Potrait

85 15 32
                                    

~~***~~

Untuk mendalami seberapa sakitnya Nebula. Kalian bisa lihat MV ini. Kisah beberapa pria Korea yang melakukan percobaan bunuh diri di pantai dengan setelan formal itu memang ada, dan dikisahkan dalam MV ini.

Pasir pantai yang putih halus menjadi seperti permadani yang menjadi alas duduk bagi dua orang yang tengah rapuh, serapuh serbuk sari bunga yang rentan jatuh ditiup angin. Semilir angin laut menerpa tubuh basah bagi pria bernama galaksi dan gadis bernama bintang itu.

"Jadi kau menyembunyikan semuanya dari keluargamu?" tanya Vega sekedar memastikan lagi.

Nebula beralih pandang pada gadis di sebelahnya, seketika mata keduanya saling bertemu tatap. Dalam, sedalam informasi yang ingin dikulik oleh Vega. "Aku berharap kau tidak memberitahukan siapapun yang terjadi hari ini. Rahsiakan semuanya!" perintah Nebula pada gadis yang berpipi sedikit tembam itu. Mata Nebula mengisyaratkan sebuah permintaan, ia lebih seperti seorang pendosa yang berharap ampunan.

Vega masih menatapi wajah Nebula dengan begitu intens. Gadis itu seperti memiliki beribu kali lipat keberanian untuk merengkuh tubuh yang jauh lebih besar darinya. Pelukan itu terasa hangat juga tulus, Vega seperti sedang membagi kekuatannya untuk Nebula melalui pelukan itu. Tangannya yang kecil dengan sopan mengelus punggung basah Nebula. "Kau tidak sendiri. Sejujurnya aku sama sepertimu. Rapuh. Rapuh sekali. Tapi, aku selalu mencoba untuk tetap tegar dan kuat melawan semua takdir burukku," ucap Vega, "apapun masalahmu, apapun yang kau alami, bukan seperti tadi solusinya. Tidakkah kau berpikir apa yang akan terjadi pada keluargamu jika kau pergi?"

"Masalahmu dan masalahku itu berbeda. Harusnya kau biarkan saja aku... "

"Aku tahu. Aku tahu semua orang memiliki masalah masing-masing. Tetapi, kau tidak boleh egois. Kau pikir tuhan memberimu nyawa untuk kau sia-siakan!" sela Vega yang setengah membentak.

"Rigel?" lirih Nebula tiba-tiba. Merasakan amarah Vega seperti melihat Rigel yang seperti memarahinya.

Vega mencoba mengurai pelukannya ketika mendengar nama Rigel yang disebutkan, menciptakan jarak yang cukup lebar di antara mereka berdua.

Vega menganggukkan kepalanya pelan. "Aku paham, aku tahu kau pasti masih belum bisa menerima kepergiannya, bukan begitu?"

Entah setan dari mana yang berani merasuki Nebula, pria tampan rupawan itu sengaja menggerakkan tangan kanannya untuk menyentuh wajah Vega yang masih menyisahkan air mata.

"Maaf. Apakah tadi menakutkan bagimu?" Nebula setengah menyesal.

"Sangat.  Jantungku bahkan berdetak lebih cepat, serasa akan terlepas dari tempatnya," keluh Vega. Gadis itu terlihat sangat manis dari cara bicaranya. Apapun, apapun yang dilakukan Vega seperti menampilkan sosok Rigel di mata seorang Nebula.

"Aku merindukanmu," ucap Nebula pelan, meski pelan agaknya Vega masih tetap mampu mendengar.

Vega bingung, ia tak mengerti maksud rindu dari yang Nebula katakan. "Maksudmu?" tanya Vega bingung. Terkadang Nebula memang sulit dipahami. Ada saatnya ia dingin bak bongkahan es, ada kalanya juga hangat dan lembut penuh misteri.

"Bukan, bukan itu maksudku." Pria itu cepat meralat ucapannya. "Maksudku, aku sangat merindukannya. Harusnya tuhan membiarkanku pergi sejak dulu."

"Tidak. Kau tidak bisa bicara seperti itu. Meski beribu kali kau mengatakannya, jika tuhan belum menginginkanmu untuk pergi, maka kau tidak akan pergi. Banyak cara untuk  bisa menghilangkan semua kerinduanmu." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari gadis itu, yang hampir sudah merasakan semua seperti yang Nebula rasakan. Ia pernah terpuruk dan memikirkan hal bodoh seperti yang Nebula lakukan. Tapi, ia masih mampu mempertimbangkan banyak hal untuk tetap mampu bertahan dan melewati segalanya.

"Tunjukkan aku. Tunjukkan apa yang harus aku lakukan!"

"Aku. Meski aku tak tahu apa yang bisa membantumu. Tapi, aku siap jika kau menjadikanku tempat untuk kau berbagi keluh kesah. Karena aku tahu seberapa sakit dan sulitnya kau melewati takdir ini." Vega masih terisak, ia menggenggam tangan kanan Nebula yang mencoba menghapus air mata Vega yang tercampur air laut yang menetes dari helai rambut yang masih basah.

Nebula diam, pria itu sempat terhenyak beberapa saat. Vega sungguh tak ubah Rigel yang akan selalu menyemangatinya disaat sedih. Tatapannya dalam, seperti penuh harap. Nebula ingin Rigel hidup dalam pribadi Vega.

Salahkan setan yang melintas, Nebual mungkin sudah bersusah payah melawan pikirannya yang membuat kacau hati. Pria itu tertuju pada birai mungil nan tipis milik Vega. Nebula menyentuh sesuatu yang lembab itu dengan ibu jarinya, kembali mengikis jarak yang sempat tercipta dari keduanya.

Dua jengkal.

Satu jengkal.

Hingga tinggal beberapa senti saja.  Setan memang akan selalu menang pada situasi itu. Nebula memberanikan diri untuk mempertemukan birai mereka, tak lama, hanya beberapa detik saja.

Sial memang, otak Nebula seperti telah teretas segala programnya, hingga pria itu tidak bisa mengendalikan diri. "Maaf," ucap Nebula yang tiba-tiba menyentak jiwanya untuk sadar dari apa yang ia lakukan. Salah, jelas sekali itu salah.

Vega hampir tak percaya pada yang terjadi. Gadis itu menunduk, meyalahkan diri sendiri yang sama sekali tak menolak.

"Kau harus segera pulang, kau harus mengganti pakaianmu," tutur Vega dengan matanya yang mencoba fokus pada pakaian basah Nebula.

Tak ada penolakan, Nebula ikut berdiri ketika Vega berdiri, ikut berjalan di belakang gadis itu. Nebula tak berani untuk ikut berjalan disampingnya. Apa yang ia lakukan pada gadis itu sangat membuat canggung.

"Sial. Apa yang kau pikirkan Nebula? Apa? Apa yang akan kau lakukan setelah ini? Bagaimana jika ia membencimu?" sepanjang jalan Nebula tak henti meruntuki dirinya sendiri.

***


Mencari satu tempat untuk mendapatkan inspirasi. Ya, itulah yang Seirios lakukan. Pagi ini ia sengaja mengajak Lyra mendaki ke lokasi arboretum kota, guna mencari inspirasi untuk lukisannya.

Seirios  sedang asik membuat sebuah lukisan ketika tiba-tiba Lyra berteriak mengejutkannya, beruntung kanvas lukisnya tidak terkena tumpahan cat akrilik yang tertumpah karena keterkejutan.

"Astaga, apa yang kau lakukan, Lyra?" tanya Seirios pada sosok Lyra yang berdiri di atas sebuah tebing batu, membentang kedua tangannya layaknya ingin terbang. Seirios segera menarik Lyra untuk tidak berdiri di atas tebing.

"Apa yang aku lakukan?" tanya Lyra balik, membuat Seirios kehabisan kata karena ulahnya.

"Menjauh dari sisi tebing! Apa kau tidak takut terperosok kebawah sana, ha? Aku tidak akan membantumu jika kau sampai terjatuh."

"Jahat sekali," keluh Lyra yang pada akhirnya tetap menuruti perintah kakaknya.

"Lagipula apa maksudmu berteriak di tepi tebing seperti barusan?"

"Tidak tahu," Lyra menggeleng. Lucu sekali dengan ekspresi wajahnya yang dibuat-buat. Mana bisa Seirios memarahinya jika begitu, yang ada membuat Seirios merasa gemas dan ingin mencubit pipi Lyra yang sedang digembungkan itu.

"Kakak, kenapa kau membawaku ke tempat seperti ini. Aku bilang aku ingin menikmati angin laut, bukan mendaki ke tempat ini," protes Lyra. Gadis itu menggejar langkah Seirios yang kembali ketempat ia melukis barusan. Bahkan lukisan Seirios belum selesai sepenuhnya.

"Eh, siapa gadis ini?" tanya Lyra ketika matanya menangkap sosok wanita yang ada dalam lukisan Seirios.

"Aku sengaja kesini karena di tempat ini lebih banyak memberi ketenangan, aku bisa mendapatkan inspirasi disaat aku merasa tenang," jawab Seirios sembari kembali duduk bersila di hadapan kanvas lukisnya, "Tidak tahu, aku tidak begitu mengenalnya. Tapi, bukankah matanya terlihat indah?" tanya Seirios balik.

Love
AMEERA LIMZ

MOON [SUDAH CETAK]Where stories live. Discover now