"Buka mulutmu, Sayang," ucap Edgar padaku.

Aku melengos ke arah lain. Perutku tiba-tiba mual. Bukan karena aroma sup yang mengudara tapi saat mendengar panggilan sayang dari Edgar.

"Makanlah, Citra," ucap Ibu. Sekarang perempuan itu duduk di sofa sambil mengupas apel. Matanya senantiasa memperhatikanku.

"Aku tidak lapar," jawabku pelan.

"Kamu belum makan sejak tadi pagi, sedangkan obat yang diberikan dokter harus diminum sesudah makan," ujar Ibu lagi.

Aku menggeleng tegas. Sama sekali tidak berani menghadap ke arah Edgar yang masih memegang sendok berisi makanan.

"Jangan egois, ingat janin yang ada di dalam kandunganmu. Apa kamu mau membahayakan janin tidak berdosa itu?" tanya Ibu lagi.

Aku mendesah pelan sambil mengelus perut yang masih rata. Rasanya tidak percaya bahwa saat ini aku sedang mengandung. Tapi kenyataan itu justru memberi luka yang sakitnya tidak terbendung. 

"Ayo buka mulutmu," bujuk Edgar kemudian. 

"Tidak!"

"Kasihan calon anak kita kalau ibunya tidak mau makan."

"Ini bukan anakmu!" sahutku ketus.

"Astaga, Citra! Kau punya energi untuk mendebat Edgar tapi menolak untuk membuka mulut. Benar- benar menguji kesabaran," celetuk Ibu menahan jengkel.

Edgar tertawa pelan, lalu berkata, "Tidak apa-apa, Bu. Mungkin dia menunggu ciuman dariku." 

Laki-laki itu langsung mendekatkan wajahnya kepadaku. Terang saja aku menghindar dan membentaknya marah.

"Jangan macam-macam!" Aku berkata dengan tegas. Mataku menatap Edgar dengan tajam. "Jaga batasanmu, kau sangat tidak sopan!"

"Jadi, kau tidak mau kucium?" 

"Tentu saja tidak!"

"Kalau begitu buka mulutmu dan telan makanan ini. Kalau tidak aku akan---" 

"Cukup!" bentakku lelah. 

Kututup wajah dengan kedua telapak tangan, lalu terisak pelan. Berulang kali aku bertanya pada diri sendiri tentang kesalahan apa yang kuperbuat sehingga harus menanggung derita ini. 

Pernikahan yang kuimpikan berjalan damai seumur hidup nyatanya harus dikandaskan oleh keegoisan mertua dan ipar sendiri. Suami yang kuharap akan melindungi malah memilih untuk mundur dan meninggalkanku. Dia bahkan tidak tahu bahwa di dalam tubuh ini sedang tumbuh benihnya. Parahnya lagi, hidupku dikekang tanpa ada ruang sedikitpun untuk bernapas lega.

Harga diriku sangat terluka saat Edgar bersikap kurang ajar, dan aku benci melihat sikap Ibu yang memilih diam. Beliau menutup mata atas sikap semena-mena anaknya terhadapku.

"Berhentilah menangis," ucap Ibu. Beliau membelai kepalaku lembut. 

Tidak berapa lama kemudian kudengar suara pintu ditutup. Ternyata Edgar memilih untuk keluar setelah gagal memaksakan kehendaknya padaku. Sekarang hanya ada Ibu yang memintaku untuk tenang. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 07, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Setetes NodaWhere stories live. Discover now