"Jadi, siapa yang paling kamu sayangi di sini?" Dokter Gavin mengubah posisi Lentera menjadi duduk dengan kedua kaki sejajar.

"Semuanya aku sayangi," jawabnya mengikuti kata hati. Netranya tak berkedip.

"Siapa yang menjadi pahlawan di hidupmu?" tanyanya seraya menggoreskan pisau pada lengan Lentera. Gadis itu menatap seni lukis itu dengan datar. Sebuah cairan merah yang keluar bukan hal mengerikan lagi baginya, setiap hari ia menyaksikan darah pada tubuhnya. Keluar dari luka yang entah itu ia ciptakan sendiri atau oleh orang yang ada di depannya itu.

"Semua yang ada di sini, mereka adalah pahlawanku." sahut Lentera.

"Hm, sepertinya banyak yang menyayangimu. Berbeda dengan Deeva ya, saat itu bahkan dia tidak tahu apa-apa," sela Dokter Gavin. Ia manggut-manggut menatap arah lain.

"Aku juga nggak tahu apa-apa. Tiba-tiba ada di gedung ini selama bertahun-tahun. Tapi tahun terberatku, tahun ini." bahkan Lentera tetap bisa menjawab setiap pertanyaan Dokter Gavin. Ia tidak takut akan risikonya kalau-kalau ia salah ucap dan berakibat fatal.

"Karena akhirnya saya menemukanmu dan menjadi hantu dalam pikiranmu?" sahutnya.

Lentera mengangguk, "iya. Monster." jawabnya.

"Hidup kamu akan tetap seperti ini sampai kamu mati," ucap Dokter Gavin.

"Aku bisa sembuh dari sakit hati yang aku derita. Sakit ini pasti akan hilang suatu hari nanti." ujar Lentera berucap tanpa ekspresi. Ia menatap kedua lengannya yang kini berlumur darah.

"Kamu itu sudah gila, tidak akan sembuh seperti orang normal pada umumnya. Ingat baik-baik, lukamu akan abadi sampai kamu mati, sama seperti yang di rasakan Deeva." tekan Dokter Gavin.

"Apa Deeva bercerita padamu? Apa di dalam kuburnya, dia menceritakan bagaimana rasa sakit yang dia derita? Dia bicara tentang semua pahit yang dia rasakan selama ini? Apa Deeva juga mengalami sakit yang nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata seperti apa yang aku rasakan selama ini?" Lentera menyahut tenang. Ia mencengkram lengan Dokter Gavin. Bola matanya menampilkan api yang bisa kapan saja membakar orang-orang di hadapannya.

"Dia tidak bercerita karena dia tidak diberi waktu untuk itu." sahut Dokter Gavin tak kalah tenang namun juga menampilkan tatapan tajam.

"Lalu, mengapa kamu bicara semua tentang penderitaan Deeva? Seseorang yang mati, dia akan berdamai dengan lukanya. Jadi, belum tentu dia memiliki dendam yang sama sepertimu. Hanya karena dia mati terbunuh, bukan berarti dia juga memiliki niat membunuh pelakunya."

Dokter Gavin cukup takjub dengan kalimat gadis itu. Untuk ukuran tidak normal seorang Lentera, itu sudah dikatakan sangat baik. Karena setiap jawaban yang ia ucapkan benar. Pemikirannya saat ini seperti orang tidak dalam pengaruh gangguan jiwa.

Tapi, itulah Lentera. Dia adalah gadis yang cerdas. Saat gangguan jiwa yang ia derita selama bertahun-tahun ini terusik oleh pelaku itu sendiri, pikiran Lentera justru akan membaik. Ia bisa disebut orang sehat tanpa ada riwayat Skizofrenia.

Dan, tentunya, itu hanya bersifat sementara.


"Kamu tahu? Pisau ini bisa melukaimu tanpa rasa sakit. Mau saya ajari?" tawar Dokter Gavin.

"Beri tahu aku, supaya kamu menyudahi semua ini, aku lelah melihatmu dengan benda-benda seperti ini." ungkap Lentera.

"Kamu bisa menggunakannya sendiri," Dokter Gavin mengulurkan pisaunya. Bercak darah itu mengering pada ujungnya yang runcing. Seringainya mengisyaratkan segala tentang nasib malang Lentera.

My Perfect PsikiaterWhere stories live. Discover now