🦄11. Hari Yang Ditunggu🦄

Mulai dari awal
                                    

"Hasil bakar-bakar, kan?"

Gendhis garuk-garuk kepala. "Tapi judulnya aneh-aneh deh Cla. Kaya azab mama tiri jahat tidak diterima di alam kubur, azab tukang selingkuh saat mati mata dicungkil...."

"Hah? Mama tiri berasap di alam kubur? Hihihi seru klo ada beneran. Boleh dibawa satu yang di rumahku," gumam gadis itu sambil meringis jail.

"Apaan dibawa? Mending doain deh, emak tiri kamu insaf, biar dilapangkan kuburnya. Kalo enggak, bisa-bisa dia gentayangan, loh. Nggak punya tempat di alam baka trus dia nemuin kamu sambil manggil ... Cla ... Clary ... mana ayam panggangku ...?" Gendhis paling tahu penderitaan Clary. Jauh dari suami dan ditempeli dedemit seperti Tante Sukma membuatnya pasti tersiksa.

"Hiiii! Enggak mau. Ayam panggangnya buat kamu aja!"

"Kamu emang best friend! Oya, ngomong-ngomong malam minggu ini, mami Lud telepon. Beliau mau ke rumah buat lamaran dan tunangan sekalian. Datang ya, Cla?" pinta Gendhis dengan pandangan berharap. 

"Jam berapa? Di mana?" Clary tertarik. "Eh, soal ayam panggang tadi kamu beneran mau? Mau potongan atau utuh?" tanya Calry yang selalu menggunakan kesempatan untuk meraup rezeki.

"Di rumah Solo, malam jam 7 acaranya. Eh, kamu mau nyumbang konsumsi?" 

"Eeeeh, enggak! Beli dong. Yang potongan 17 ribu. Yang utuh 50 ribu." 

Gendhis hampir lupa, Clary selalu gercep mencari uang. "Iya deh, usaha temen 'kan kudu didukung. Asal sering-sering kasih tester aja, ya."

"Oke!"

"Atau dikasih bonusan, satu ingkung bonus separuh ayam?" Gendhis mengangkat-angkat kedua alis. "Penglaris tuh, Cla."

Clary menanggapi serius. "Rugi aku, Ndhis. Bonusnya cakar atau brutu aja."

"Nope! Aku udah nggak butuh cakar untuk mengais cinta lelaki. Trus aku udah ceroboh gini, kamu mau kasih brutu biar aku makin pikun? Ckckck! Cla, Cla …" Gendhis menggelengkan kepala. "tega bener ya kamu jadi temen. Bonus rasa yang enak aja deh, biar yang makan puas. Aku ntar pesen beberapa ingkung buat aku bawa hari Jumat sore. Nglarisi usaha temen boleh, 'kan?"

"Ya deh, nanti kukasih tempe goreng, ketimun, ama sambal ekstra. Jadi Sabtu pagi kamu udah di Solo, ya?"

Gendhis mengangguk. Itu artinya, Clary akan sendirian mengikuti hari wisudanya. Tanpa keluarga dan juga teman baik. Walau sebenarnya gadis manis itu tak tega membiarkan Clary sendirian di hati bahagianya. 

Setelah bercakap sejenak merencanakan keberangkatan Clary yang diusulkan dengan Damai sahabatnya itu pamit untuk pulang.

Gendhis lalu memberitahu Lud rencananya, agar Damai memberi tumpangan pada Clary, begitu ia selesai mandi sore itu.

***

Gendhis sudah tak sabar lagi menunggu hari Sabtu. Saat akan bersiap pulang pada hari Jumat sore.

***

Acara lamaran dilangsungkan sesuai rencana. Gendhis tampil manis dengan balutan kebaya brokat warna cokelat dan bawahan rok batik selutut. Sandal high heels warna senada membuat penampilannya semakin anggun. Wajah Gendhis dipoles natural oleh tiga gadis sehingga memancarkan kecantikan eksotis alami. Rambut sebahunya dibentuk sanggul kecil dengan hiasan bunga melati yang sengaja dibawa Clary dari kebun rumahnya.

Sementara Lud terlihat tampan dengan kemeja batik lengan panjang dan celana kain hitam. Rambutnya ditata rapi dengan pomade menambah kesan segar dan dewasa. Melihat penampilan Lud yang rupawan, jantung Gendhis berdetak dengan kencang.

Saat menyongsong kedatangan keluarga Lud, wajah terpesona Gendhis tak bisa disembunyikan. Wajah sawo matang itu merona ketika ia bersitatap dengan Lud. Sayangnya lelaki itu hanya melengos saat pandangan mereka bertumbukan.

"Mas Lud, gimana penampilanku?"

"Gimana apanya?" Lud hanya melirik.

"Cantik? Manis?"

"Emang kamu kue?" Lud mengedarkan pandangan ke seluruh rumah Gendhis. Rumah itu luas halaman dengan satu pohon mangga besar di  tepi pagar. 

"Aku rela kok jadi kue cantik manis yang bisa mengenyangkan perut Mas." Gendhis terkikik. Sementara Lud hanya menepuk dahi dan menggeleng takjub dengan tingkat kepercayaan diri calon istrinya.

Serangkaian acara dilaksanakan, dihadiri oleh keluarga inti dan teman-teman Gendhis yang membantu kerepotan pihak keluarga. Adik papi Lud sebagai juru bicara pihak keluarga Lud, untuk mengutarakan maksud kedatangan mereka.

Selama acara Gendhis hanya duduk dengan manis, sesekali melirik dengan gaya sok malu-malu.

"Oya, untuk hadiah pernikahan, mami dan papi sudah membelikan satu unit apartemen buat kalian. Kalian pasangan muda, masih kuliah pula. Jadi, kalau sudah lulus barulah dipertimbangkan beli rumah biar ga kerepotan ngurusnya."

Mata Gendhis semakin berbinar. "Wah, Om sama Tante—"

Mami Lud menggeleng. Telunjuknya bergerak kanan kiri. "Mami … Papi. Kamu sudah menjadi calon istri Lud, Sayang."

Gendhis tersenyum simpul. Duduknya bergoyang kanan kiri menahan buncahan kegembiraan.

"Nanti sementara, biar Lud yang tinggal di sana," kata papi Lud.

"Tinggal di sana?" Sontak wajah cerah Gendhis tersapu awan gelap. Kalau Lud pindah, itu artinya Gendhis tidak bisa lirik-lirik ke jendela sebelah. Gendhis tidak bisa membayangkan ia akan didera rasa rindu.

Rindu itu berat … Apa aku akan kuat?

Saat acara makan, Gendhis duduk di sisi Lud dengan membawa mangkok yang hanya berisi sup.

"Mas, habis ini berarti Mas pindah ke apartemen?" tanya Gendhis setelah melahap satu suapan sup manten. 

Lud hanya mengangguk. Mulutnya masih sibuk mengunyah nasi campur-campur—ada ikan, sayur, ayam—dalam satu piring. "Kenapa?"

Gendhis memberengut. Ia merasa kehilangan Lud. Kalau setiap pagi ia masih bisa curi-curi melihat Lud dari jendela kamar. kini ia tidak bisa melakukan kebiasaan absurdnya.

Lud tiba-tiba tersedak, melihat ekspresi Gendhis. Gadis itu menepuk punggung sang kekasih dengan keras. "Pelan-pelan, Mas!" 

Masih terbatuk, Lud meraih gelas air mineral dan menyedot cepat untuk menggelontorkan sumbatan.

"Ish, mukanya jangan bikin macam gitu!"

"Kenapa?" Kedua alis Lud terangkat.

"Kaya bebek!"

Gendhis tertawa terbahak, tak tersinggung dengan ucapan Lud. Ia bahkan menyikut keras lengan pria muda itu.

"Bibir bebek asyik buat dicium. Kata Clary bibirku seksi, tahu ga sih?" 

Lud memberikan cengiran canggung, lupa bahwa ia bercakap dengan Gendhis yang urat malunya mungkin terputus.

"Jadi, kapan Mas pindah?" tanya Gendhis.

"Besok."

Bibir maju itu semakin maju lima centi. Ia senang dengan hadiah apartemen dari orang tua Lud untuk mereka. Namun artinya selama enam bulan ini Gendhis harus bersabar bila ingin bertemu Lud.

"Ya udah, aku bantu …."

"Nggak, terima kasih!"

Gendhis menepuk keras punggung Lud. "Ih, pakai malu-malu segala, kaya sama siapa." Gendhis terkekek.

Lud melongo. Sungguh, dia tidak perlu bantuan Gendhis karena sudah paham dengan kecerobohan gadis itu.

💕Dee_ane💕


M

aen juga yuk ke tempat Clary "Sang Jomlo Dadakan" furadantin

Gendhis "Sang Jomlo Legend"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang