Papa melepas kacamatanya lalu kemudian tersenyum penuh arti. Tentu saja dia harus menerima fakta bahwa apa yang Jerome katakan memang benar. Dia adalah penyebab kenapa Khansa harus merasakan penderitaan ini. Sepasang matanya yang selalu berkilauan kembali terarah pada mata sang putra yang masih menatapnya dengan sorot dingin dan datar.

"Ambil lagi." titah papa seraya mendorong kartu ATM itu kembali kepada Jerome.

"Nggak usah, makasih. Aku bisa biayain hidup Khansa dengan uangku sendiri. Dan lagi aku ragu kalau Khansa mau nerima uang itu. She'd rather die, i guess." tolak Jerome tegas.

"Anggap aja ini hadiah pernikahan untuk kalian dari papa," pinta papa lagi kali ini dengan nada yang lebih tulus dan juga setengah memohon. "Dan kalau kalian nggak mau pake uang itu untuk kebutuhan pribadi, kalian bisa pake untuk kebutuhan calon anak-anak kalian nanti."

Kali ini gantian Jerome yang terdiam. Papanya tersenyum lembut.

"Apa papa juga nggak boleh ngasih hadiah untuk calon cucu papa nanti?"

Jerome menghela nafas seraya meraih kembali kartu ATM itu dan memasukkannya lagi ke dalam dompetnya. Papa tersenyum lega. Setidaknya Jerome masih punya hati untuk tidak menolak mentah-mentah uang pemberian darinya yang seharusnya bisa untuk membiayai hidup dan juga kuliah Khansa dulu.

"Aku pergi dulu." pamit Jerome diiringi dengan tangannya yang tergerak untuk mencium tangan sang papa.

Begitu keluar dari ruang kerja, Jerome mendapati Khansa yang kini sudah dihadang oleh Laura dan juga mama. Dilihat dari gelagatnya, tampaknya kedua wanita yang sangat ia sayangi itu berniat melarang Khansa untuk ikut dengannya. Jerome berdecak jengkel. Entah sampai kapan dia harus melihat sisi kekanakkan dari ibu dan juga adik perempuannya itu.

"Lagi pada ngapain sih?" Jerome duduk di sofa sambil memakai kaus kaki dan juga sepatunya.

"Nggak ngapa-ngapain kok. mama cuma mau ngobrol aja sama menantu kesayangan mama ini," mama tersenyum hangat pada Jerome lalu kemudian melirik Khansa dengan sinis. "Kamu yang mau olahraga, kenapa dia juga ikut, Jer? Emangnya nanti dia nggak akan bikin kamu susah disana?"

"Tau nih abang! Ngapain coba bawa-bawa dia buat nemenin main basket?! Mendingan juga dia nyuci piring di rumah sekalian bantuin bi Hanum!" sambung Laura pedas.

"Bacot lo." Jerome menatap ibu dan adik perempuannya itu dengan datar lalu kemudian memberi isyarat pada Khansa yang sudah siap dengan pakaian kasualnya untuk mendekat. "Aku yang minta Khansa ikut. Ada masalah?"

Mama dan Laura tersentak kaget melihat sorot dingin Jerome yang tidak pernah sekalipun mereka lihat sebelumnya. Khansa menggigit bibir bawahnya takut sekaligus gugup seraya berlari kecil menghampiri Jerome. Dalam hati dia berharap agar tidak ada peperangan yang terjadi lagi antara ibu dan anak ini nanti.

"Jer, tapi mama rasa dia nggak perlu ikut deh. Lagian gimana kalau misalnya temen-temen kamu tau skandal yang terjadi antara ibunya sama papa kamu?"

"Mereka udah pada tau dan mereka juga yang pengen Khansa ikut. Lagian disana nggak cuma aku sama temen-temen aku aja kok, mereka pada bawa istri sama pacarnya masing-masing juga. Not big deal."

Baik mama maupun Laura keduanya sama-sama bungkam karena sorot mata Jerome kian menajam dan juga menakutkan. Mama melempar tatapan memperingatkan pada Jerome, namun sang putra tetap pada pendiriannya. Tangannya bergerak untuk menggenggam tangan Khansa dan dia langsung membawa istrinya itu keluar dari rumah. Jika terus berlama-lama disana, mamanya pasti akan mengajaknya bicara empat mata mengenai perjanjian yang pernah mereka buat. Atau lebih tepatnya, perjanjian sepihak yang hanya disetujui oleh pihak mamanya sendiri. Perjanjian mengenai alasan kenapa sang ibu memaksanya untuk menikahi Khansa.

AVENGEMENT ( ✔ )Where stories live. Discover now