🦄18. Manis ... Pahit🦄

290 53 21
                                    

Otak Lud masih semrawut. Panggilan Gendhis yang menggaung dari kamar mandi membuat ia mengerang dan merutuki gadis itu.

Masih belum percaya ucapan sang Mami, Lud berusaha mencari pembalut di lemari baju Mami Bella dan Ester. Nyatanya nihil. Tak ada barang serupa bantal yang selalu memenuhi troli saat mereka belanja.

Lud mengacak rambut dengan geraman kesal. Panggilan Gendhis yang tanpa rasa bersalah terdengar lagi.

"Yuhuuuu, Mas Lud."

Derap langkah lelaki itu terdengar kasar. Ia ke kamar, kemudian menyambar kaus yang ada di gantungan baju.

"Mas ...." Seruan bernada yang menjengkelkan itu kembali terdengar.

Sambil mengenakan baju, ia menuju ke depan pintu kamar mandi. "Tunggu, aku beliin dulu. Ngrepotin banget sih! Udah tahu mau dapat haid, nggak bawa perlengkapan!"

Bukannya merasa bersalah, Gendhis hanya meringis dengan mengerjap-ngerjap. "Ya Tuhan, jadi terharu. Makasi banyak, ya, Mas."

Mendapati ekspresi innocent Gendhis, membuat darah Lud semakin mendidih. Namun, ia tidak mengulur waktu. Lelaki itu segera meraih kunci motor, lalu berlari ke depan.

Kini ia sudah berada di atas motor yang membawanya pergi ke toko swalayan di dekat rumah. Dalam hati Lud berharap, agar toko yang akan ia tuju tak banyak pembeli.

Hanya lima menit Lud sampai di depan toko. Seperti hendak melakukan kejahatan, ia celingak celinguk berharap tak ada yang melihat.

Lud layaknya tentara yang bergerilya. Saat mendapati suasana aman, ia segera melepas helm dan memelesat masuk. Senyuman pramuniaga perempuan yang lebar dianggap Lud sebuah keramahan berlebihan. Seolah penjaga toko itu akan menertawainya bila membeli barang kewanitaan.

Mereka saling menatap sesaat. Melihat Lud yang kebingungan, karyawan mini market itu bertanya, "Ada yang bisa saya bantu?"

Lud mengedarkan pandang, kemudian beringsut mendekat setelah yakin tak ada orang. Ia berbisik sambil menutup gerakan bibir dengan tangan. "Pembalut, Mbak."

Karyawan itu mengerutkan alis karena tak mendengar.

"Mau beli pembalut, Mbak." Lud mengulangi.

"Oh, ini." Karyawan itu berbalik mengambil kotak plaster.

"Loh, kok ini? Sejak kapan datang bulan ditutup plaster?" Rasanya ubun-ubun Lud sudah mengepulkan uap saking kemarahannya sudah di puncak.

"O alah, pembalut wanita to. Bilang yang jelas dong, Mas. Saya pikir pembalut luka."

Pramuniaga lain yang jongkok mengatur sesuatu di bawah meja kasir terkikik. "Di sana, Mas."

Lud mengurut arah tangan pramuniaga yang terulur itu. Tanpa mengulur waktu, Lud menyusuri lorong etalase barang.

Begitu sampai di tempat pembalut, ia berdiri. Ada banyak sekali varian pembalut. "Ya Tuhan, yang mana ini?" Lud mengambil dua bungkus, kemudian membandingkan. "Ada sayap, tanpa sayap." Ia kemudian melihat jenis yang lain. "Ukuran reguler, 29 cm, 35 cm, 42 cm. Giling 42 cm, kenapa nggak pake diapers aja?"

Saat ia sedang menimbang hendak membeli yang mana, suara kikikan terdengar. Lud menoleh, dan seketika wajahnya memerah saat kedapatan segerombolan anak remaja perempuan sedang membawa dua buah pembalut.

Tak menghiraukan jenis bersayap atau tidak dan ukurannya, Lud segera membawa dua bungkus pembalut itu. Wajahnya terasa panas kala melihat para gadis itu masih saja memandang sambil terkikik dan berbisik-bisik.

Belum lagi pramuniaga yang melayani pembayaran, tersenyum simpul, seolah menertawakannya.

"Totalnya Rp. 32.000,00."

Gendhis "Sang Jomlo Legend"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang