TUSUK KONDE DAN KAIN KAFAN HITAM

En başından başla
                                    

Tiba-tiba, tas koper miliknya pun jatuh di atas lantai. Benda yang dikatakan wanita bercadar itu benar, bahwa kain kafan, tusuk konde, dan bedak untuk merias wajah berserakan.

"Tuh! Saya bilang juga apa, kalau kamu menganut ilmu hitam. Mendekatkan diri pada Allah, Mas, bukan pada jin. Karena bisa membuat kamu celaka, permisi!" Wanita itu berlalu meninggalkan Jefri di atas kursi.

Karena bandara sedikit demi sedikit memboyong aura mistis teramat kental, pemuda berusia 29 tahun itu pun beringsut meninggalkan lokasi. Setelah beberapa meter Jefri menapak, wanita berbaju sangat lusuh tengah mendudukkan badannya di atas kursi sembari mengambil tusuk konde miliknya itu.

Sesampainya di tepian trotoar, taksi pun berhenti, padahal Jefri tidak melambaikan tangan sama sekali. Akhirnya dia pun masuk sembari menetralisir suasana hati yang kian mencekam itu. Sopir di posisi depan sesekali menatap tempat duduk Jefri, dia seakan merasakan keanahen yang terjadi dalam mobilnya..

"Pak," panggil sopir itu singkat.

"I-iya, Pak. Ada apa, ya?" tanya Jefri.

"Bapak membawa seseorang, ya?"

Karena penasaran, Jefri pun mendekatkan wajahnya sedikit menjorok ke bangku paling depan. Kemudian dia menjawab, "maksudnya membawa siapa, Pak?"

"Bapak tidak merasa aneh gitu? Kalau di samping Bapak ada nenek-nenek," papar sopir itu lagi.

Sembari celingukan, pemuda berbadan maskulin itu mencoba menyelidik perkataan yang datang padanya, lalu dia membalas, "saya enggak mengerti maksud Bapak, karena saya cuma sendirian."

"Pak, hati-hati saja ke depannya. Karena Bapak sudah bersekutu pada setan," pungkas sopir itu lagi.

Selepas berkata, seekor kucing melintas sangat kencang. Taksi yang kala itu sedang bergerak lumayan laju, harus berhenti secara tiba-tiba dan berada pada tepian trotoar. Posisi mereka masih di tengah jalan aspal hutan Akasia, tanpa ada satu pun kendaraan yang melintas saat itu.

Sopir di posisi depan kembali mencoba untuk menyalakan taksinya. Namun, mesin mobil tak kunjung mau hidup. Kabut putih bergerak anggun ke sana ke mari, burung hantu terdengar sejurus menuju pohon randu yang ada di posisi samping.

Sementara sinyal ponsel pun mendadak hilang, listrik di sepanjang jalan padam seketika bersama gerimis yang mulai lebat. Wiper yang menghapus percikan air seakan kewalahan, karena hutan telah diguyur badai seakan mengepung dari segala sudut.

"Pak, taksinya kenapa, ya?" tanya Jefri penasaran.

"Mogok, Pak, enggak tahu kenapa," responsnya.

"Makanya, Pak, jadi orang jangan suudzon. Saya tidak membawa siapa pun dari tadi," tambah Jefri menengahi.

Karena sopir itu tak ingin menambah perseteruan, dia menghela napas berat sembari menunggu mobil itu menyala. Sekitar lima belas menit, hujan pun reda dengan sendirinya, mobil menyala tanpa disentuh sama sekali.

"Kok, mobilnya menyala sendiri?" tanya sopir itu penasaran.

"Barangkali mobilnya cuma mau ngeprank aja, Pak." Jefri pun meledek dengan membuang cengir.

"Iya kali ngeprank, emang saya artis. Memang, sih, banyak yang bilang kalau saya mirip Anjasmara."

"Iyain aja, biar cepat," cibir Jefri sembari merebahkan badannya di atas kursi.

Mereka pun kembali bergerak menuju Kecamatan Lima Puluh. Setelah sekian jam berkutat pada jalan lintas, akhirnya rumah dengan bangunan super mewah itu terlihat dari ujung netra. Sopir pun memberhentikan taksinya tepat di depan teras, dia menoleh ke belakang sembari melihat Jefri yang telah tertidur pulas.

"Pak, bangun, Pak. Kita sudah sampai," ucap sopir itu sembari menyentuh lutut Jefri.

Dalam samar, pemuda beranak dua itu mencoba untuk membuka netranya, dia pun membersihkan iler yang keluar sejurus dari ekor bibir.

"Eh, kita udah sampai," kata Jefri.

"Sudah, Pak."

"Alhamdulillah ... akhinya kita sampai dengan selamat. Mari, Pak, singgah dulu." Jefri mempersilakan sopir bertopi kuning itu.

"Eng-enggak usah, Pak, nanti merepotkan."

"Kok, merepotkan. Kita ngopi dulu di dalam, Pak." Jefri pun keluar mobil diikuti dengan sopir itu.

Sesampainya di teras rumah, Jefri mengetuk pintu sebanyak dua kali. "Assalammualaikum ...."

"Wa'alaikumsallam ...," jawab seseorang dari dalam rumah.

Tanpa menunggu lama, Mirna pun membuka pintu sembari tertegun menatap sopir taksi itu. Sementara si sopir membalas kerlingan netra yang tak biasa terpapar padanya. Jefri hanya celingukan berpindah posisi dalam melirik.

"Ibu kenal dengan sopir ini?" tanya Jefri.

Kemudian, mereka berdua seperti tengah membuyarkan lamunan. Mirna pun menjawab, "ah, enggak. Ayo, masuk dulu. Biar ibu buatkan minuman hangat." Mirna pun berlalu pergi menuju dapur. Tepat di samping arloji sakana klasik, wanita tua itu kembali menatap sopir yang sedari tadi menatap penuh selidik.

"Assalammualaikum ...," sapa si sopir.

"Wa'alaikumsallam ... silakan duduk, Pak." Jefri pun meletakkan kopernya di samping kiri.

"Wah, rumah Anda besar sekali. Tapi sayang, berhantu."

"Maksudnya berhantu gimana, pak?"

"Eng-engak, Pak. Saya salah ngomong. Oh, ya, nama saya Narto." Sopir itu menyodorkan tangan kanannya.

"Saya Jefri, Pak."

Dari pojok ruangan, Mirna pun datang membawa nampan berisikan kopi hangat. Sementara di atas piring, sudah ada kudapan yang siap untuk disantap. Wanita tua itu meletakkan nampan di atas meja, dia menyusun rapi gelas-gelas kosong yang dibawanya.

"Silakan diminum dulu kopinya, nanti keburu dingin," kata Mirna.

"Terima kasih, Bu. Oh, ya, anak-anak ke mana? Enggak ada suaranya." Jefri celingukan tanpa henti.

"Radit sama Aurel ada di atas, biar ibu panggilkan." Mirna beringsut pergi menuju lantai dua.

"Silakan diminum, Pak Narto. Keburu dingin kopinya," titah Jefri mempersilakan.

Mereka pun saling bercokol di ruang tamu. Suasana temaram rumah mewah itu menghadirkan hiruk pikuk yang datang dari penjuru sudut. Bahkan arloji sakana klasik juga sangat misterius bagi Narto—sopir taksi itu.

Sembari meneguk kopi hangat, netranya pun tak jemu memandang lukisan tiga dimensi yang berjejer rapi di setiap pojok rumah. Tampak dari mata batinnya bahwa gambar-gambar itu hidup dan seakan mengajak siapa pun untuk memasuki dunia meraka, akan tetapi tidak untuk Narto, dia memiliki kelebihan untuk menerawang area sekitar, salah satunya mendeteksi di mana saja keberadaan makhluk gaib.

"Pak, saya boleh permisi ke kamar mandi," ucap Narto spontan.

"Oh, boleh, Pak. Di sudut sana ada kamar mandi, silakan." Jefri menunjuk ruangan minimalis dengan dua pintu itu.

Lamat-lamat, Narto beringsut dan menuju kamar mandi. Setibanya tepat di depan pintu, dia mendapati aroma bunga kantil menyengat indra penciumannya. Dengan perlahan, lelaki bertopi kuning itu memasuki ruangan minimalis yang berada tepat sejurus pada tatapan.

Kepergiannya menuju kamar mandi bukan untuk buang air, dia sekadar ingin mengetahui aura mistis paling kental itu datang dari mana. Kini, pertanyaan terjawab lunas, karena ruangan yang menjadi pusat keberadaan makhluk gaib itu berada dalam kamar mandi.

Suara tangisan mendayu-dayu bergerak lambat dari plafon, ditambah seperti telapak kaki yang juga hadir di sana. Namun, Narto tetap bersikap tenang dan memutar badannya ke belakang. Dari pantulan cermin, sosok itu telah hadir dengan kepala yang telah terpecah menjadi dua bagian.

Pengantin KutukanHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin