7. Ide Konyol vs Ide Bagus (Republish)

762 97 7
                                    

Bismillah,

"Ada satu tempat kosong, yang menurut saya strategis, Pak. Tepat di samping resto pizza itu. Dulunya itu counter punya Creamy Gelato. Saran saya, Pak Jo ambil tempat itu. Masalah sewanya masih bisa dinego."

Bu Vero berhenti bicara, menunggu tanggapan Jo. Anehnya lelaki itu sedang menunduk, menatap lantai sambil menggenggam ponselnya kuat-kuat.

Yohan meliriknya. Menyenggol bahu temannya sambil berbisik memanggil Jo. Barulah lelaki itu tersadar.

"Ya Bu? Gimana? Maaf, saya tadi ... sedang ...."

"Kami tertarik dengan counter itu, Bu. Kalo masih ada gerobak bekas jualannya mungkin bisa kami modifikasi supaya sesuai dengan tema I Coffee You akan lebih baik, Bu." Yohan yang menjawab. Dia tidak mau terlihat tidak professional di depan Bu Vero, sang manager operasional mall.

"Ada, Pak. Nanti saya hubungi bagian operasional untuk menunjukkan gerobaknya. Kapan Pak Yohan mau cek?"

"Gimana kalo saya tunggu kabar dari Ibu, kalo gerobak itu sudah siap dicek saya akan datang lagi," kata Yohan.

Sementara Jo hanya manggut-manggut. Mendengarkan percakapan yang bagaikan dengungan lebah di telinganya. Dia tahu, dia sudah bersikap tidak professional. Tapi tinggal di rumah Mamanya, dengan Adelia berkeliaran di mana-mana sangat tidak baik untuk kesehatan mentalnya.

Jo jadi merasa dikejar-kejar hantu Vanessa dan perselingkuhannya. Belum lagi urusan apartemen yang belum laku. Padahal Jo merasa sudah muak dan harus menyingkirkan semua benda yang ada hubungannya dengan Vanessa. Tapi apartemen itu malah kelihatan seperti horcrux Voldemort dalam novel Harry Potter, sulit dihancurkan.

"Baik Pak Yohan, segera saya kontak lagi ya. Terima kasih," ucap Bu Vero. Ternyata perempuan berbusana abu-abu itu sudah berdiri dan menjabat tangan Yohan.

Jo gelagapan, lalu ikut berdiri dan menjabat tangan Bu Vero. Segera setelah perempuan itu menjauh, Yohan menyeretnya. Jo tahu, Yohan pasti murka padanya.

Mereka berjalan cepat menuju area parkir P3. Begitu sampai, Yohan mendorong Jo untuk masuk ke mobilnya. Lalu dia pun membanting tubuhnya di kursi pengemudi. Lelaki itu menghela napas, lalu berbalik menyamping. Menatap Jo yang sedang menutup mata sambil menyandarkan kepalanya.

"Lu maunya apa sih, Jo?"

"Maksud, lu?" tanya Jo.

"Kita kerja bareng ya, Jo. Kalo lu kacau, imbasnya ke kerjaan kita. Lu tau kan Bu Vero itu sudah baik banget sama kita. Dia bahkan mau nego harga untuk sewa tempat di mall sebesar itu, dan lu malah kaya orang bego!"

"Wow, wow, santai, man. Lu nggak usah marah-marah gitu juga," elak Jo.

"Trus lu maunya gue gimana?! Ikut bego kaya elu, gitu?!" Yohan memelotot lalu memukul setir dengan gemas.

Setelahnya mereka berdua diam. Hanya suara helaan napas berat yang terdengar. Jo tahu dia mengacaukan semuanya hari ini. Dia bahkan sama sekali tidak menangkap pembicaraan Bu Vero dengan Yohan. Untunglah, Yohan sigap menangani situasi.

"Gue nggak bisa fokus kerja, Yo, sorry."

"Apa lagi sih masalahnya?!" bentak Yohan.

"Gue mau jual apartemen gue, tapi belum laku juga. Gue mau beli rumah, yang agak jauh dari nyokap," kata Jo letih.

"Emang kenapa kalo lu tinggal sama nyokap?"

"Lu nggak tau, Yo. Gue bisa gila kalo tinggal di sana terus. Tiap malem, tiap pagi gue disuguhi pemandangan bayi sialan itu! Setiap kali gue liat bayi itu, gue langsung inget Ghi dan Vanessa hari itu. Gue nggak bisa hidup kaya gini terus, nggak bisa!"

Latte untuk Mocca (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang