12 Adelia dan Si Banteng (Republished)

629 88 10
                                    

Bismillah,

Irma tercengang mendengar ucapan Mocca. Ditelisiknya gadis itu dengan hati-hati. Wajah yang biasanya cerah itu seperti tertutup mendung. Tidak seperti Mocca biasanya.

Dia memang menunggu Mocca mengatakan sesuatu tentang permintaannya menikah dengan Jo. Irma sudah menunggu seminggu, dan tadinya sudah putus asa juga. Ketika tadi melihat Mocca masuk, Irma tidak berharap dia akan mendapat jawaban positif hari ini.

"Oh." Irma belum menemukan kata yang tepat untuk bereaksi.

"Itu ... kabar baik, Mo. Alhamdulillah," ucap Irma akhirnya. Dia kesulitan merangkai kalimat karena ekspresi Mocca yang sangat menganggunya. Ada rasa bersalah yang lalu muncul di hatinya.

"Kalo ... begitu ... saya akan ajak kamu ketemu Adelia."

Mocca yang sejak tadi menunduk, mendongak cepat. Tadinya dia sudah cemas setengah mati Irma akan langsung menyeretnya untuk bertemu Joaquin. Sedangkan dia sedang berada dalam fase galau berat. Dia hanya tidak mau kelihatan bodoh dan membuat Irma kecewa.

"Adelia?" tanyanya dengan mata membulat.

"Iya, kamu harus kenal sama Adelia dulu. Kamu ... kan ... bakal jadi ... Ibunya," ucap Irma lirih.

Mocca mengangguk-angguk gugup. Kalimat 'menjadi Ibunya' itu membuat darahnya berdesir. Ketika masih bersama Rahadyan dia pernah membayangkan akan punya anak. Pikiran naif khas anak SMA yang dimabuk cinta. Lalu ketika dia putus dengan cowok itu, dia yakin Vanilla lah yang akan menjadi ibu duluan. Dan dia akan dipanggil 'tante'. Pasti situasi itu akan membuat hubungannya dengan Vanilla yang up and down, semakin canggung.

"Kapan saya harus ketemu Adelia, Prof?"

"Gimana kalo Jumat? Kita pergi setelah dhuhur, biasanya di jam-jam itu saya sudah nggak ada kegiatan, Mo."

Mocca mengangguk lagi. Rasanya dia tidak bisa memikirkan banyak kata sekarang ini. Hidupnya mungkin saja akan berubah dalam waktu dekat. Berubah dengan cara yang sama sekali jauh dari rencananya.

"Baik, Prof. kalo gitu saya pamit dulu," katanya gugup. Segera setelah Irma mengangguk, Mocca bergegas keluar dari ruangan itu.

Setiap kakinya menapak lantai, pikiran-pikiran yang menyesaki kepalanya mengalir lagi. Jadi ... beginilah hidupnya berjalan. Semakin melenceng jauh dari rencana-rencana yang pernah disusunnya.

Intinya masih sama. Mocca harus mengalah pada Vanilla. Melakukan apa pun supaya Vanilla bahagia.

@@@

Jumat itu datang terlalu cepat menurut Mocca. Di dalam mobil yang melaju perlahan, Mocca terus-terusan gelisah. Menggigit kuku-kukunya dan berpura-pura melihat ke luar jendela.

"Jangan tegang, Mo, Adelia nggak sulit buat dideketin kok." Irma yang sedang menyetir tersenyum lembut.

Mocca mengangguk, tersenyum hambar. Bukan hanya Adelia yang dikhawatirkannya. Ada banyak hal. Termasuk usaha Bunda yang terlihat sekali menjodoh-jodohkan Mocca.

"Mo, masih inget kan sama Niko? Anaknya Bu Suselo, yang di blok sebelah."

Reaksi Mocca datar, tersenyum ala kadarnya dan menjabat tangan Niko yang terlihat salah tingkah. Bunda terlalu bersemangat kelihatannya.

"Inget, Bund."

"Dulu waktu TK kamu sama Niko ikut karnaval, kan. Pake baju pengantin Jawa." Bunda mengikik sambil menepuk bahu Niko yang sekarang garuk-garuk kepalanya. "Apa itu tandanya kalian jodoh ya?" sambung Bunda lagi.

"Bunda." Mocca meringis menatap Bundanya yang terkekeh.

"Loh kan kita nggak tau, ya kan, Nik?"

Latte untuk Mocca (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang