Gamma terdiam, mendengarkan pendapat dari sudut pandang pacarnya itu. "Lo nggak sepenuhnya salah, Gamma. Saat itu juga kan lo masih SMA, masih remaja dengan perasaan labil pada umumnya. Tapi pada akhirnya setelah lo tau dan sadar, you treat her really well. Lo selalu ada disisinya sampai akhir. And in the end, gue yakin lo tetep Gamma yang memberikan kebahagiaan buat Alaska dan bukan sebaliknya."

"So stop ya, berpikir diri lo adalah seorang yang brengsek. You're doing great." Azady mengubah nadanya menjadi lembut, memberi pengertian dan validasi yang Gamma butuhkan.

Cowok itu kini tersenyum hangat. "Azady...." perempuan itu langsung menggumam sebagai jawaban. "Menurut lo gitu ya?

"Iyaa," Azady menjawab tak kalah lembutnya membuat senyum Gamma lagi-lagi timbul diwajahnya.

"I love you so so much. As much as i want to treat you like you should be treated, Dy." Azady terdiam membisu, tak tahu harus menjawab apa. "Lo harus tau sesayang apa gue sama lo, Dy. Sesayang itu." Ujar Gamma tulus sambil menatapnya lekat.

Azady kini termenung, terbelenggu. Tidak percaya apa yang sedang didengarnya tadi, tentang fakta bahwa Gamma menyayanginya sebegitu dalam dan tulusnya. Sementara keraguan terkadang masih sering muncul dan Sekala masih mendominasi tempat dihatinya.

Tanpa sadar Azady meremat ujung bajunya tanpa bisa Gamma lihat, berusaha menahan rasa bersalah yang muncul di hatinya selagi membalas tatapan Gamma dengan senyum manis yang malah terlihat kikuk. Keadaan seolah berbalik dan siapapun yang bisa membaca hati keduanya pasti akan mengklaim bahwa Azady adalah orang brengseknya disini, bukan Gamma.

Iya, ia brengsek karena masih menginginkan Sekala untuk kembali disaat ia sudah memiliki Gamma yang dengan tulus menyayanginya. Rasa sayang Gamma yang sebesar itu seolah masih tak cukup untuk menggantikan arti diri Sekala bagi Azady.

Sungguh, ia egois sekali bukan?

•••••

"Ta, gue mau putus." Gita yang baru kembali dari menutup gerbang rumahnya itu setelah Azady tiba, lantas menatap sang empunya suara dengan terkejut sebelum berubah menjadi memincing.

"Lo kalo ngomong pake bismillah dulu nggak sih? Ngagetin banget orang baru sampe juga."  Tanya Gita mendumel heran pada sahabatnya itu. "Kenapa tiba-tiba mau putus? Bukan ini ya yang gue harapin pas lo bilang mau cerita."

"Ya karena gue ngerasa nggak pantes dapetin Gamma. Gue brengsek, Ta, lo sendiri tau dengan jelas kan perasaan gue kayak gimana?"

Gita menghela napas pelan, selagi mengambil tempat untuk duduk dihadapan Azady. "Bagian mananya yang ngebuat lo ngerasa nggak pantes dapetin Gamma?"

"Soal perasaan gue." Jawab Azady membuat Gita memilih untuk diam, seolah meminta perempuan itu untuk menjelaskan secara lanjut lebih dahulu. "Lo tau kan kalo hari ini gue abis pergi sama Gamma buat ketemu Alaska?" Gita mengangguk membuat Azady langsung melanjutkan ucapannya. "Ternyata Alaska udah nggak ada, Ta. Dia-"

"Tunggu, tunggu, maksudnya nggak ada?" Gita bertanya, tak mau berburuk sangka yang tidak-tidak meskipun maksudnya memang ke arah sana.

Azady menghela napas pelan, perasaan sesak itu kembali timbul. "Iya nggak ada, Ta, dalam artian yang sesungguhnya." Gita langsung menahan napasnya saking terkejutnya, namun tak ada satupun perkataan yang keluar dari mulutnya dan ia memilih untuk mendengarkan cerita Azady tanpa banyak bertanya.

"Gamma through a lot setelah Alaska pergi. Dia sering ngerasa bersalah sama Alaska karena dia merasa nggak memperlakukan dia dengan baik dulu. He was kinda playing with her feelings, not knowing that she's sick back then, sampe Gilang kasih tau dan dia baru sadar." Azady menarik napas sambil menyandarkan punggungnya pada sofa. "Dan karena perasaan bersalah dia itu, Ta, yang jadi alasan kenapa dia seperhatian itu sama gue yang malah terkesan berlebihan. He scared he didn't treat me well enough. Like he did to Alaska."

Ruang JedaWhere stories live. Discover now