MALAM PERTAMA DI RUMAH BARU

Start from the beginning
                                    

"Kebiasaan, kalau habis marah pasti merayu." Jefri pun meledek seraya membuang cengir di ambang jendela.

Akan tetapi, orang tersebut tak membalas sama sekali ucapan Jefri. Yang ada hanyalah sebuah telapak tangan yang basah, lembap, dan lembut. Lamat-lamat, bulu kuduk meremang, decak jantung tak lagi netral seperti biasanya.

Tanpa memutar badan, Jefri mencoba untuk merayu sang istri lagi di posisi belakangnya. "Sayang ... kunci kamarnya, hi-hi-hi."

Karena perkataan itu tak kunjung dapat belasan, Jefri pun menoleh ke belakang secara perlahan. Netranya tercengang dengan sebuah ruangan yang kosong, ternyata Siska—istrinya tidak ada di posisi itu. Menggunakan tangan kanan, pemuda bertubuh maskulin itu mengerling dan membuang tatapan menuju plafon.

Ternyata penglihatan awal sama saja dengan yang baru saja dia buang, tepat di posisi depan tidak ada siapa pun. Keningnya pun mengernyit secara saksama, kemudian dia beringsut dua langkah ke depan dan menoleh kamar mandi.

'Enggak ada orang. Lalu, yang tadi menyentuh pundak aku siapa, ya?' tanya Jefri dalam hati.

Suara kecipak terdengar dari dalam kamar mandi, keran air seperti tengah menyala dengan sendirinya. Jiwa pun gelenyar dan penasaran. Akhirnya Jefri memasuki ruangan minimalis dengan dua pintu di dalamnya. Menggunakan tangan kanan, dia menyibak pintu pertama berwarna biru. Namun, di sana tidak ada siapa pun.

Kemudian, Jefri menyibak pintu nomor 2. Namun, di sana juga tidak ada siapa-siapa. Ketika dia mencoba untuk putar badan, tepat pada cermin di samping nakas, telah ada seseorang berambut sepinggang tengah menyisir rambutnya. Tanpa jemu, dia tetap tertegun pada posisinya itu.

'Yang menyisir rambut di belakang aku siapa, ya? Kok, seperti ibu ketika masih muda dulu.'

Setelah bersenandika, Jefri pun memutar badannya secara spontan. Ternyata di sana tak ada siapa pun, akan tetapi keran air masih menyala meskipun telah dimatikan. Karena merasa sangat ketakutan, pemuda beranak dua itu keluar dari dalam kamar mandi dan listrik kembali menyala.

"Alhamdulillah ... akhirnya lampu hidup kembali."

Hidupnya listrik, membawa penglihatan tak lazim lagi. Tepat di atas ubin, sebuah tusuk konde berwarna kuning tergeletak di samping dipan. Jefri pun mengambil benda tajam itu dan meletakkannya di atas nakas, kemudian dia pergi begitu saja.

Sesampainya di ruang tamu, Aurel dan Radit telah kembali bersama sang nenek. Mereka tampak ceria dengan membawa boneka dan robot mainan, keduanya pun memasuki ruang tamu dan bercokol bertiga.

"Bu, kok, cuma bertiga? Ayah ke mana?" tanya Jefri penasaran.

"Kayak enggak tahu bapakmu aja, lagi main catur di luar sama Diman." Sang ibu menoleh ke ambang pintu.

"Oh, sudah makan, Bu?" tanya Jefri lagi.

"Sudah, anak-anakmu sama persis dengan ayahnya dulu. Kalau lewat ke toko mainan pasti rewel, semua-semua minta dibeliin."

"Biarkan sajalah, Bu, asal tidak menangis," tukas Jefri.

"Papa, tadi kami bermain di pasar malam. Seru banget, ya, Radit?" tanya Aurel.

Radit pun hanya mengangguk seraya mengiyakan ucapan sang kakak, mereka pun tampak sangat bahagia tinggal di rumah baru itu. Padahal, Aurel dan Radit tidak pernah betah ketika menginap di tempat yang baru saja mereka datangi. Namun, Jefri selalu berpikir positif kalau rumah yang saat ini dihuni cocok dan bisa membuat kedamaian rumah tangganya.

Malam pun semakin larut, arloji sakana klasik menunjukkan pukul 22.00 WIB. Akhirnya Jefri dan Siska beringsut menuju kamar, sementara kedua anak-anak mereka telah terlelap di kamar masing-masing. Tepat dalam ruangan minimalis, kedua pasangan suami—istri itu kembali bercokol.

Pasalnya, tak berapa lama lagi mereka harus pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan. Mau tidak mau, kedua anak harus tinggal bersama nenek dan kakeknya di rumah. Nestapa kembali membelenggu jiwa yang kian gelenyar, tak mampu memberitahukan apa alasan pasti perihal kepergian itu. Tak lain adalah karena tuntutan pekerjaan.

"Sayang," panggil Jefri singkat.

"Iya, Pa," respons Siska.

"Sebentar lagi kita akan kembali bekerja meninggalkan anak-anak. Rasanya ... seperti enggak tega."

"Papa, sebenarnya mama juga berpikir seperti itu. Tapi gini, kita tinggal memilih antara 2. Tetap bekerja demi masa depan mereka, atau tetap tinggal tetapi nasib keluarga akan terancam. Yang aku mau, anak-anak kita akan berhasil kelak."

"I-iya, sih. Mereka harus mendapatkan kehidupan yang layak. Jangan seperti kehidupan kita sekarang, montang-manting dibawa arus."

"Kalau Papa merasa merepotkan ibu, cari pembantu baru untuk menemani mereka. Kan, ibu bisa fokus jaga anak-anak, sementara pembantu baru akan membersihkan rumah," ujar Siska.

"Benar juga kamu, Ma, memang istri terbaik aku." Jefri pun mencubit dagu sang istri dengan penuh kasih sayang.

Percakapan pun berhenti sejenak, Siska yang saat itu telah menutup mata, seraya membuang senyum simpul di bibirnya. Sementara sang suami masih berkutat pada penampakan tak lazim baru saja dia alami, termasuk menemukan sebuah tusuk konde berwarna kuning di samping dipan.

Karena rasa penasaran kembali menyergap, lelaki berusia 29 tahun itu mengambil benda tajam di samping nakas. Secara saksama, dia menatap mantap tusuk konde dan membolak-balikkan ke kanan dan ke kiri. Sementara jiwanya masih gelenyar merumuskan pertanyaan yang datang, sementara hati ingin mencekal firasat buruk itu.

Karena malam semakin larut, Jefri meletakkan benda tersebut di dalam nakas. Lamat-lamat, netra pun tertutup secara saksama bersama sang istri. Tepat di atas samping kiri, seseorang berbusana serba putih muncul seraya menatap mantap wajah tampan lelaki itu di atas dipan.

Tusuk konde berwarna kekuningan pun dia ambil dan diletakkan pada—dada—pemuda tampan tersebut. Kemudian, sosok bertubuh semampai itu berjalan menuju lukisan tiga dimensi dan masuk dalam ruang dunia gaib.

"Kamu siapa?" tanya Jefri penasaran.

"Saya bukan siapa-siapa, kenapa bertanya seperti itu!" pungkas lawan bicara.

"Cuma heran aja, soalnya kamu cantik sekali."

"Pasti kamu bohong. Kalau memang saya cantik, mana mungkin sampai saat ini saya belum dapat jodoh."

"Emang enggak ada lelaki yang suka sama kamu?" tanya Jefri bertubi-tubi.

Tanpa membalas ucapan, wanita itu hanya menggeleng dua kali, kemudian dia membuang tatapan menuju depan. Karena Jefri merasa sangat penasaran, dia pun menyentuh pundak wanita cantik itu. Dalam sekelebat penglihatan, sosok bertubuh semampai di hadapan pun menoleh.

Ketika dia membuang tatapan, wajahnya dipenuhi dengan darah dan belatung. Tepat di posisi tertegun, Jefri seakan tak mampu berkata apa pun.

"Ka-kamu, hantu ...!" teriaknya seraya membuka netra secara spontan.

Keringat membasahi sekujur tubuh ditimpali rasa ketakutan teramat dalam. Suara ayam pun telah berkokok di luar rumah, ternyata pagi telah tiba.

"Papa, kamu kenapa?" tanya Siska—istrinya.

"Enggak, Ma. Tadi cuma mimpi aja," jawab sang suami.

Pengantin KutukanWhere stories live. Discover now