Bab 10

3 2 0
                                    

ASSALAMUALAIKUM
.
.
HAPPY READING!

.
.

.
.

Nindi merasa hari ini sangat gelap, tidak ada penerangan. Ya, walaupun bisa dilihat lewat matanya, langit sangat cerah. Tidak ada mendung, baginya tidak dengan dirinya. Dia merasa gelap dijauhkan dari sahabat itu menjadi kelemahan Nindi tersendiri. Dia akan merasa dunia jahat, dan tidak berpihak kepadanya, saat sahabat-sahabatnya menjauhi karena kesalahan darinya sendiri.

Dia bukan tipikal orang yang akan diam begitu saja saat sahabatnya mendiamkan. Tetapi beda dengan sekarang, kalau dia akan meminta maaf, pasti Nindi akan diberikan pertanyaan. Tidak mungkin Nindi akan berbicara jujur kepada sahabatnya. Mereka pasti akan melakukan sesuatu untuk melindungi Nindi. Bukannya itu malah menjadi kacau, karena orang itu tak sembarang orang. Mungkin memang baiknya Nindi sendiri dulu sementara, demi kebaikan sahabatnya juga. Pasti bisa!

Dengan langkah gusar ia melangkah masuk ke dalam kelas. Sudah banyak orang di dalam, termasuk Riska. Biasannya dia akan menghampiri Nindi saat baru saja datang. Tapi tidak untuk hari ini, dia lebih memilih berbincang dengan teman lain. Nindi paham dengan semua yang terjadi, dia meletakkan tas di bangku, kemudian mengambil novel di dalam tas. Dia akan membawa novel ke mana pun berada. Tujuannya kalau sedang di suasana seperti ini, ia tidak kesepian. Lalu kalau bosan dia beralih ke aplikasi Wattpad  untuk menulis cerita.

Masih sibuk dengan ponselnya, Nindi terperanjat kaget. "Triplek!" ujar seseorang yang sangat dikenal Nindi. Siapa lagi kalau bukan Daimler. Dia selalu saja mengganggu ketenangan hidup Nindi.

"Bisa nggak sih panggil nama?" tanya Nindi kesal.

"Enggak, temenin gue ke kantin yuk," ucap Daimler.

"Lo sendiri aja, gue sibuk," ucapnya.

Daimler ternyata tak diam begitu saja atau seenggaknya mendengarkan perkataan Nindi untuk pergi ke kantin sendiri. Anak itu malah merecohkan Nindi. Tangannya jail, ikut menyentuh layar ponsel Nindi. Nindi bangkit dari kursi, kemudian menarik paksa Daimler agar ikut keluar kelas bersamanya.

Sebelumnya ia memasukkan ponsel ke dalam saku jeansnya terlebih dahulu. "Lo apa-apaan sih, Daim? Nggak lucu tahu, nggak?" ucap Nindi dengan kekesalan yang sudah ia tahan sedari Daimler datang menghampirinya.

"Lo yang kenapa, Nin. Gue tahu lo lagi ada masalah, cerita sama gue!" ujar Daimler sambil memegangi kedua bahu Nindi, berusaha menenangkan.

Nindi terduduk lemah di kursi tempat mereka beradu mulut. Pikirannya kembali kacau, entah apa yang ingin dia jawab dari pertanyaan Daimler. Dirinya juga bingung dan ragu untuk menjawab. Hal ini sudah ia sepakati dengan diri sendiri agar tidak ada satu pun orang yang mengetahui. Namun, rasanya Nindi tidak tahan lagi dengan tekanan ini. Nindi telah membuat kehidupannya sendiri kacau, karena semua itu. Apa Daimler orang yang tepat untuk menadah keluh kesah Nindi saat ini.

Sepertinya Nindi akan menyesal kalau dia menceritakan semua itu kepada Daimler. Apalagi mengetahui Daimler orang yang bar-bar, tentu sulit menjaga rahasia baginya. Bisa jadi nanti keceplosan. Dan berujung fatal pasti.

Setelah beberapa saat termenung. Nindi mulai mengeluarkan suara. Pastinya akan menjawab pertanyaan dari Daimler. "Gue nggak papa, percaya deh. Gue cuma kurang mood aja beberapa hari ini," ucap Nindi pura-pura tidak ada sesuatu yang terjadi. Agar menutupi yang sebenarnya terjadi kepada dirinya. Tidak akan ada satu orang yang akan tahu. Nindi tidak akan membiarkan hal itu diketahui orang lain. Tidak akan.

"Gue bingung sama cewek, kenapa selalu menutupi masalah. Apa bagusnya, bukannya bisa tambah tertekan?" ucap Daimler. Dipikir-pikir ada betulnya juga, setiap cewek selalu menutupi masalah dari orang lain, termasuk orang terdekatnya. Alasannya karena tidak mau orang itu tahu dan ikut sedih. Namun, dibalik semua itu, dia akan tertekan karena tidak membagi cerita ke orang lain. Jika menceritakan ke orang, mungkin beban itu akan sedikit memudar.

"Gue emang lagi ada masalah, tapi gue nggak mau orang-orang tahu. Alasannya karena gue takut mereka kena imbasnya," ucap Nindi akhirnya membuka yang sebenarnya. Belum tuntas, tetapi mampu memberikan jawaban yang diinginkan Daimler.

Daimler mengangguk paham. "Gue tahu maksud lo baik, tapi kalau semua itu buat suasana nggak enak yang bakal timbulnya kesalahpahaman, mending lo jujur aja ke mereka. Siapa tahu mereka bisa bantu," ucap Daimler.

Nindi terkekeh pelan. "Tumben omongan lo bijak." Dia berhenti sejenak. "Gue tetap nggak bisa karena ini masalah yang beneran susah diselesaikan. Gue cuma bisa pasrah," ucap Nindi .

"Emang apa masalah lo, sampai lo bisa bilang susah," ucap Daimler. Sepertinya dia akan menanyakan hal yang lebih jauh.

Sebelum itu terjadi, Nindi akan mengalihkan. Tanpa diduga, Pak Dosen yang akan mengajar di kelas Nindi pun tiba. Ia sangat bersyukur, bisa memberikan alasan kepada Daimler. Mereka berdua lalu masuk ke dalam kelas kembali.

🍭🍭🍭🍭🍭

Saat perjalan pulang, mobil Nindi dicegat oleh Yuri dengan antek-anteknya. Masalah yang satu belum kelar, sekarang di depan mata ada masalah lagi. Nindi sebenarnya malas menanggapi mereka, apalagi dia sekarang posisinya lagi sendiri. Tapi Yuri tetap memaksa agar Nindi keluar dari mobil.

Akhirnya Nindi keluar dari mobil. "Ada apa?" tanya Nindi langsung ke intinya.

"Wuih belagu juga. Gue cuma mau tanya, lo udah kapok berurusan sama gue? Gimana ancaman dari Mama Rinjan, lo masih mau deketin Rinjan lagi?" tanya Yuri penuh kemenangan.

"Pasti takut lah, Yur," ujar salah satu teman Yuri.

Nindi masih diam di tempat. Dia baru tahu, kalau Yuri lah yang memberi tahu dan menjadi kunci masalah ini. Padahal Nindi jelas tidak ada hubungan apa-apa dengan Rinjan, hanya ada beberapa urusan bisnis. Tapi sekarang sudah terhentikan. Jadi Nindi benar tidak ada urusan apa-apa lagi.

"Gue udah nggak ada urusan lagi sama Rinjan, puas?" ucap Nindi akhirnya. Lalu melesat masuk ke dalam mobil. Ia sempat mengehela napas perlahan. Kemudian mengklakson, karena Yuri tak kunjung minggir, mau mati? Bisa saja Nindi melakukannya, membantu Yuri menuju surga. Namun, Nindi masih ingin tidur di rumah, bukan di penjara.

Setelah Yuri minggir Nindi pun melajukan mobilnya. Rencananya dia akan ke Tugu Jogja untuk menenangkan diri sendiri. Itung-itung mencari suasana baru. Lama juga Nindi tidak pergi sendiri, biasanya kalau nggak sama keluarga, ya sama Riska, Nafis, dan Septi. Tapi sekarang dia benaran sendiri.

Beberapa menit perjalanan ke Tugu Jogja. Sesampainya di sana, Nindi langsung memarkirkan mobilnya di parkiran yang sudah tersedia di sana. Kebetulan dia akan memakan gudeg di dekat Tugu, sambil melihat suasana sekitar Tugu Jogja. Nindi tidak lupa memesan menu di sana, yang sangat legend di sana. Sambil menunggu pesanan, sesekali Nindi mengambil foto.

Tak sengaja saat melihat ke arah barat, ada Rinjan dan Nafis, mereka mengendarai motor. Sepertinya asik berbincang, terlihat Nafis yang tertawa, begitupun dengan Rinjan. Nindi rasanya cemburu, nggak dia nggak boleh cemburu. Tetapi sekarang yang dipikirkan Nindi, bagaimana kalau itu akan terjadi juga dengan Nafis? Semoga tidak, cukup Nindi yang merasakan, jangan Nafis.

"Ini pesanannya," ucap pelayan.

"Terimakasih," ucap Nindi.

"Sama-sama, selamat menikmati," ucap pelayan itu lagi.

Nindi mengangguk, lalu mulai menyantap hidangan yang ada di meja. Terlihat nikmat, sayangnya dia hanya sendiri. Nanti dia akan memesan lagi untuk dibawa pulang. Agar keluarganya juga merasakan kenikmatan gudeg ini. Lezat!

.
.

TBC❤️

Meet at Univ (On Going)Where stories live. Discover now