🦄10. Rumah Clary🦄

144 30 4
                                    

Gendhis termenung sendiri di dalam kamarnya. Ia ingin memberi kabar sukacita  pada sahabat baiknya, Clarisa Wanda yang lola itu. 

Bergegas Gendhis turun ke lantai bawah setelah mandi sore. Dengan langkah ringan khas Gendhis yang selalu bersemangat, dia menghampiri rumah Clary di depan. Gadis itu mengetuk pintu depan dengan tak sabar. Terdengar langkah tergopoh semakin mendekat, diikuti bunyi derik daun pintu yang sedikit susah terbuka karena bergesekan dengan lantai.

"Hih, aku kira siapa! Ayo masuk!" Tanpa disuruh Gendhis sudah menyeruak masuk dan memilih langsung masuk ke kamar Clary. Kamar itu sungguh rapi dan bersih, membuat nyaman yang memasukinya.

"Eh, mana nenek sihir?" tanya Gendhis langsung mendaratkan pantatnya di ranjang yang empuk membuat badannya terpental naik turun.

Clary paham yang dimaksud oleh Gendhis. "Pergi bentar. Arisan? Ngrumpi? Entahlah ... " jawab Clary dengan mengedikkan bahunya. Gendhis hanya manggut-manggut mendengar jawaban Clary. Niatnya selain curhat, dia ingin mendekati ibu tiri jahatnya Clary. Siapa tahu bisa menjadi pasien kakak kelasnya.

"Cla, aku ada kabar gembira loh!!" kata Gendhis memulai sesi curhatnya. Dia mengambil posisi nyaman dengan bersila di atas kasur dan memeluk bantal di dadanya.

"Kabar gembira apa?" Clary mengernyitkan alisnya. Dia menduga Gendhis akan bercerita panjang kali lebar kali tinggi. Mengingat kemampuan otaknya yang tak begitu baik dalam mencerna informasi, setidaknya dia harus menyediakan telinga dahulu untuk menampung, sehingga dia bisa sedikit demi sedikit mengolah apa yang informasi yang didengarnya.

Clary akhirnya memilih duduk di ranjang, di depan Gendhis. Dia menyediakan mata, dan telinga untuk memperhatikan cerita yang menurut teman baiknya itu kabar baik.

"Mau tahu aja, apa mau tahu banget?" tanya Gendhis dengan menaik turunkan alis.

"Banget!" jawab Clary antusias.

"Gini, siapin hati dan otak ya! Jangan lama-lama loading-nya dan jangan kaget loh." Mata Gendhis semakin terang dengan binar harapan. Dia berdeham sejenak, mengatur pita suaranya untuk menyampaikan kabar sukacita itu. "Cla, gila nggak sih? Aku kan jadian sama Lud. Trus tiba-tiba orang tuanya mau ngelamar aku!" Gendhis berbicara dengan semangat empat lima, tapi yang diajak bicara ....

.
.
.
Untuk sesaat tak ada tanggapan. Wajahnya datar, tak ada bias keterkejutan sama sekali. Melihat respon Clary yang biasa saja, spontan Gendhis kecewa. Dia selalu tampak heboh sendiri, dan Clary selalu bersikap datar. Mungkin, tingkat kelolaan Clary semakin parah seiring berjalannya waktu. Gendhis menghela napas kasar

"Ngelamar buat Lud?" Satu tanggapan, dan itu membuat Gendhis bertambah kesal.

Gendhis berkerut kening seketika. "Buat kakeknya!" Suara Gendhis terdengar geram yang tertahan.

"Hah? Kamu dapat kakek-kakek?" Clary ternganga tak percaya. Kontan Gendhis menepuk jidat. Bicara dengan Clary kadang butuh kesabaran tingkat tinggi.

"Ya buat Lud, Cla! Masa iya aku mau sama kakek-kakek? Cakep-cakep koyo ngene?" Gendhis menggertakkan geligi gemas sambil kedua tangannya mengepal bergetar di samping kedua pipi Clary.

"Ooo! Beneran mereka mau ngelamar?" tanya Clary lagi yang dijawab anggukan Gendhis berulang kali dengan sangat yakin.

"Gimana, kabar baik banget, kan? Akhirnya predikat jomblo legend-ku lenyap. Oooh, terharu aku!" Gendhis lega, akhirnya otak lola Clary menangkap informasi penting yang disampaikannya.

Clary ikut mengangguk-angguk bingung. Kapan mereka pacaran? Apa Lud tidak terpaksa? "Kok cepet banget? Lud sehat, kan?" Gendhis memasang muka datar yang gusar. Bayangkan dibilang Lud tak sehat karena menjadikan Gendhis pacarnya.

Gendhis "Sang Jomlo Legend"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang