Masir Muhatam

27 11 6
                                    

Inspired by : Passione (Dimash Kudaibergen)

disclaimer alert:
Cerita ini terinspirasi dari novel best seller 'Kepakan Sayap-sayap Patah Bidadari' karya mendiang Kahlil Gibran. Tidak ada sama sekali unsur niatan untuk memplagiat karya beliau, ini murni hasil pemikiran dan imajinasi Author Plinplan. Sekali lagi hanya terinspirasi.
Jadi, jika readers melihat ada kemiripan, itu wajar karena dasar cerita ini terinspirasi dari karya beliau. Mohon maaf atas ketidaknyamanan readers...

***

***

Gemersik dedaunan willow berjatuhan ke tanah terhempas angin kencang musim gugur. Membuat tanah Beirut menjadi tampak kuning keemasan, seperti senja saat ini. Keindahan sunset yang terlihat dari balik menara kubah Masjid Mohammad al-Amin, lalu akan kembali terbit dari balik menara lonceng Katedral St. George.

Begitulah pemandangan sehari-hari yang selalu Zehra lihat sepanjang delapan belas tahun ia hidup. Gadis itu jarang pergi ke luar rumah, selalu sibuk membantu sang ayah mengurusi gereja dan urusan keagamaan.

Bicara soal senja, saat ini Zehra sedang berada di atas menara lonceng, tempat favoritnya untuk membaca dan menghafal al-kitab sambil memandang semburat merah jingga bertabur kapas halus dan kepakan sayap burung-burung di atas sana. Lantunan sholawat juga menjadi penenang jiwa raganya. Ia menghabiskan waktu cukup lama di tempat ini sampai adzan maghrib berkumandang, barulah ia turun ke bawah.

Allahu akbar, Allahu akbar....

Tepat saat ia hendak turun, suara adzan berkumandang menggema ke seluruh penjuru langit Beirut. Terdengar merdu lantunannya menyapa rungu hingga relung hati, sampai membuat Zehra memejamkan mata khidmat.

Laa Ilaaha illallah....

Adzan pun selesai dikumandangkan bersamaan dengan turunnya sang muadzin. Zehra bisa melihat dari jendela menara lonceng, wajah sang muadzin itu terlihat benar-benar familiar. Ia menerka-nerka sambil melangkahkan tungkainya menuruni anak tangga.

"Birrol!?" serunya tiba-tiba setelah mengingat dan memastikannya.

*

*

*

Sabtu pagi di kediaman Paul Stephanus Gibran, seorang uskup gereja sudah kedatangan tamu dua pria berbeda zaman.

Yang satu berusia setengah abad, dengan gamis dan kopiah yang menutupi uban, tak lupa sorban mengalungi lehernya. Satunya lagi pemuda berusia dua puluhan, pakaiannya pun tak jauh berbeda. Dilihat sekilas tampak mirip.

Ketiga pria itu tengah duduk di sofa ruang tamu dengan disuguhi qahwa, dan beberapa camilan manis pelengkapnya. Sambil menikmati hangatnya sinar mentari, obrolan-obrolan ringan menjadi pendamping momen berharga mereka. Khususnya kedua sahabat berbeda keyakinan itu. (kopi)

Stephanus Gibran dan Ahmed Nuruddin sudah seperti saudara, sedari remaja mereka menjalin persahabatan hingga menikah, memiliki keturunan, dan sampai saat ini.

"Syaikh, ceritakan tentang putramu!" pinta Gibran sambil tersenyum memandang putra dari seorang Imam besar masjid itu.

Nuruddin ikut tersenyum menatap bangga sang putra. "Dia baru saja khatam menjadi seorang hafidz di kota Makkah. Aku berencana untuk mengangkatnya menjadi Imam masjid di sini."

Antologi KACAU✅Where stories live. Discover now