HANGGANA

2.2K 210 0
                                    

:: HANGGANA ::

First impression. Ia lelaki yang tinggi, kulitnya sawo matang, rambutnya ikal sekuping, dan dari penampilannya aku menarik kesimpulan jika ia adalah orang yang santai.

Setelah dua hari aku mengobrol dengannya di waktu-waktu senggang setelah kegiatan relawan selesai, aku jadi banyak tahu tentangnya. Seperti yang aku tebak di awal, ia memang sangat santai. Aku seperti mengobrol dengan Rendy atau teman-teman di tongkrongan. Ia suka bercanda dan itu membuatku lebih relax setelah sibuk berhari-hari.

Seperti malam ini, malam ketiga aku di NTT. Pukul 20.30 kami baru sempat makan malam di aula sebuah gedung pemerintahan. Kami duduk lesehan berdua. Mbak Yani yang aku ajak makan, ternyata sudah makan daritadi dan sekarang melanjutkan kegiatannya. Mas Nasa jelas masih sangat sibuk. Akhirnya malah bertemu dengan Hangga di sini.

"Jadi kamu tuh S2? Ambil apa?"

"Ekonomi bisnis."

"Wah peluang kerjanya bagus tuh." Ujarku setelah banyak lowongan-lowongan yang aku temui mencari manusia ekonom seperti ini.

"Masalahnya aku lebih suka nganggur." Jawabnya nyeleneh.

"Halah, mana ada orang nganggur tapi bisa jadi relawan, ditunjuk pula ke NTT, kalau dia nggak bekerja keras."

Ia tertawa kencang. "Iya juga ya. Kok aku bisa ditunjuk."

"Jangan merendah ah. Ini minat kamu kan?"

"Ya, sebetulnya motivasi aku cuma nggak mau anak-anak itu jadi seperti aku di masa kecil." Jelasnya seraya menunjuk anak-anak yang sedang makan juga.

"Gimana?" Tanyaku belum paham.

"Dulu waktu kecil di kampungku terkena dampak erupsi gunung berapi. Aku masih sekecil mereka. Jaman dulu, nggak ada relawan yang memberi dukungan psikososial. Jadi anak-anak di sana punya trauma berkepanjangan. Termasuk aku."

Kejadian yang tidak biasa yang dialami saat kecil memang bisa menimbulkan sebuah trauma. Jika tidak segera di tangani, trauma itu akan bertahan sampai ia dewasa bahkan sampai tua. Setidaknya itu yang pernah aku baca di sebuah artikel.

"Traumanya dalam hal?"

"Aku trauma dengan suara gemuruh. Entah itu dari gempa, atau petir yang menyambar-nyambar. Itu membuat aku deg-degan dan kaki tangan dingin dan lemas."

"Udah pernah ke..." Belum selesai aku bicara, Hangga sepertinya sudah tahu maksud pertanyaanku akan kemana.

"Udah, dan sekarang udah sembuh. Makanya aku nggak mau itu terjadi ke anak-anak itu. Jadi aku daftar jadi relawan." Jelasnya dan diakhiri dengan seulas senyum yang menurutku itu senyum kepuasan seseorang yang telah mencapai tujuannya.

Aku ber'oh' panjang dan mengangguk.

Makanku sudah selesai. Aku meremas kertas bungkus nasi dan membuka air mineral. Tapi dengan spontan, Hangga mengambil botol air mineral itu dari tanganku. Lalu ia membukakannya dan di serahkan kembali padaku.

"Makasih."

Ia berdehem santai. Padahal aku juga bisa membukanya sendiri. Ya walaupun butuh waktu sedikit lama. Kekuatan tanganku kan tidak sama dengan laki-laki yang sekali putar langsung terbuka.

"Kamu sendiri kerja? Atau fokus relawan aja?" Tanyanya.

"Halftime nglukis, halftime komunitas, freelance volunteer."

"Cukup idealis ya."

Aku tertawa. Sepertinya, ngobrol dengannya aku jadi sering tertawa. Bukan lucu, hanya asumsinya memang selalu benar. Jangan bilang ia cenayang.

"Kok ketawa?"

"Ya habis, asumsi kamu bener semua."

"Kenapa?"

"Kenapa apanya?"

"Idealis?"

"Loh emang salah ya kalau aku bekerja sesuai idealisku?"

"Enggak. Cuma masih bisa dikompromi kan? Kalau idealismu udah nggak bisa dikompromi sih namanya egois." Jelasnya singkat tetapi sangat mengena.

Aku memang cukup idealis dengan pekerjaanku? Mulai dari aku memutuskan jadi pelukis yang kata orang masa depannya belum tentu terjamin. Aku ikut komunitas yang aku suka, aku juga mendaftar jadi volunteer setiap ada pameran seni rupa supaya aku bertemu seniman-seniman hebat. Kalau dipikir-pikir, gaji yang aku dapat tidak seberapa dibanding aku bekerja di sebuah kantor, bekerja mulai dari jam 8pagi - 5sore dan mendapat gaji setiap bulannya. Selama ini bisa dibilang, aku banyak memilih pilihan dengan ketidakpastian di dalamnya.

Atau mungkin akan berbeda keadaannya apabila aku punya tanggungan, misal kedua orangtua yang tidak bekerja atau adik-adik yang musti aku biayai sekolahnya. Bisa jadi aku akan memutuskan untuk bekerja dengan orang dan mendapatkan gaji bulanan. Itu pilihan aman.

Jadi aku bersyukur saja karena aku tidak punya tanggungan seperti itu dan aku masih bisa menentukan pekerjaan mana yang aku suka.

Walaupun begitu, aku sudah bisa terlepas dari orangtua tentang keuangan sejak aku tinggal sendiri di Jogja. Semua yang aku dapatkan menurutku sudah cukup untuk kebutuhanku sehari-hari. Ditambah aku dapat pengalaman yang berharga setiap harinya.

Dan lagi, meski aku merasa idealis, aku tidak terlalu egois kok dengan pilihanku, dan masih bisa aku kompromi.

"Kalau nggak bisa dikompromi ngapain aku masuk komunitas. Capek di lapangan, panas-panasan. Kalau idealisku maunya ya rebahan aja di rumah."

"Iya kamu bener. Aku bilang gini soalnya dulu abis lulus, aku juga terlalu idealis, akhirnya malah menghancurkan diriku sendiri."

"Emang kamu nglakuin apa?"

"Bangun bisnis Coffeshop. Aku terlalu menggebu dengan ide-ide di kepala, tapi lupa kalau bangun bisnis musti riset pasar juga. Aku nggak lakuin itu. Bangkrut deh."

Lagi, dengan santainya ia tertawa,  menertawakan kegagalannya sendiri. Mungkin jika aku jadi Hangga, sudah kapok mulai bisnis lagi. Mengingat modal untuk bisnis Coffeshop kan tidak sedikit dan ribet mengurus ini dan itu.

Mungkin inilah yang membuat Kelana jadi pribadi yang serius dan kaku. Tapi lihat, bisnis restaurannya maju. Loh, kok sampai ke Kelana. Ini ngobrolin tentang Hangga dan bisnisnya yang gagal kan. Bukan Kelana, Rin!

Aku memukul kepalaku sendiri.

"Ngga, aku balik duluan ya ke tenda."

"Bareng, tunggu bentar." Ujarnya seraya membereskan bekas makannya.

Di perjalanan menuju tenda, kami berjalan beriringan dalam diam. Suasana sudah tampak sepi. Orang-orang sudah pada masuk tenda mereka masing-masing untuk beristirahat. Suasana ini persis seperti kemah, tapi ini penuh keprihatinan.

"Rin, Kenapa kamu suka pake kemeja kotak-kotak?"

Dari banyaknya pertanyaan yang bisa ditanyakan, aku tidak habis pikir ia bertanya itu. Kenapa aku suka pakai baju kotak-kotak? Setelah aku ingat-ingat, memang saat bertemu Hangga aku selalu pakai baju kotak-kotak. Selama ini aku membeli baju apapun cuma karena nyaman, aku juga tidak mengira ternyata aku banyak membeli kemeja dengan motif kotak-kotak atau polos saja.

"Masa sih?" Aku tertawa. "Aku nggak bawa baju banyak sih, makanya pakenya itu-itu aja. Dan kamu liatnya pas aku pake kotak-kotak terus kan? Sebenarnya nggak ada alasan khusus."

"Oh kirain emang kamu secinta itu sama kemeja kotak-kotak."

"Ehm sebenernya nyaman aja sih pake kemeja kotak-kotak apalagi jadi outer, dipaduin sama kaos biasa. Btw, random juga ya pertanyaanmu."

Kami tertawa. Dan tanpa terasa sudah sampai di tendaku. Aku pamit padanya untuk istirahat. Besok adalah hari terakhir kami di NTT, akan ada banyak agenda yang dilakukan. Dan sorenya kami akan pulang ke Jogja.

***

Hai semua. Aku mau terimakasih lagi ke kalian sudah baca sampai bab ini. Perasaan setiap bab aku selalu bilang makasih ya. Gpp deh. Karena dengan kalian membaca, apalagi kasih vote, komen dan share, itu sudah jadi support terbesar buat aku penulis pemula. Terimakasih banyak ya kalian...

Luv💕

Ohmyrum

Rindu Kelana (END)Where stories live. Discover now