The Truth About Feelings

53 14 8
                                    

~~***~~


"Aku menyukaimu! Aku menyukaimu, Min Vega."

"Ha? Aku tak salah mendengar, kan?" Vega mencoba mengorek-ngorek telinganya dengan jari, takut ia salah dengar karena mungkin saja ada sesuatu yang mengganjal pendengarannya. "Maksudmu kau memintaku menjawab pertanyaan darimu supaya kau bisa mendapatkan feel sungguhan dari situasi ini? Kemudian kau menjadikannya sebuah kisah dalam bukumu? Begitukah?" cecar Vega.

"Bukan begitu, aku sungguh-sungguh untuk hal yang satu ini, Vega. Ak--aku sungguh menyukaimu. Aku serius," Nebula mencoba berani untuk mengatakannya, sudah tak bisa untuk ia pendam lagi memang, Nebula menyadari kalau ia memang menyukai Vega sejak gadis itu menolongnya di laut. Vega tersanjung pada ungkapan perasaan Nebula padanya. Tak menyaka. Nyatanya,  ketersanjungan Vega hancur sudah dalam hitungan detik saja, karena Nebula melanjutkan kalimatnya. "Tapi, aku butuh kau untuk menjadi Rigelku, Kau mau menjadi sepertinya, kan? Agar aku bisa benar-benar mencintaimu," terang Nebula yang memang sangat berharap Min Vega untuk bisa menjadi seperti Rigel. Vega sudah banyak kesamaan dengan Rigel. Jadi, Nebula pikir itu tak akan sulit dilakukan oleh Vega. Ia hanya yakin kalau Vega pasti mau dan setuju.

Min Vega dibuat tak habis pikir dengan apa yang Nebula katakan. Menjadi seperti Rigelnya? Yang benar saja. Tidak ada yang mau menjadi orang lain, karena itu membohongi diri sendiri, sedih disaat sebenarnya tak merasa sedih, bahagia di saat sebenarnya kita merasakan kesedihan. Itu akan menyakitkan pada akhirnya, karena yang kita lakukan adalah mewujudkan keinginan orang lain.

"Ha? Kau bercanda? Aku tidak mau. Sekalipun jika aku memiliki rasa di sini untukmu," Vega menunjuk hatinya. "Aku tidak akan pernah mau menjadi orang lain. Aku adalah aku, Nebula. Aku tak akan menjadi orang lain, aku tak ingin hidup sebagai orang lain," tolak Vega mentah-mentah. Memangnya ia sebuah boneka robot yang bisa dikendalikan untuk menjadi orang lain?

"Tapi, aku menyukaimu, Min Vega. Sungguh. Aku suka segala yang ada di dirimu, kau mengingatkanku pada Rigel," jelas Nebula lagi. Vega ingin sekali untuk bisa keluar dari kamar itu segera. Rasanya ia seperti dipermainkan, dicintai. Namun, tak sepenuhnya dicintai. Cinta yang masih ada syarat.

"Rigel? Iya. Aku tahu kau menyayanginya, ia cintamu. Coba kau pikir apa menurutmu benar jika kau menginginkan orang untuk menjadi orang lain?" Vega sedikit membentak, mungkin Nebula akan menilainya sebagai gadis yang kasar setelah itu.  Vega merasa panas. Ia menghargai bagaimana Nebula jujur padanya.

Memang bohong kalau Min Vega tak menyukai Nebula. Siapa yang tidak menyukai pria baik itu? Meski ia kerap terlihat seperti es dari kutub, ia memiliki sisi manis lain untuk bersikap pada wanita, seperti es yang akan mencair. Sikap manisnya itulah yang kerap kali membuat Vega terjatuh dalam pesonanya.

Melihat Vega yang marah, Nebula tiba-tiba merasa kepalanya sakit. Teramat sakit seperti di hantam sesuatu yang begitu berat. Pria itu memegangi kepalanya dengan kedua tangan, perlahan pengelihatannya juga mulai mengabur, Nebula merasakan kesadarannya mulai menghilang, hingga berakhir dengan ia yang tersungkur pada lantai.

Vega panik. "Nebula, kau baik-baik saja?" tanya Vega yang mencoba mengguncang tubuh Nebula. Nebula sempat menyaksikan bagimana Min Vega khawatir terhadapnya, sebelum ia benar-benar hilang kesadaran, dan semua menjadi gelap.

"Ini pasti karena penyakitnya." Vega buru-buru mengambil ponsel, menghubungi 911. "Hallo, tolong segera kirimkan ambulance! Ada seorang laki-laki yang pingsan. Aku akan mengirimkan alamat lengkapnya," ucap Vega dengan suara khawatir ketika panggilannya diangkat. Setelahnya, jemari Vega terlihat menari dengan cepat diatas keypad ponselnya, mengetikkan alamat lengkap kediaman Nebula dan mengirimkannya ke 911.

MOON [SUDAH CETAK]Where stories live. Discover now