Blue Moon

253 41 37
                                    

~~*~~

Blue Moon. Blue Moon adalah munculnya bulan purnama kedua dalam satu bulan yang sama. Blue Moon itu sendiri tak berarti bulan itu akan bewarna biru, ini tak ada kaitannya sama sekali dengan warna, justru fenomena yang terjadi setiap dua setengah tahun sekali itu akan menampakkan bulan dengan warnanya yang pucat kemerahan. Tiap-tiap fenomena ini terjadi, sudah bisa dipastikan jika dalam tahun itu terjadi 13 kali bulan purnama.

Gadis itu kekeuh ingin naik hingga puncak Namsan. Ingin bisa menikmati fenomena yang ia nantikan, fenomena yang jarang terjadi. Sekaligus membuang segala kepenatan dan pikiran yang memberatinya bagai beban yang menggunung.

Langkah kaki seorang yang tadi sudah melintasi gadis itu kembali lagi setelah sayup mendengar gadis itu merintih kesakitan.

"Kau baik-baik saja?"

Gadis bintang itu mengangguk, tangan dengan kulit putihnya yang sedikit memucat menerima uluran bantuan dari sang lelaki. "Terima kasih sudah membantuku, Tuan." Menunduk sedikit, sekedar menghormati lelaki yang menolongnya ketika ia berhasil berdiri dengan benar. Lututnya sakit.

Lelaki itu tersenyum manis, semanis susu coklat hangat yang dibuatkan ibu saat pagi hari. "Harusnya kau tidak pergi sendirian. Cuaca sedang dingin, sepertinya kabut akan menyelimuti malam." Lelaki itu membawa dan memapah gadis bintang menuju bangku yang ada di dekat anak tangga.

Bohong jika si gadis bintang tak sedih, ia mengelak dari amukan sekaligus keluar ingin menenangkan pikiran dengan melihat bulan purnama. Namun, apa yang lelaki itu katakan agaknya adalah sebuah kebenaran, kabut mulai menyelimuti malam. Dingin menyentuh kulit.

"Hei, kau menangis?" Terkejut lelaki itu ketika tiba-tiba gadis bintang menangis tanpa sebab.

"Aku tidak bisa melihatnya. Aku tidak bisa," gadis bintang melirih pelan.

Rasanya si lelaki ingin sekali membawa tangannya untuk merangkul gadis yang menangis itu, hanya ingin menenangkan. Tapi, ia takut dikatakan mencuri kesempatan. Mereka tak saling mengenal, lebih tepatnya belum saling mengenal.

Pada akhirnya lelaki tampan yang tampannya mungkin saja mampu mengalihkan dunia itu hanya mampu diam. Membiarkan sebatas mana tangisan gadis yang duduk di sebelahnya akan bertahan. Mungkin tak akan lama.

Salah. Apa yang lelaki itu pikirkan salah besar, yang ia pikir gadis itu akan berhenti menangis justru makin sesenggukan. Untung hanya sesenggukan, jika sampai menangis histeris lelaki itu takut orang lain salah paham padanya.

"Maaf. Apa ada hal yang bisa aku lakukan untuk membuatmu berhenti menangis?" Begitu polosnya pertanyaan yang keluar dari birai lelaki tinggi itu

"Tidak. Maaf, harusnya aku yang minta maaf karena menangis tiba-tiba," ucapnya. Jemari panjang ramping gadis bintang mengusap air matanya sendiri.

Lelaki dengan manik mata hitam pekat itu tersenyum. "Aku Seirios," pria itu mengulur tangannya kembali, menunggu sang gadis untuk membalas.

Dua tangan yang mulai dingin itu saling menjabat. "Sirius?" Tanya gadis itu setelah melepas jabatan tangannya.

"Seirios. Bukan Sirius."

"Iya. Tapi Seirios itu adalah bahasa Yunani yang pada bahasa lain artinya adalah Sirius." Gadis itu kemudian terkekeh ringan dengan senyuman, rasa-rasanya Seirios akan terkena gula darah setelah melihat senyum gadis di sampinya. Manisnya lebih kuat daripada gula.

"Oh, iya. Bagaimana bisa aku lupa makna namaku sendiri? Aku kan bintang utama yang terletak di konstelasi Canis Mayor." Seirios terlihat sedikit lucu ketika menepuk dahinya sendiri. Mana tahan gadis itu untuk tak tersenyum dan tertawa kecil ketika melihat hal tersebut. "Wah, kau sangat cantik. Secantik namamu," Seirios kembali berucap, ia terkagum pada kecantikan sang gadis ketika tersenyum. Auranya kuat, sekuat aura bintang Vega yang sesungguhnya. Meski ada sembuarat merah berbentuk telapak tangan pada wajahnya, tetap saja cantiknya terlihat jelas.

***

"Bahkan bulan sungguhan kehilangan cahayanya yang dicuri kabut. Aku benci kabut, mereka seperti Bukhansan yang mengambil bumiku." Nebula menutup gorden kamarnya dengan kasar, hingga beberapa besi pengaitnya melompat jatuh dengan paksa, percuma Nebula membiarkannya terbuka, nyatanya Nebula tetap tidak bisa mengamati Blue Moon dari dalam kamarnya, karena kabut menyelimuti hampir seluruh Seoul.

"Nak. Kau masih bisa melihat Blue Moon dilain waktu. Jadi, jangan kecewa!" Sosok tuan Kim pria parubaya itu sekadar berupaya membuat putranya untuk tak bersedih.

"Itu masih lama. Butuh dua tahun lebih untuk itu. Sementara aku? Aku bahkan tidak tahu aku masih kan hidup hinga waktu itu tiba atau tidak."

"Apa maksudmu, Nak? Kau pasti masih akan menikmati Blue Moon yang mendatang."

"Aku lelah. Biarkan aku istirahat." Nebula tak bermaksud mengusir ayahnya untuk keluar dari kamar. Hanya saja ia sedang ingin sendiri di kamar yang penuh sejuta kenangan.

"Baiklah, ayah keluar. Jangan lupa obatmu!"

"Akan aku minun," Nebula berjalan tanpa semangat ke arah kamar mandi yang ada di kamarnya.

Setelah menuntaskan untuk mencuci muka, Nebula duduk di kursi yang menghadap langsung pada beberapa photo kenangan ketika dirinya dan Rigel menikmati Blue Moon sebelumnya dari puncak Namsan Tower. Pada salah satu figura tertulis twins Kim, si kembar Kim yang terobsesi pada tata surya.

"Aku merindukanmu, Bumiku. Rindu yang membuatku ingin segera bertemu denganmu. Bisakah?" Nebulah melirih bersamaan sebuah senyuman yang sangat sulit untuk diartikan. Mata galaksi itu menatap pada sebotol obat tidur yang kebetulan ada tepat di sebelah figura.

***

"Akhirnya kau pulang juga. Aku pikir kau sudah mati bunuh diri seperti temanmu itu hanya karena aku memarahi dan menamparmu," Louise perempuan asing yang menikah dengan lelaki Seoul itu tampak sinis dari wajah dan juga ucapannya. Itu sangat menyakitkan bagi gadis bintang.

Bohong jika gadis bintang tak pernah berpikir untuk melakukan hal yang seperti ibunya katakan. Tapi, hal itu bukan sebuah solusi yang baik untuknya, sang gadis bintang akan membuktikan bahwa ia bisa menjadi seperti yang ia inginkan. Akan ia buktikan segala tekadnya pada dunia. Bila perlu sampai seisi langit tahu ia sudah berhasil. Tak terkecuali bulan. Hanya saja gadis bintang membutuhkan beberapa waktu untuk mewujudkan segala mimpi indahnya.

"Aku tidak sekonyol itu untuk melomoat dari atas gedung. Justru aku akan lebih menjadi pecundang jika aku melakukannya. Aku tidak akan mati sampai aku mendapatkan mimpiku." Tekadnya masih kuat. Gadis itu berlalu, terlalu lama berhadapan dengan ibunya hanya akan membuat ia emosi berujung dosa.

Gadis bintang yang itu adalah Min Vega. Yang darahnya campuran antara Australia dan Korea.

Salah satu dari orangtua Vega adalah sahabat baik keluarga Kim.

***

"Apa yang terjadi pada putra kami, Dok?" Ellena menangis ketika melihat putranya yang masih belum terbangun.

"Dia masih baik-baik saja, ia sulit untuk bangun karena ia mengkonsumsi obat tidurnya lebih dari dosis biasa. Tapi, ini belum over. Saranku jangan simpan obat-obatan itu di kamar ini, harusnya kalian yang mengatur waktu penggunaan. Dan jangan lupa untuk menjauhkan benda berbahaya apapun yang ada di sekitarnya. Karena trauma itu masih menganggu kejiwaannya, takutnya ia akan melakukan hal-hal buruk yang tak diinginkan ketika pikirannya sedang kacau suatu waktu."

Ellena mengangguk. "Syukurlah, aku kira ia pingsan lagi. Aku akan menjauhkan semua hal yang berbahaya di kamar ini. Terima kasih dokter sudah datang melihat kondisinya?"

Love
AMEERA LIMZ

MOON [SUDAH CETAK]Where stories live. Discover now