5. Bayi Itu (Republished)

1K 121 8
                                    

Bismillah,

Jo tidak tahu sudah berapa lama dia bertingkah seperti orang gila. Berteriak pada jasad Vanessa yang sudah tidak bergerak. Dia begitu frustasi, karena membutuhkan jawaban dari pertanyaan yang membuat dirinya kacau.

Selama beberapa bulan ini dia terus-terusan dihantui pertanyaan itu. Bagaimana kalau bayi itu anaknya. Atau bagaimana kalau sebaliknya. Dia bisa saja meminta tes DNA, dan pertanyaannya terjawab. Lalu fakta lain memenuhi otak dan hatinya yang sakit. Jika bayi itu anaknya, dan dikandung ketika Vanessa ditiduri laki-laki lain. Ya Tuhan, itu memuakkan!

Jo bahkan merasa perutnya bergolak hanya dengan memikirkan itu. Dia tahu itu tidak logis. Tapi dia jijik. Dan juga terluka. Bagaimana bisa Vanessa membiarkan benihnya 'terkontaminasi'.

Dia nyaris gila memikirkan semua kemungkinan sialan itu. Dan sekarang satu-satunya orang yang bisa memastikan jawaban dari pertanyaannya sudah mati. Mati dan membawa semua misteri yang memuakkan.

That's it! Semuanya akan tetap menjadi misteri untuk Jo. Lelaki itu tersadar ketika merasakan tangan Mamanya yang memeluk lengannya lembut. Lalu Ayahnya juga merangkulnya. Mereka membawa Jo menjauh dari Vanessa yang sudah meninggal. Jo bahkan tidak sadar kalau pipinya sudah basah.

Dia menangis. Tapi bukan untuk meratapi kepergian Vanessa. Mungkin terdengar kejam, tapi Jo sama sekali tidak berduka karena istrinya meninggal. Perasaan sayangnya pada perempuan berambut ikal itu sudah mati.

"Bang, minum dulu ya," bujuk Irma.

Tangan Jo yang bergerak seperti robot menerima saja air mineral itu. Diteguknya beberapa kali. Rasanya tenggorokannya kering dan perih. Mungkin karena dia berteriak-teriak dan menangis cukup lama. Orang yang melihatnya akan berpikir Jo sedang berduka. Padahal bukan itu yang terjadi.

"Ehm, Jo. Tadi perawat bilang bayinya perlu diiqomahi," kata Hadyan ragu.

Mata Jo memicing menatap ayahnya. "Itu bukan bayiku, Yah."

Hadyan yang tadinya bersandar di tembok mendekat, duduk di samping Jo dan menepuk-nepuk bahunya. "Kamu ... nggak tau, Jo. Kamu nggak bisa memastikan itu."

"Saya tau, Yah. Saya bisa merasakan itu. Bayi sialan itu bukan anak saya!"

"Jo," tegur Irma. Perempuan itu menatapnya dengan sedih, sembari menggeleng. "Bayi itu nggak berdosa. Dia tidak minta dilahirkan, kamu nggak boleh bilang begitu."

"Yang kamu rasakan sekarang itu namanya emosi. Kamu marah sama keadaan. Sama Vanessa, sama semua yang berhubungan dengan Vanessa. Tapi ... jangan jadikan bayi nggak berdosa itu sasaran kemarahan kamu. Selama tidak ada orang lain yang mengakui, bayi itu anak kamu. Kamu harus melakukan semua kewajiban sebagai orangtua," saran Hadyan dengan bijak.

Jo termenung mendengar itu. Ayahnya benar, tapi setiap kali teringat bayi itu bayangan perselingkuhan Vanessa mengejarnya lagi. Lengkap dengan pemikirannya tentang 'benih yang terkontaminasi'. Membuatnya tidak bisa tidur. Karena itu dia harus menenggak alkohol. Menurut Jo bayi itu ikut bertanggung jawab atas hidupnya yang mendadak berantakan ini.

Irma akhirnya berdiri. Meremas bahu putra sulungnya lembut. "Mama mau liat bayinya dulu kalo gitu. Kamu tenangin diri dulu, nanti kalo kamu sudah siap Mama harap kamu mau datang nengok bayi kamu."

Bayi kamu?! Dua kata itu mengganggu Jo.

Tanpa menunggu jawaban, Irma berjalan pergi. Dia tahu, Jo bukan laki-laki kejam yang akan tega meninggalkan seorang bayi tidak berdosa. Putranya pasti akan datang. Irma akan memastikan itu.

Ketika sampai di ruang bayi, Irma dipersilakan masuk. Seorang perawat mengantarnya ke box bayi yang ditandai dengan angka 7. Dari papan identitas, Irma bisa membaca nama Jo dan Vanessa di situ.

Latte untuk Mocca (END)Where stories live. Discover now