Bukhansan

360 52 41
                                    

26 Oktober 2011

~~*~~

Sedari pagi, Rigel adalah orang yang terlihat paling bahagia, hatinya seperti sedang dihiasi bunga-bunga di musim semi, berwarna-warni, cerah dan ceria. Ya, memang begitulah Rigel, ia selalu tampak paling antusias terhadap setiap rencana mereka. "Nebula, jangn lupakan teleskop reflektornya!" Rigel mengambil selembar selimut kemudian memasukkannya ke dalam tas.

"Rigel. Aku tiba-tiba merasa sangat lelah. Bisa tidak kita tidak usah mendaki malam ini? Bagaimana jika kita menikmati hujan Leonid dari tepi sungai Han saja?" Ragu. Tapi, Nebula tetap saja menyiapkan teleskop mereka. Entah apa yang sebenarnya membuat Nebula begitu ragu? Yang jelas keraguannya telah dikalahkan hanya dengan memandangi Rigel yang terlihat sangat ceria. Hatinya terlalu lembut, tidak akan pernah mampu untuk membuat buminya itu bersedih dihari yang sudah dinantikan itu.

"Kau melupakan kaus kakimu, sekarang nyaris penghujung musim gugur, udara malam akan terasa lebih dingin. Jangan menyakiti diri dengan tidak menggunakan kaus kaki." Rigel mengambil kaus kaki yang masih terlipat rapih di atas meja belajar, sebenarnya itu sudah Nebula siapkan sejak tadi siang, tetap saja Nebula lupa akan hal itu, pikirannya seperti bercabang bagai ranting sakura, terlalu banyak hal yang mengisi pikirannya.

Rigel menarik Nebula untuk duduk di kursi meja belajar, kemudian gadis itu bersimpuh di lantai, senyumnya manis ketika tangannya mengambil salah satu kaki Nebula untuk dipasangkan kaus kaki yang cukup tebal dan hangat, sehangat hati seorang Rigel yang menyayangi dengan penuh tulus kasih. Mungkin bagi sebagian orang hal itu terlihat sedikit aneh, karena biasanya lelaki lah yang selalu bersimpuh di depan wanitanya. Dan hal ini sebenarnya justru terlihat lebih romantis.

***

Senja sudah hampir berlalu, mentari-- sang raja siang sudah terbenam seperti tertelan bumi, padahal lebih besar dari bumi itu sendiri.

Semilir angin malam mulai terasa, dinginnya hingga ke tulang.

Kaki-kaki pemburu hujan Leonid itu masih kuat bersemangat, menapak pada curam rute pendakian. Meski embusan napas tersengal-sengal, semangat Rigel tak pernah hilang, wajahnya selalu saja menebar senyum lebar. Pemandangan di wajah Rigel jauh berbanding terbalik dengan pemandangan di wajah Nebula yang tampak sedikit suram nan kelam.

"Aku haus," Rigel merengek ketika hampir setengah pendakian, kerongkongannya terasa begitu kering, pun tercekat karena harus mengatur napas yang tersengal. Gadis itu duduk pada salah satu batu yang ada di tepi rute pendakian, cukup besar, mampu menjadi tempat menopang bantalan duduknya juga Nebula. Tangannya menarik retsleting tas, kemudian merogoh, mengacak isinya. Yang ia cari sepertinya tak ia temukan, gadis itu mendengus sedikit kesal, "aku lupa membawa air minum."

Nebula kaget, mendadak jantungnya seperti berhenti memompa setelah barusan berdetak dengan kencang. Perasaannya tak enak. Tapi, melihat bagaimana gadis yang ia cintai juga ia sayangi itu merengek kehausan, Nebula mau tak mau mengalah untuk kembali turun, di bawah rute yang mereka lewati masih ada beberapa kedai yang buka, ada juga toilet umum. Kebetulan sekali ia sedang menahan gejolak ingin buang air kecil yang cukup hebat.

"Di bawah tadi aku melihat ada beberapa kedai yang masih buka. Bagaimana jika kita turun lagi untuk membeli beberapa botol air minum?"

"Tidak, Nebula. Aku lelah, tak bisakah kau turun sendiri untukku? Aku akan menunggumu di sini. Aku berani meski seorang diri, lagipula malam ini ramai pendaki."

"Benarkah kau berani?" Berat bagi Nebula untuk meninggalkan Rigel sendiri, butuh beberapa menit untuk turun kemudian kembali lagi. Ragu, sebelum turun Nebula beberapa kali melihat ke arah Rigel. Seperti ada perasaan tak rela.

MOON [SUDAH CETAK]Where stories live. Discover now