9 Teh Bunga Telang (Republished)

649 86 4
                                    

Bismillah,

Yohan membuka pintu ruang kerjanya dan langsung melongo. Jo tidur di atas sofa yang biasanya dipakai untuk menerima tamu. Kemejanya masih sama dengan yang dipakainya kemarin. Dia berbalik, mengecek ruangan Vita dan pegawai lain. Masih kosong. Berarti Jo tidak pulang semalam? Pikir Yohan.

Lelaki itu menepuk-nepuk lengan Jo, berusaha membangunkan sahabatnya itu. Jo hanya menggeram, lalu berbalik dan tidur lagi.

"Jo, bangun. Udah hampir jam delapan," kata Yohan sambil menggoyangkan badan Jo.

Jo menggumam, mulai membuka matanya dengan susah payah. Dengan malas dia mulai bangun. Duduk dan mengacak rambutnya yang berantakan. Dia menghembuskan napas berat, bersiap menghadapi interogasi Yohan. Sahabatnya itu sedang menatapnya tanpa kedip.

"Jadi ... lu tidur di sini semalem?" Yohan membuka percakapan.

Jo mendongak, lalu menunduk dan mengangguk samar.

"Lu mau jelasin apa yang bikin lu nggak pulang?"

"Ya ampun, Yo, lu nggak punya perasaan ya?! Nggak bisa lu suruh gue mandi dulu kek, cuci muka, atau yang lebih manusiawi, bikinin kopi dulu," omel Jo. Dia mulai bangkit dan sadar betapa berantakan penampilannya.

"Ya kali lu anak gadis, gue mau ngerayu. Nah elu, umur udah 30 lebih, udah jadi bapak pula. Masih aja belagak pake ngambek-ngambek segala," cerocos Yohan dengan wajah sebal.

Lelaki berkulit gelap itu keluar ruangan, kembali dengan sebotol pengharum ruangan yang langsung disemprotkannya ke seluruh sudut. Ruangan itu berbau asap rokok dan alkohol.

"Brengsek lu, Yo," kata Jo tersinggung.

"Elu yang brengsek. Denger ya, kita dulu udah sepakat nggak bakal berbuat mesum dan minum-minum di kantor. Bisa bawa sial! Lu punya otak dipake dikit lah." Yohan berkacak pinggang.

"Gue nggak berzina di sini. Asal lu tau ya, gue nggak akan pernah berzina!" Jo mengacungkan satu jari ke arah Yohan.

"Lu nggak berzina, tapi hampir tiap malem minum. Apa bedanya ha?! Tinggal tunggu waktu aja sampe lu khilaf," balas Yohan kesal. "Inget ya, Jo, semua itu ada awalnya. Awalnya lu minum, terus-"

"Ah udah, udah, ceramah aja lu." Jo meninggalkan Yohan yang masih menganga. Otaknya kusut, dan menjadi lebih kusut karena Yohan sudah menceramahinya pagi-pagi. Padahal kejadian semalam saja masih membuat Jo uring-uringan.

10 menit kemudian, Jo kembali ke ruang kerjanya. Sudah rapi dan terlihat lebih segar. Kemejanya memang kusut karena dilipat asal-asalan dan dijejalkan ke dalam traveling bag.

Semalam setelah Mamanya mengusulkan dia untuk menikah, Jo menolak mentah-mentah. Baginya itu usul yang menggelikan. Hidupnya yang sekarang jungkir balik ini karena Vanessa dan Adelia. Plus, perselingkuhan Vanessa sebagai pembuka.

Dan Mamanya tiba-tiba melontarkan usul menikah lagi. Seakan menikah segampang mencari kontainer untuk gerai makanannya. Jo jelas-jelas tidak setuju.

Dia juga ingat bagaimana tangisan Adelia yang tiba-tiba terdengar semakin membuat suasana semalam mencekam. Jo tidak pernah mendebat Mamanya, tidak pernah kecuali tadi malam.

Ketika otaknya sudah sesak, tangisan bayi itu sama sekali bukan hiburan.

Sebaliknya, tangisan Adelia seperti bom yang meluluhlantakkan moodnya. Dia memutuskan meninggalkan rumah setelah dengan susah payah pamit pada Mamanya yang menangis. Jo benci itu. Benci melihat Mama yang sangat disayanginya menangis.

"Jadi sampe kapan lu mau tidur di sini?!" tanya Yohan memecahkan kesunyian.

Jo menyulut rokok, lalu menghisapnya. "Belum tau," jawabnya tak peduli.

Latte untuk Mocca (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang