6. Everythin' Changes

879 100 4
                                    

Bismillah,

Jo keluar dari mobil, membanting pintu sekuat tenaga. Dia pernah mendengar tentang ucapan adalah doa. Sekarang, Jo tahu apa artinya itu. Baru saja dia mengatakan pada Ghi brengsek itu, kalau dia tidak akan membiarkan Ghi mengambil bayi Vanessa.

Dan ucapannya menjadi nyata!

Dalam hati rentetan kata makian diucapkan Jo. Dia tidak marah pada orangtuanya, tapi pada Vanessa, Ghi dan bayi yang membuatnya terperangkap masalah.

"Kenapa Mama nggak minta pendapat saya? Kenapa bayi itu harus kita bawa? Saya nggak punya tanggung jawab apa pun sama dia. Biarkan orangtua Vanessa yang ngerawat, Mama jangan khawatir, saya akan bayarin berapa pun biaya untuk bayi itu!"

Irma melihat urat-urat di leher Jo menegang. Dia tahu, Jo tidak bermaksud marah padanya. Lelaki itu sedang frustasi. Hidupnya berubah 180 derajat hanya dalam beberapa bulan. Pengkhianatan, perceraian dan pertanyaan yang tidak terjawab, membuat Jo seperti lalat yang terperangkap dalam jaring laba-laba.

Semakin bergerak semakin dia terjebak dalam jaring-jaring itu.

Tangan Irma meremas pundak Jo lembut. Lelaki itu membelakanginya, menyembunyikan wajah letih dan terluka.

"Orangtua Vanessa nggak sanggup ngerawat Adelia. Kamu tau kan Venny, juga baru saja bercerai," kata Irma menyebut nama kakak Vanessa. "Sekarang dia tinggal di rumah orangtuanya bersama dua anak yang harus diurus dan dibiayai." Irma menjelaskan, sengaja melambatkan setiap kata yang diucapnya. Dia mengenal Jo. Lelaki ini seperti air. Mudah panas, tapi juga mudah dingin.

"Itu bukan urusan kita. Vanessa yang bikin orangtuanya menderita. Bukan saya," ucap Jo masih menyimpan amarah.

"Tapi ... apa kamu tega kalo Adelia harus tinggal sama mereka?! Berdesakan di rumah itu, kamu tau kaya apa rumah Vanessa, kan?!" tanya Irma.

Jo terdiam. Membayangkan bayi kecil yang masih merah itu tidur satu ranjang dengan dua anak Venny. Membayangkan Adelia tinggal berdesakan di dalam rumah orangtua Vanessa yang tidak besar.

"Bayi itu nggak ada hubungan darah dengan kita, dengan saya," ucap Jo.

"Mungkin iya, tapi kita nggak sedang ngomongin tentang hubungan darah, Jo. Gimana kalo kamu lupakan dulu tentang itu?! Ini tentang peduli atau nggak. Mama yakin kamu bukan laki-laki yang nggak punya hati. Kamu pasti peduli."

Irma memaksa Jo berbalik, menghadapnya. Perempuan itu meletakkan satu tangannya di dada Jo. "Kamu peduli, pasti. Jauh ... di sini ... kamu peduli."

Lelaki itu membuang muka, tidak sanggup menatap air mata Mamanya. Ya, dia memang peduli. Pada Mamanya, bukan pada Adelia.

Setelahnya, kakinya yang terasa remuk diseret mengikuti langkah Irma. Mereka berempat berjalan ke ruang bayi. Ketika Mamanya masuk lalu menggendong Adelia, Jo melihat perempuan yang disayanginya itu begitu senang. Dia tidak mungkin menolak permintaan Mamanya. Satu-satunya perempuan yang sangat berharga untuknya.

Dulu Vanessa dan Mamanya memiliki arti yang nyaris sama untuk Jo. Setelah Vanessa berkhianat, perempuan itu tidak lagi berarti apa-apa untuknya. Sekarang tinggal Mamanya, hanya Mamanya seorang, perempuan yang harus dibahagiakannya.

Jo tersadar ketika Irma mengetuk kaca pemisah ruang bayi dengan lorong di luar. Wajah Adelia yang sedang tidur memenuhi ruang pandangnya. Dan saat itu pula dosa Vanessa terpampang begitu jelas.

Jo merasa perutnya bergolak, dan dadanya perih. Dengan kasar dia berbalik, berjalan menjauhi ruang bayi. Sampai kapan pun, bayi itu akan selalu menyebabkan hatinya serasa diiris-iris.

@@@

Sinar matahari yang menembus tirai kamar, membuat Jo membuka matanya yang berat. Dia mengerang. Jam di kabinet menunjuk angka delapan, lewat 10 menit. Seperti biasa, dia tidur lagi setelah salat subuh yang asal-asalan.

Latte untuk Mocca (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang