Chapter 66

57 16 82
                                    

Embusan demi embusan napas berat Kwan Mei lakukan, sepasang netra sembap diarahkan lurus pada Ji Yu yang menikam jantungnya. Meskipun begitu, tersenyum sudah wanita ini sembari mulut berucap dengan tersendat-sendatnya akan bagaimana ia sangat berterima kasih.

Lantas, harus bagaimana Ji Yu menanggapi? Kala air mata terus saja meluruh, tak sanggup memandang. Apalagi saat tikaman terus ditekan kian dalam, cairan hangat berbau amis itu pun memenuhi sudah penghidunya. Namun, ingatlah kembali jikalau perjalanan akan misi mereka dalam memusnahkan roh jahat bernama Mo Shan ini taklah mudah. Kesulitan demi kesulitan, nyawa demi nyawa, dan air mata demi air mata-lah yang menjadi tangga untuk menggapai misi terakhir.

Sempat Ji Yu melupakan hal itu karena emosi yang menguasai taklah berada dalam kondisi terbaik. Lihatlah bagaimana Hui Yan terluka, bernapas saja sudah teramat sulit. Sebagai suami tentu bukan ini yang ingin dilihat, menyaksikan bagaimana wanita berdarah bangsawan ini mengerang dalam kesakitan, yang mana jika saja waktu itu tak membawanya pergi meninggalkan rumah. Kemungkinan besar ... Hui Yan pun tidak akan semenderita saat ini.

Bukankah begitu, Hui Yan? Memejamkan sepasang netra, mengatur napas untuk kemudian kembali pada kenyataan yang belumlah usai diurus. Mendapati pula akan Kwan Mei yang tak lagi bernetra hitam, melainkan nyala kemerahan. Selain itu, hilang sudah semua pandangan penuh kerelaannya. Yang ada hanyalah sorot kemurkaan, kebencian, kekelaman, dan keinginan berlebih untuk menghancurkan alias membunuh.

Menyadari perubahan besar Kwan Mei ini, serta merta Ji Yu menyingkirkan segala perasaan tak mengenakkan yang ada. Menikam lebih dalam dan lebih kuat lagi hingga mendorong tubuh Kwan Mei ke dinding. "Mati kau, mati dan musnahlah dari dunia ini tanpa ada kelahiran baru!" Diputarnya belati yang menancap, menghancurkan tiap degupan yang ada. Tanpa Ji Yu sadari jikalau kuku-kuku jari milik Kwan Mei telah kembali memanjang, hitam nan meruncing.

JLEB!

Seakan waktu berhenti, sepasang pendengaran tak mampu menangkap suara apa pun. Namun, dengan perlahan Ji Yu menurunkan pandangan hingga wajah sedikit tertunduk. Mendapati akan bagaimana sebelah tangan Kwan Mei telah menembus dalam area perutnya. Muntahan darah yang entah ke berapa kalinya Ji Yu pun alami, dan dengan sisa-sisa energi yang mampu ia keluarkan pula ... ia kembali mengarahkan pandangan pada Kwan Mei yang haruslah Mo Shan, bukan? Kala di mana tangan yang menikam jantung wanita ini pun kian ditikamnya dalam sampai pada tahap menembus sudah ke bagian belakang hingga terpaku pada dinding bebatuan berpermukaan tak rata ini.

Mo Shan yang mendiami tubuh Kwan Mei pun mengerang akhirnya, mulut mengeluarkan cairan kental menghitam bersamaan akan purnama berdarah tertutupi sudah oleh gumpalan awan, menghentikan seketika masuknya sinar kemerahan melalui lubang seukuran sumur pada langit-langit gua ini seraya amukan angin yang masuk terasa cukuplah kuat.

"Ji Yu lihatlah ... netra memerahnya menggelap sudah."

Benar, tak lagi memerah seperti yang dikatakan He Ting. Tentu Ji Yu tahu, karena ia menyaksikan pula. Bahkan wanita ini menarik keluar tangan yang masuk ke dalam perutnya, mengambrukkan seketika Ji Yu tersungkur bersebelahan dengan Hui Yan yang beberapa jarak jauhnya.

Berakhirlah pasangan suami-istri baru ini menyaksikan akan bagaimana kelanjutan Kwan Mei. Mendapati akan menghilangnya belati es mata iblis yang menikam dan merusak jantung itu semacam benda terkutuk tersebut tak lain adalah ilusi belaka. Tatkala kemudian melihat akan suatu pendaran cahaya hitam meninggalkan tubuh Kwan Mei, masuk ke dalam tubuh Mo Shan yang seketika itu pula melebur menjadi kepingan abu. Yang mana tubuh Kwan Mei ambruk sudah, terduduk kaku bersenderkan punggung seraya sepasang netra terpejam damai.

Gua yang menjadi kerajaan Mo Shan selama beratus-ratus tahun ini pun bergetar hebat. Seolah gempa berkekuatan kuat sedang menerjang di luar sana, siap meruntuhkan. Bahkan pilar-pilar penyangga tak lagi mampu menopang, menambah suara gemuruh semakin menjadi-jadi hingga reruntuhan bebatuan mulai menubruk apa pun di sekitaran, memperlihatkan pula akan bagaimana berjuangnya Ji Yu menyeret tubuh tersungkurnya ini kepada Hui Yan yang masihlah tersengal-sengal. Tiada hentinya pula Hui Yan mengaliri air mata, mulut semacam ingin berucap. Namun, tak mampu, tercekat oleh sejumlah darah yang tiada habisnya dikeluarkan.

Oleh karenanya, diulurkan sudah sebelah tangan berhiaskan cincin giok abu-abu pada jari manisnya itu, gemetaran tak bertenaga menanti Ji Yu akan menggenggam, atau setidaknya sedikit saja meraih ia pun akan puas.

Hanya saja, kondisi Ji Yu sama sulitnya untuk meraih uluran tersebut. Sedikit demi sedikit dengan urat wajah menyembul seutuhnya, netra diliputi cairan merah bukan lagi bening, mengalir keluar dari sudut terdalam matanya. "Ma-maaf ... aku, ak-aku ti-dak bi-sa ... mem-beri-kan ke-hidupan mem-bahagia-kan." Tersenyum, tersengal-sengal pula ia. Kala di mana Hui Yan memaksakan senyuman, sedikit memberikan gelengan. Setidaknya ingin memberitahukan lewat gelengan kecil tersebut, akan bagaimana ia sangat tidak setuju apalagi menerima perkataan Ji Yu barusan.

Tak tahu pula apakah sekiranya Ji Yu mampu memahami maksud gelengan tersebut, yang pasti kini berhasil sudah ia menyentuh ujung jari manis sang istri dengan sebelah tangan berhiaskan pula cincin giok abu-abunya. Meskipun pada akhirnya gua dari kerajaan Mo Shan ini berakhir runtuh seutuhnya, semacam iri dan sangat tak ingin membiarkan sepasang suami-istri baru ini berakhir saling meraih lebih ataupun bergenggaman.

Pun purnama yang bertengger setia di atas sana terbebas sudah dari gumpalan awan, atau mungkin saja gemuruh reruntuhan di bawah sana yang menakutinya. Entahlah apa itu, yang jelas gemuruh berupa ledakan ini menguarkan debu-debuan nan dahsyat ke sekitaran area. Memperlihatkan tak lagi ada keberadaan gua batu megah, melainkan hanya berupa timbunan bebatuan belaka.

Namun, perlu diketahui bahwa purnama tak lagi berupa purnama berdarah. Melainkan hanya berupa purnama biasa yang menghujani cahaya terangnya ke seluruh bagian hutan. Hutan yang tak akan diketahui siapa pun cerita dibaliknya, bahwa pernah ada desa bernama Desa Weiji lengkap dengan para warga juga mereka yang berjuang habis-habisan melawan Mo Shan dan para penjaga desa lainnya.

Desa Weiji, benar. Desa penuh akan pengorbanan, misteri dan cerita menyedihkan. Desa yang menjadi saksi dari suatu kegiatan gelap, juga menjadi saksi dari berakhirnya kegelapan itu berkat mereka yang dikenal sebagai tim pemberontak desa.

"Sekarang bangunlah kalian, bantu kami menemukan tempat terkubur itu. Bangunlah."

The Village : Secrets Of Past Life (END)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें