🦄14. Pindahan🦄

146 34 17
                                    

Dengan berat hati Gendhis harus merelakan Lud pindah ke apartemen baru hadiah calon mertuanya. Walaupun Lud beberapa kali menolak untuk dibantu pindahan, tetap saja gadis itu kini sudah ada di kamar sang kekasih.

Mungkin bagi Gendhis, yang dinamakan membantu itu, hanya duduk di tepi ranjang sambil memandang ke seluruh penjuru ruang. Sementara Lud terlihat sibuk mengepak barang-barang pada sebuah kontainer plastik transparan yang terlihat isinya dari luar.

Ini kali pertama Gendhis duduk di kamar Lud. Selama ini ia hanya melihat kamar itu dari kejauhan. Gadis itu tak menyangka akan berada di kamar seberang dan kini memandangi jendela tempatnya beristirahat. 

Gendhis berdiri, mengambil botol minum dan meneguk air sambil menikmati pemandangan dari jendela kamar Lud. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat jelas penampakan kamar. Apa Lud juga punya kebiasaan seperti dia yang suka curi pandang?

Gendhis menyeka bibir, kemudian meletakkan begitu saja tumbler di atas meja tanpa ditutup rapat. Sementara Lud berulang kali berdeham, memberi kode bahwa ia tak nyaman. Namun, Lud lupa kalau tak hanya urat malu Gendhis yang putus, tetapi saraf pekanya entah ada atau tidak. Melirik tajam ke Gendhis sambil memasukkan buku dengan kasar di dalam kontainer hingga terdengar suara nyaring, akhirnya lelaki itu membuka mulut.

"Ndhis, kamu ke sini mau bantuin apa mau survei?" dengkus Lud dengan keras, sambil menyeka peluh di dahi.

Gendhis berbalik. Mata belok itu mengerjap. "Ya, mau bantuin Mas Lud lah? Kenapa?"

Lud mengembuskan udara kasar. Inikah calon istrinya yang tidak peka? Kenapa ia mau melamar gadis itu? Ada rasa sesal terselip di dalam dada.

"Bantuin tapi malah lihat-lihat gitu?" Alis Lud sudah mengernyit tajam.

Gendhis terkekeh. Gadis itu melangkah mendekat, mencubit dagu lancip Lud yang menggemas. "Bilang aja mau dibantuin. Gitu kok repot? Pakai marah-marah segala?"

Lud menepis tangan Gendhis. Ia memandang polah gadis yang tampak memuakkan. "Bisa nggak sih, bersikap biasa aja?"

Nada datar, ketus dan dingin itu menguar di ruangan. Sontak suasana menjadi beku. Gendhis seolah tak menggubris masih sibuk menata buku yang tak dimasukkan begitu saja oleh Lud. Bukan Gendhis tak mau membantu. Hanya saja, ia ingin Lud merasa membutuhkannya. Seperti kata teman-teman Gendhis di rumah sebelah bahwa Gendhis terlalu bucin, seolah tak mungkin bagi Lud menyukai dirinya.

"Aku biasa kali, Mas. Biasa kaya gini, 'kan?" Gendhis memberikan  cengiran hingga deretan gigi putih yang kontras dengan warna kulitnya terkuak. "Cuma … aku sedih Mas Lud pindah. Sore ini pula langsung pindah."

Lud mendesah panjang. Hatinya merintih dan memohon jangan sampai ada drama lagi. Sudah berulang kali ia terbelit dalam jebakan Gendhis yang lengket seperti gulali.

"Kan, cuma pisah bentar, Ndhis. Habis itu kita juga tinggal bareng." Entah dalam rangka apa Lud memberikan kalimat penghiburan itu. Tapi nyatanya ucapan lelaki itu berhasil membuat mata redup Gendhis kembali bersinar.

Ia berbalik, melupakan kontainer yang ada di atas kursi dekat meja. Dengan mata lebarnya, Gendhis memandang Lud dengan senyum semringah. Tak hanya itu, gadis itu melompat memeluk tunangannya hingga terhuyung.

Lud tak siap menerima Gendhis, seperti hatinya yang belum terbuka untuk gadis manis itu. Karena terkejut, lelaki itu kehilangan keseimbangan. Tangannya meraih sandaran agar mereka tak jatuh. Hanya ada meja dan akhirnya, ia mendaratkan telapak tangan di permukaan meja yang terdapat tumbler. 

Tempat minum yang tutupnya menganga karena kecerobohan Gendhis itu ikut bergoyang ke kanan dan ke kiri, berusaha menjaga keseimbangan. Namun, tarikan bumi lebih kuat membuat botol itu jatuh dan menimpa kontainer berisi buku-buku kuliah Lud.

Gendhis "Sang Jomlo Legend"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang