🦄11. Hari Yang Ditunggu🦄

167 26 3
                                    

Gendhis sudah tidak sabar menunggu waktu keluarga Lud akan melamar. Setidaknya ada Clary Si Lola yang selalu mendukungnya. Entah dia paham atau tidak, bahwa hubungan dengan Lud itu terjadi begitu saja.

Sebelum hari besarnya berlangsung, Gendhis harus mempersiapkan diri agar bisa tampil manis. Ia akan membuktikan bahwa tidak hanya gadis berkulit putih saja yang bisa mendapatkan sang pangeran. 

"Hohoho, kamu akan jadi putri sehari Gendhis. Semua mata akan memandang takjub padamu. 'Wow, Gendhis yang persis Pit Hitam itu dapat cowok seganteng oppa Korea?' Hahaha!" Tawa tengil Gendhis menyeruak, memenuhi kamar. Kotekan ayam tetangga seolah menyetujui khotbahnya di depan cermin. 

Tangan Gendhis masih sibuk melepas masker kertas Korea yang harganya membuat gadis itu melewatkan jatah makan siang. Namun, saat melihat daster yang terbalik, mata Gendhis membeliak. Ia terkekeh menyadari kecerobohannya.

Gendhis menepuk pipi yang lembab menul-menul. "Ndhis, Ndhis, pantes Belud suka. Belum mandi aja manisnya kaya gini." Gendhis terkikik lagi. Ia sungguh tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Bahkan ia menyanyi lagu dengan suara tak jelasnya. "Gendhis belum mandi tak tuntyang tak tuntyang, tapi tetap manis tak tuntyang, tak tuntyang."

Namun, kesenangan berjoget aneh terganggu saat mendengar suara ketukan pintu depan. Gerakan pantat megal megol seperti itik ambeien itu terhenti. Ia menelengkan kepala, menyimak suara dari lantai bawah. Betul, ada yang mengetuk.

Melupakan dasternya yang terbalik, ia segera membukakan pintu. Begitu menarik daun pintu, terkuaklah sosok ayu sahabat baiknya. Bukannya menyapa, gadis itu masuk begitu saja sambil menenteng termos. Wajah Gendhis berbinar saat menghidu aroma rempah yang harum.

Ronde ….

"Dastermu kok terbalik?" tanya Clary sembari meletakkan termos di meja belajarnya.

Gendhis mendengkus. Ia yakin akan diceramahi oleh Clary lagi kalau mengaku menggunakan baju terbalik. "Jare sopo terbalik? Ini model baru, Cla!"

Clary hanya melongo dan Gendhis yakin temannya percaya dengan jawabannya. Otak Clary tentu tak bisa memikirkan hal yang rumit-rumit, kecuali tentang duit.

"Aku bawa ronde. Mau, kan?"

"Wah, Cla bawain ronde!" Begitu menutup pintu, ia langsung menghampiri Clary yang membuka termos isi ronde. Sepertinya Clary sudah menganggap kamar ini seperti miliknya, jadi Gendhis pun memilih duduk di karpet. Matanya mengikuti gerak-gerik Clary menuangkan ronde yang wangi dan hangat, sangat cocok dengan cuaca sore yang diguyur hujan.

 "Nonton apa, Ndhis?" tanya Clary sambil menyodorkan gelas.

Tangan Gendhis merasakan sensasi hangat kala mengambil gelas dari tangan Clary. "Drakor. Seleraku kan gak kayak emak-emak yang suka azab." Mata Gedhis merem melek menghirup uap hangat ronde Clary. Dari aromanya, Gendhis sudah bisa membayangkan rasanya.

"Asap? Kebakaran? Film apa yang ceritanya tentang kebakaran?" Clary memicing menatap layar televisi mencari gambaran yang tercerna otaknya seraya duduk di sebelah gadis eksotis itu.

Gendhis mencebik. Benar-benar otak Clary mungkin tak ada kerutannya saking susah mencerna informasi. Yud, yud, tabahkanlah dirimu, batin Gendhis.

"Ya elah, Cla ... azab Cla, azab!" jawab Gendhis mulai geregetan.

"Apaan, tuh?" Walau tangannya mulai memasukkan isian ronde ke mulut, mata lentik itu masih mengamati layar televisi.

"Emang arti azab apaan sih, Cla?" tanya Gendhis yang seperti sudah terserang virus lola bila berdekatan. Virus Clary ini memang harus dicegah dengan jaga jarak, karena sangat infeksius.

Gendhis "Sang Jomlo Legend"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang