"Apa hanya ini saja yang bisa kau lakukan, Gao Zhan Hou?" Kembali A'Gui menapakkan sepasang kakinya, menyudahi aksi melayang di udaranya sembari pedang masihlah erat dalam genggaman. "Bukankah sekarang giliranku?" Mengarahkan ujung runcing pedang lurus pada Pak Tua, seolah pedang siap menyemburkan suatu jenis serangan mematikan.

Namun, tidak ada apa-apa. Selain kawanan dari hewan kecil bercahaya kemerahan, kunang-kunang,'kah? Karena tampak demikian, tapi jika dilihat dan diperhatikan lebih lagi, kawanan hewan kecil ini berkemungkinan besar tercipta dari buliran darah. Yang mana kedalaman inti tubuh dipenuhi aura kehitaman, terhubung langsung dengan dua sayap bening yang dimiliki.

"Jangan terkecoh! Kunang-kunang itu sama halnya dengan kupu-kupu!" teriak Pak Tua yang serta merta memutarkan tubuh, melayangkan sejumlah dedaunan bambu yang tergeletak untuk diarahkan seketika pada musuh. Pun desingan layaknya anak panah terdengar cukup kencang. "Bagaimana caranya kami membunuh para kawanan kunang-kunang ini, Pak Tua?!" seru Yue Ming, kala yang ditanyakan terlalu sibuk menyerang hingga barangkali tak mendengar jelas seruan tersebut.

Jika diam, bukankah sama saja menunggu kematian? Akan sangat senang penjaga desa terkutuk itu kalau memanglah sampai terjadi. Bahkan kematian Jing Shin dan anaknya yang belum sempat melihat dunia, bukankah sia-sia sudah kematian mereka? Oleh karenanya, Ji Yu yang masih menahan Azhuang ini mulai menjatuhkan pandangan pada Tang Yuan, setidaknya pria itu masih bagian dari penjaga desa. Apa benar sama sekali ia tak memiliki cara dalam memusnahkan kawanan kunang-kunang ini?

"Aku sungguh tidak ada cara, Ji Yu. Sungguh tidak tahu bagaimana caranya."

Sedangkan kawanan kunang-kunang kian mendekat, jika begini terus maka bersiaplah dikerumuni untuk setelahnya menjadi mayat kering, bukan?

"PAK TUA!"

Sekejap, benar-benar dalam sekejap saja. Obor api yang entah dari mana datangnya muncul, tidak mungkin hanya karena seruan Ji Yu barusan yang mendatangkan, bukan? Kala Pak Tua yang sibuk bertarung dengan A'Gui sempat melirik tadi, pun empat obor api yang melayang-layang diambil sudah oleh Ji Yu, Tang Yuan dan Yue Ming. Bahkan Azhuang yang telah mampu mengendalikan amarahnya kini ikut serta pula.

"Penjaga desa itu licik, jadi kalian jangan hanya berfokus pada kawanan yang terlihat saja," ucap Xia Chia, memperingati.

Belajarlah dari pengalaman, lagian sudah berapa kali tertipu oleh penjaga desa tidak mungkin mereka tidak sadar, bukan? Maka dari itu, jangan sampai kali ini kembali termakan tipuan. Dan sudah menjadi tugas para wanita untuk memerhatikan ke sekitaran, berjaga-jaga barangkali kawanan hewan bersayap lainnya sungguhlah akan datang tanpa disangka-sangka.

Persiapan, tentu harus dilakukan.

Akan tetapi, apa yang sedang dilakukan Kwan Mei mendongak seperti ini? Teramat fokus sampai sepasang netra tak lagi berkedip, melainkan ... terbelalak. "DI ATAS!" serunya, pun lainnya ikutan mendongak. Menyaksikan kemunculan kawanan kupu-kupu merah siap menghujani mereka semua yang ikutan mematung. "PAK TUA!"

DEG!

Segalanya gelap, hening pula. Apa benar kematian telah menjemput? Namun, tubuh mematung ini tak mau digerakkan sama sekali. Hanya deruan napas tak beraturan-lah yang mampu tertangkap, merasakan pula semilir angin menggelitiki. Bahkan jika tak salah menebak, terasa pula akan hadirnya suatu kehangatan menerpa. Kala indra pendengaran mulai menangkap jenis suara-suara menyadarkan, beragam nama tak asing pun disebutkan didalamnya. Tak terkecuali, ada satu di antara suara-suara itu yang mengena di hati, terus-terusan memanggil 'Hui Yan dan Hui Yan', meminta untuk membukakan sepasang netra. Kala Hui Yan benar saja menuruti, mendapati Ji Yu telah berada di hadapannya.

Tak hanya sampai di situ saja, area hutan bambu ini tak lagi dilingkupi kegelapan. Langit cerah kembali ke sebagaimana harusnya, meskipun memang benar hutan bambu dalam kondisi sangatlah kacau. Banyak pohon yang tumbang, kering bahkan hangus. Tak jarang pula permukaan tanah pijakan mereka dipenuhi jejak serangan, bahkan sejumlah abu yang dipercayai berasal dari kawanan kupu-kupu dan kunang-kunang terlihat pula.

Pak Tua ... pria asing tersebut berhasil menyandera A'Gui. Menempatkan pedang tepat pada leher, siap kapan saja menggorok sembari sepasang tungkai selangkah demi selangkah dibawa Pak Tua bergerak mundur mendekati ketujuh dari mereka tim pemberontakan desa. "Perintahkan anak buahmu untuk pergi."

"Kau pikir bisa membunuhku setelah mengusir mereka?"

"A'Gui, kau memang tidak bisa tewas dengan cara manusia, tapi ingatlah ... pedang yang siap menggorok lehermu ini bukanlah pedang biasa," kecam Pak Tua, kian menempelkan pedang tersebut pada leher A'Gui. "Cepat! Atau kesabaranku sungguhlah habis."

Mendesah, A'Gui bahkan tak lagi bergerak mundur melainkan terdiam. "Kalian pergilah, kembali dan urus desa," perintahnya, terdengar santai bagi seseorang yang sedang menjadi sandera. "Baiklah, sekarang mereka sudah pergi. Bisakah kita bicara baik-baik? Tidakkah kau lelah setelah pertarungan tadi?"

"Tentu saja lelah, lihatlah bagaimana tuanya aku sekarang." Mulai meregangkan sanderaan, tapi pendaran cahaya kemerahan apa yang ada pada sebelah tangan Pak Tua? Terserap pun kemudian menghilang ke dalam tangannya itu, tanpa meninggalkan jejak apa pun. Bahkan Pak Tua, sedikit melirik pada mereka yang tak terima membebaskan A'Gui semudah ini. Karena memang tak paham kenapa dan apa alasannya, belum lagi kenapa pula Pak Tua memerhatikan Kwan Mei sedemikian rupanya? Semacam barulah mengetahui sesuatu. "Pantas saja seorang pemimpin desa sepertimu datang kemari secara pribadi, ternyata ada barang penting yang tak bisa atau seharusnya dilepaskan. Barang yang akan membuat dirimu kesusahan jika sampai mengacaukannya lagi."

"Kau memang sudah menjadi mantan pemimpin penjaga desa, tapi kuakui kemampuanmu memang tak seharusnya diremehkan. Tidakkah kau merindukan saat-saat dirimu yang lalu? Tubuh muda dan kuat, mengendalikan segalanya. Bukan hidup seperti ini, di antara mati ataupun hidup."

"Berhentilah mengatakan omong kosong dari balik topeng itu, tidakkah kau ingin sekali melepasnya? Bahkan aku yang melihat saja kepanasan," kekeh Pak Tua, kekehan yang entah kenapa berhasil membuat A'Gui mematung, tampak barulah menyadari sesuatu. "Kali ini .. itu kau yang terlambat." Menyeringai penuh kemenangan, Pak Tua serta merta mendorong jauh A'Gui. Yang mana dengan kecepatan tinggi, Pak Tua menghampiri lainnya pun mengulurkan sebelah tangannya. "Cepat raih tanganku jika tidak ingin tewas di sini," ucapnya, entahlah apakah itu pemaksaan ataukah menitahkan. Yang pasti ketujuh dari mereka semua meraih.

Namun, A'Gui yang murka seolah telah kehilangan suatu benda berharga miliknya sontak saja melemparkan pedang. Membelah udara, berdesing bahkan berkilauan ketika bersentuhan dengan cahaya sang surya yang meninggi di singgasananya. Menyadarkan mereka semua, pandangan menuju ke arah yang sama. Menyaksikan bagaimana pedang berukiran kuncup bunga serupa dengan tanda pada tengkuk leher masing-masing penjaga desa ini bergerak sangatlah dekat kini.

"Pak Tua ... Pak Tua di belakangmu!" seru Yue Ming, hendak menarik Pak Tua yang barulah menoleh ke samping. Namun, takdir berhendak lain.

Percikan menodai wajah, membekukan bahkan menghentikan seketika napas dari mereka semua. Kali ini, bukan lagi merasa waktu telah berhenti, melainkan ... waktu telah mati. Bagaimana bisa menyaksikan hal semengerikan ini? Terlebih pada ia ... ia yang mereka kenal baik dan hangat, ia yang barulah kehilangan istri dan anak. Dunia ini, ataukah takdirnya yang memanglah buruk? Kala lihatlah bagaimana pedang menembus bagian jantungnya, sedangkan mulut yang bernodakan darah malah tersunggingkan suatu senyuman. Satu persatu memandangi teman-teman seperjuangannya, air mata pun hadir kemudian. "Per-gi-lah ...."

BRUKK!

Sepasang lutut menghantam keras tanah, muntahan darah segar kembali dialami. Meskipun mulut tak mampu berucap lagi, tapi lewat pandangan sepasang netra memerah akan darah cukuplah jelas untuk dipahami teman-temannya yang masihlah mematung tak menyangka, dan lewat napas memberat dan tersengal-sengalnya ... Azhuang, pria ini memberikan anggukan pada Pak Tua sebelum berakhir ambruk sepenuhnya.

Sementara Pak Tua sendiri, sempat menajamkan pandangan pada A'Gui yang hendak kembali menyerang. Namun, serangan yang dilemparkan malah hanya menghunjam udara kosong, semacam memang tak ada siapa pun di sana sedari tadi. Lantas, ke mana sekiranya Pak Tua membawa tim pemberontak desa itu pergi? Kala A'Gui, pemimpin desa yang teramat memuja roh jahat dari Hutan Malam Abadi itu mengamuk, meratakan sebagian area hutan bambu.

"TIDAK!!!"

The Village : Secrets Of Past Life (END)Where stories live. Discover now