8 - Perpustakaan

En başından başla
                                    

Fiona langsung mengerti apa maksud perkataan Raymond. "Makasih udah bawa gue ke UKS waktu itu."

"Sama-sama."

"Udah, kan? Sekarang bisa lo pergi?"

"Gak. Lagian gue gak pernah bilang bakal pergi kalo lo bilang makasih," ujar Raymond terkekeh.

Fiona menghembuskan nafas panjang untuk meredakan kekesalannya. Pada akhirnya dia menyerah berdebat dan membiarkan saja Raymond berada di sana, ia juga tidak mau pindah karena malas dan tempat ini memang sangat strategis untuk belajar. Mungkin itu juga alasan Raymond bertahan sejak tadi, begitu pikirnya. Fiona kemudian menatap bukunya dan mulai belajar, tidak memedulikan Raymond lagi.

"Sekarang lo kelihatan hidup, gak kayak yang lain," gumam Raymond.

Fiona sontak melirik Raymond yang sekarang fokus dengan bukunya. Dia masih dapat mendengar isi gumaman Raymond tadi, apa Raymond berpikir begitu karena sifatnya sedikit berbeda dengan Fiona asli yang seperti boneka tidak punya emosi sehingga sekarang dia kelihatan lebih hidup? Tetapi apa maksudnya 'gak kayak yang lain'? Ini seolah Raymond berkata kalau orang lain selain dirinya itu tidak hidup.

"Lo bilang apa tadi?" tanya Fiona.

"Hm?" Raymond sontak melirik Fiona dengan ekspresi bingung. "Memang gue ada bilang sesuatu tadi?"

Fiona terdiam sesaat dengan ekspresi datar. Sesuai deskripsi dalam novel, Raymond ahli pokerface, sekarang ia terlihat seolah memang tidak pernah mengatakan apa-apa tadi. "Gak jadi."

Raymond dan Fiona akhirnya kembali fokus pada buku masing-masing saja. Suara jarum jam bergerak dan kertas yang dibalik menemani keheningan dalam proses belajar mereka.

Tidak terasa, bel istirahat pertama akan berbunyi kurang dari lima menit lagi. Fiona dan Raymond sekarang sama-sama melirik jam dinding, tetapi satu pun dari mereka belum ada yang bangkit berdiri.

Tiba-tiba mata Fiona membulat kaget karena baru menyadari sesuatu. Jam istirahat pertama merupakan waktu Ethan dan Olivia bertemu di sini. Alasannya karena Olivia tidak punya teman sebab pemalu sehingga dirinya menghabiskan istirahat pertamanya di perpustakaan saja kecuali istirahat kedua saat kantin tidak terlalu ramai. Sementara Ethan ke perpustakaan ini untuk belajar sekaligus menghindari penggemarnya yang berkerumun di kantin setiap jam istirahat pertama.

Memang tidak pernah disebutkan di novel perihal pertemuan Ethan dan Raymond di perpustakaan. Namun apa sekarang keduanya akan bertemu di adegan yang tidak pernah ditunjukkan dalam novelnya? Atau ini akibat dari Fiona yang mengubah alur? Apapun itu, Fiona tidak peduli dan tidak berniat berada di tengah-tengah perang yang bisa mengganggu proses belajarnya itu.

Fiona merapikan buku-bukunya. "Gue duluan, Raymond." Sudah kebiasaan sopan baginya untuk berpamitan.

Raymond sontak menoleh, ia merasa terkejut karena biasanya Fiona tidak peduli akan hal apa pun, itu termasuk pamit. "Gue yakin banget lo jatuh ke dada gue waktu pingsan, bukan ke lantai. Atau habis itu lo pernah jatuh ya? Makanya lo tiba-tiba jadi sopan."

"Gue dulu sopan, cuma kurang peduli aja. Lagian gausah sok-sok kenal gue," balas Fiona datar.

"Gue bahkan kenal banget sama lo," ujar Raymond menyeringai tipis.

Keduanya seketika sama-sama diam.
Fiona mengernyitkan dahi, berpikir apa mungkin Fiona asli dan Raymond punya hubungan khusus seperti yang ia duga saat baru masuk ke dunia ini? Sementara Raymond terkesiap, segera menutup wajahnya yang merah sebab malu setelah mengatakan hal ambigu, seolah menyatakan ia seorang stalker.

Apa Fiona memang temenan deket sama Raymond? Cowok ini sifatnya friendly sih, meski cuma topeng, jadinya aku gak tahu dia akrab sama aku atau tadi cuma sekedar ngobrol sebagai temen sekelas, pikir Fiona.

"Jangan mikir macam-macam, gue gak sebrengsek itu!" sangkal Raymond dengan ekspresi serius.

"Hah?" Fiona berekspresi bingung.

Raymond menghela nafas pelan lalu memalingkan wajahnya yang memerah malu. "Lagian bukan cuma lo kok. Gue kenal semua to ... teman-teman di kelas, bagaimana pun kan gue ketua kelas yang memerhatikan semua anggotanya."

"Tunggu! 'To'? Apa maksud 'to' tadi?" tanya Fiona penasaran.

"Typo, bukan to, tapi te, jadi teman-teman di kelas, lanjutannya kan gitu. Maklum lidah gue kadang kepleset," jawab Raymond terkekeh.

"Mana ada typo lisan." Fiona menatap selidik sambil menarik dasi Raymond supaya laki-laki itu menatapnya juga. "Jawab jujur, lo tadi mau bilang apa? To? Apa ... tokoh? Tokoh novel gitu?"

Sejak kejadian di toko buku kemarin, Fiona sudah curiga kalau Raymond mungkin saja sama sepertinya, orang yang bertransmigrasi juga. Kini Fiona menatap seksama ekspresi Raymond, laki-laki itu terlihat terkejut tapi detik berikutnya ia berekspresi serius dan menghilangkan ekspresi jahil ketua kelas tadi, topeng good boy-nya sudah hilang dan berganti wajah aslinya.

Jujur Fiona sedikit takut. Bagaimana tidak? Mata Raymond seperti hewan buas yang mengidentifikasi mangsa dan berpikir apa akan menerkamnya atau tidak. Raymond, tokoh antagonis yang nanti tidak segan memasukkan pamannya ke penjara bahkan berniat membunuh sepupunya. Hampir saja dia lupa sifat khas antagonis pria ini karena keakraban mereka tadi. Fiona akui, wajah Raymond di balik topeng yang sekarang ia lihat lumayan seram.

Rasa penasarannya menguap seketika sebab rasa takutnya lebih besar, Fiona segera melepaskan dasi Raymond lalu buru-buru memeluk semua bukunya sembari beranjak dari kursi. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia segera menuju rak-rak untuk menaruh buku-buku yang diambilnya sebelumnya.

Sesudah meletakkan buku-buku milik perpustakaan ke rak, dan menyisakan kotak pensil dan bukunya saja dalam pelukannya, Fiona berbalik badan. Ia seketika terkejut karena ada sesosok laki-laki menghalanginya. Apa jangan-jangan setan? pikirnya karena sosok itu muncul tanpa suara, padahal dia saja yang tidak peka pada sekitarnya sebab melamun sejak tadi. Sewaktu mendongak, Fiona bisa melihat wajah Raymond.

Raymond menaruh kedua tangannya menyentuh rak, di kedua sisi samping kepala Fiona. "Buru-buru amat. Kita belum selesai bicara tadi."

"Bicara apa? Tokoh novel tadi? Gue cuma bercanda, lo terlalu serius," balas Fiona tetap berwajah tenang.

Raymond terkekeh. "Benarkah? Tapi setahu gue, Fiona Arsha Serenity bukan orang yang bisa bercanda."

"Gue juga bisa bercanda. Berhenti sok-sok kenal gue," sinis Fiona, meski jantungnya kini sedang berdisko. Apa ini yang namanya cinta? Jelas tidak! Menurut Fiona, ini alarm lari.

BRUK

Fiona dan Raymond berjengit kaget. Mereka sontak menoleh, mendapati Ethan yang baru saja menaruh buku tebal ke atas salah satu meja di sana.

Ethan menatap mereka tajam dengan dahi mengernyit. Bukan hanya dia, siapapun yang melihat pastinya akan berpikir macam-macam akibat posisi tangan Raymond mengurung Fiona. Untunglah yang melihatnya sekarang hanya Ethan atau bakal tersebar gosip yang menarik mereka ke ruang BK.

"Kalian mau ngelakuin hal gak senonoh di perpus? Gila, ka--"

"Otak lo kayaknya perlu dibersihin." Raymond tiba-tiba berlutut dengan posisi kaki kiri tertekuk menutupi sepatu Fiona. Tangannya kemudian melepas tali sepatu kanan Fiona lalu mulai memasangkannya lagi. "Tadi itu Fiona hampir jatuh gara-gara nginjak tali sepatunya, terus dia refleks narik dasi gue yang lagi lewat, jadi akhirnya posisi kami kayak yang lo lihat tadi."

Gara-gara kaki Raymond terlalu maju nutupin sepatuku, Ethan pasti cuma bisa lihat Raymond lagi narik-narik tali sepatuku aja. Otaknya bekerja dengan cepat! batin Fiona.

"Benar kan, Fiona?" lanjut Raymond kembali berdiri.

Tanpa sadar, Fiona tersenyum karena mengagumi otak Raymond yang cepat tanggap. "Iya, maaf udah narik dasi lo," ucapnya sambil memperbaiki dasi Raymond dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya masih memeluk buku dan kotak pensilnya.

Setelahnya, Fiona pergi dari sana. Dia tidak memedulikan keterkejutan Ethan dan Raymond atas senyuman lembut dan sikapnya tadi karena itu memang cuma refleks.

: ̗̀➛Date : 14 Desember 2021

Miss Scapegoat Changed Her Destiny ✔ EndHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin