8 || Di Tengah Pertemuan

3K 441 46
                                    

| 8 |

DI TENGAH PERTEMUAN



JAM TANGANNYA RETAK lagi. Dia hampir menyerah untuk membeli jam tangan baru terus-terusan.

Kobaran api masih menyala di tengah jalanan. Mobil-mobil menumpuk jadi satu. Bahan bakarnya bercucuran membuat kobaran api makin menyala. Harusnya tak ada yang selamat. Tapi, Edreya tak ada waktu untuk memastikan lagi. Dia sudah menginterogasi salah seorang penguntitnya yang masih hidup, dan dia menjawab bahwa bosnya sudah mati di dalam kobaran api. Hanya bosnya yang tahu siapa klien yang menyuruh membunuh Edreya.

Jilatan api masih mengganas. Edreya tak mungkin masuk ke dalam hanya untuk mengambil ponsel milik pemimpin kelompok ini. Dia juga sudah telat untuk tiba di Jakarta. Jadi dia pun memilih untuk mengambil satu mobil yang sengaja dia sisihkan untuk perjalanan ke Ibu Kota.

Edreya menyeret kakinya yang terluka. Ada tusukan di paha dan darahnya terus merembes. Dia sudah mengikat pahanya dengan kain untuk menekan darah—hasil merobek kaus seorang musuhnya tadi dan menggunakan itu untuk pembebat sementara. Namun, dia tetap harus diobati. Rumah sakit bukanlah pilihan. Jejaknya bisa mudah terlacak. Dia hanya perlu perban dan obat-obatan. Serta yang terpenting: uang. Dia meninggalkan itu di mobil bersama Darius.

Edreya melempar pria yang masih hidup itu ke kobaran api. Kemudian menaiki mobil dan menahan ringisan dari pahanya yang terluka. Tentu ada kemungkinan bahwa mobil ini disadap atau ditempeli GPS, tapi Edreya tak terlalu peduli. Dia bisa berhenti di suatu titik, kemudian pergi menemui Darius dengan kendaraan lain.

Bensin di mobil yang dia kendarai tidaklah banyak. Mungkin banyak yang keluar saat pertarungan tadi. Edreya takkan bisa mencapai warung tempat janjiannya dengan Darius. Jadi dia memang harus mencari tempat terdekat yang menjual obat—sekaligus didatangi orang-orang kaya—dan meninggalkan mobil ini di sana. Sebab dompet dan ponselnya dia tinggalkan dalam Jeep-nya.

Edreya berkendara hingga dia melewati tol dan membuatnya tiba di perbatasan Ibu Kota. Gedung-gedung pencakar langit sudah terlihat lebih banyak. Kepadatan merayap dan lanskap kotanya familier. Edreya mengamati bahu jalan yang terdapat berbagai macam bangunan, dari toko kue, tempat les, restoran, spa, salon. Dia familier dengan distrik ini. Dia cukup tahu tempat ini. Dan dia juga tahu bahwa di sini terdapat supermarket besar yang menjual bahan premium, pengunjungnya rata-rata adalah penduduk Jakarta dengan ekonomi menengah ke atas, termasuk selebriti. Kini dia menemukan targetnya.

Edreya menghentikan mobil di depan rumah orang. Dia sudah mengecek lokasi kamera depan rumah, dan memarkirkan mobil di titik buta kamera itu.

Sejenak, dia menatap kaca spion. Refleksinya di kaca terlihat kurang layak dilihat—rambut berantakan, ada bekas darah dan beberapa luka, tersebar noda-noda di badan dan wajah. Dia mencari sesuatu dari mobil. Menemukan segelas air mineral kemasan dan membukanya, lalu mencuci muka dengan air itu. Jemarinya menyisir rambut untuk membuatnya serapi mungkin. Dan dia menarik ritsleting jaket kulitnya hingga leher, supaya menutupi kausnya yang kotor. Celana dan jaketnya berwarna gelap, jadi bisa menyamarkan noda dan bekas darah.

Sebelum keluar mobil, dia menciumi bau tubuhnya. Aromanya seperti darah dan kulit terbakar. Bukan aroma yang menyenangkan. Tapi, dia tak bisa memanipulasi aroma ini. Tak ada pewangi atau parfum yang bisa digunakan, serta terlebih, dia sudah kehabisan waktu. Dia tak boleh membuat Darius menunggu terlalu lama.

Perjalanan ke supermarket tujuannya memakan waktu lima menit jalan kaki. Paha kanannya yang terluka berdenyut tanpa henti. Dia menahan rasa sakit dan mempercepat jalannya.

Sarhad (Bisai #2)  | ✓Where stories live. Discover now