27. Laut dan Langit Sore

Start from the beginning
                                    

Jaemin menghela napas berat saat lengannya ditarik Renjun, persis bapak-bapak akhir bulan yang pusing karena gaji sudah hampir habis. Dengan malas, Jaemin mengikuti langkah Renjun menuju tepi pantai dimana lima saudaranya yang lain tengah bermain.

"Akhirnya Tuan Putra kita bangkit dari kubur," sindir Mark saat melihat Jaemin bergabung. "Berjemur doang di pinggir, belagak bule lu."

"Ngomong sekali lagi, gue bakar isi kamar lo besok."

"IYA AMPUN PADUKA."

Renjun dan Jeno seketika merinding karena teringat sesuatu. Trauma.

Jaemin menoleh pada Chenle dan Jisung yang duduk di atas pasir sembari membuat sesuatu dengan ribut. Istana pasir mungkin? Jaemin tidak paham sebenarnya adiknya itu sudah SMA atau bocah TK yang terjebak dalam tubuh remaja.

Haechan datang dan iseng menendang istana yang sudah dibuat dengan susah payah itu hingga hancur.

"KAK ECHAAAANNN! HUAAAA KAK NAAAAA INI NIH KAK ECHANNYA NAKAL!!"

Lengkingan Chenle terdengar keras hingga membuat beberapa wisatawan langsung menoleh. Haechan buru-buru membekap mulut Chenle namun tubuhnya sudah terlanjur dibanting ke pasir. Chenle menatap dengan jengkel dan berseru cukup keras.

"Ayo kubur Kak Echan!!"

"AYO!"

Chenle menahan pundak Haechan agar tidak berontak sementara Jisung sudah sibuk meletakkan pasir di kaki sang kakak. Mark, Renjun, dan Jeno tidak mau kalah dan ikut membantu Jisung mengubur kaki anak keempat Saga itu.

Jaemin? Tentu saja mengabadikan momen berharga ini.

"Jangan kakinya doang, badannya dikubur sekalian biar nyisa kepalanya doang." perintah Jaemin.

"Siap!"

"Owkiii!"

"Yang Mulia wants, Yang Mulia gets."

Renjun mencengkram rambut Haechan dan menoleh pada Jaemin. "Beneran cuma nyisa kepala aja? Nggak sekalian semua?"

"Ya gapapa juga sih sebenernya."

Jadilah Haechan teriak-teriak seperti orang kesetanan.

Saat semuanya sibuk mengubur Haechan, Jaemin perlahan melangkah pergi tanpa disadari siapapun. Sandal dilepas perlahan dan kakinya menapak langsung pada pasir yang lembut. Langkah demi langkah terjejak jelas hingga membawanya pada air laut yang datang dengan sukarela.

Tidak berhenti, Jaemin membiarkan kakinya terus melangkah maju. Membiarkan air terus menghantam kaki dan perlahan menenggelamkannya hingga sebatas betis. Namun langkah terus tercipta dengan Jaemin yang menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong.

Ketika lututnya terasa diterjang oleh air laut yang datang, Jaemin berhenti. Kepalanya menoleh ke belakang dan menemukan enam saudaranya masih larut dalam tawa sehingga tidak menyadari lenyapnya satu entitas paling berharga. Senyum Jaemin terukir tipis.

Pria muda itu kembali maju meski ombak membuat Jaemin beberapa kali nyaris oleng. Bahkan ketika air laut Nihiwatu telah memakan lebih dari separuh tubuhnya, Jaemin tetap terlihat tenang. Akhirnya langkah itu terhenti dengan tatapan lurus pada langit sore itu. Kilau matahari yang akan terbenam dan gurat oranye yang cantik terlihat lebih jelas dari tempat Jaemin berdiri.

Hantaman ombak berkali-kali berusaha melumpuhkan kekuatan kaki Jaemin agar laut dapat melahap habis anak itu. Waktu sudah semakin sore dan ombak semakin menggila, berharap kedatangannya berhasil menyeret apapun yang menantangnya.

"Tuhan.."

Jaemin meletakkan tangannya di dada.

"Terima kasih. Untuk langitnya, untuk lautnya, untuk indahnya. Terima kasih."

My Stupid Brothers ✔Where stories live. Discover now