalan mengikuti Dita dari belakang. Oke, kali ini ia harus mengalah karena ia sudah melakukan kesalahan. "Yang ada nasi ya Dit!" pintanya.

Setelah cukup lama berputar-putar, pilihan Dita adalah restoran cepat saji yang tentu saja ada menu nasi di sana. Sekesal-kesalnya, semarah-marahnya Dita tetap saja ia tidak tega jika harus menyiksa Raga dengan menahan nasi untuk bertemu dengan lambungnya.

Raga ini cowok Indonesia banget, dia tidak bisa beraktivitas kalau tidak makan nasi. Wah, Dita curiga kalau dulunya Raga adalah tukang cangkul yang dijajah Belanda. Dia harus selalu makan nasi yang banyak karena mau mencangkul banyak lahan yang dikuasai oleh Belanda.

Ck. Tapi alih-alih tukang cangkul, Raga sepertinya jadi manusia biasa saja. Karena kelakuannya yang bodoh, Belanda juga malas tidak sih menjajahnya?

Menggelengkan kepalanya, Dita melanjutkan langkahnya. Ia menoleh pada Raga yang tersenyum saat memasuki restoran, ia terlihat begitu senang.

"Gak perlu senyum-senyum, sok ganteng! Gue udah tau muka lo yang paling jelek sekalipun! Ihh ..." ucap Dita bergidik ngeri.

Mereka memesan makan dan memilih tempat duduk di depan resto sambil melihat orang-orang yang hilir mudik sambil menarik koper di tangannya.

"Lucu banget kopernya" ucap Dita ketika melihat seorang turis asing membawa koper berwarna hijau metalik dengan banyak tempelan stiker. "Dia pasti sering banget travel, banyak banget stiker destinasinya gitu" tambahnya lagi.

Something About UsWhere stories live. Discover now