3

81 15 11
                                    

"Aduh gara-gara nyariiin sepatu dulu yang diumpetin sama kucing, jadi kesiangan deh. Untung gak telat," gerutu Nayoung. Gara-gara tidak fokus, dia jadi menabrak seseorang di hadapannya.

"Aduh-aduh maaf-- eh Sangah? Kenapa berhenti di tengah jalan, sih?"

Yang disebut namanya pun menoleh. "Ssst, diem, Nay. Itu liat deh."

Nayoung pun mengikuti arah telunjuk Sangah. Bisa dilihatnya ada dua ibu-ibu yang terlihat marah-marah di ruang kepala sekolah. Bisa dilihatnya juga suami mereka terlihat marah tapi masih menjaga wibawa.

"Bagaimana bisa sekolah menutup kasus itu?"

"Anak kami dibunuh! Dan sekolah diam saja?"

"Maaf, Bu. Tapi tidak ada bukti yang cukup untuk menyatakan kalau kejadian itu adalah pembunuhan. Karena itulah kami menganggap kejadian itu 100% murni human error."

"Tidak mungkin! Anak kami dibunuh! Kami yakin pelakunya masih ada di sekolah ini!"

"Baiklah, Bu. Kalau semisal benar kejadian itu adalah pembunuhan, bagaimana dengan peluang kalau pelakunya sudah lulus? Hampir 100% siswa SMA ini lulus semua, lho."

"Kalau begitu, kami tetap meminta bantuan sekolah ini untuk mengusutnya. Mulai rekaman CCTV dan sebagainya, kami harap semua itu dicek kembali. Kami permisi."

Begitulah yang bisa Nayoung -dan sebagian besar murid sekolah itu- dengar.

"Ternyata orangtua Kak Giselle dan Kak Haruno masih menganggap kejadian itu adalah kasus pembunuhan ya, Sangah?"

Sangah mengangguk pelan. "Sebenarnya aku udah merasa ada yang nggak beres, tapi Bu Yanti kan menyuruh kita semua diam."

"Bu Yanti kan emang nggak pernah mau repot. Rekaman CCTV juga nggak bakalan dicek itu kalau nggak ditekan kayak tadi."

"Bener banget. Ah udahlah, ayo kita masuk ke kelas. Jam pertama Bu Luna."

**

"Jadi,,, dulu tuh ada 2 siswi yang meninggal. Hmm kayaknya tahun lalu deh. Trus kedua orangtua mereka nganggep kalo mereka tuh dibunuh. Tapi sekolah nganggepnya human error. Secara nggak ada saksi atau bukti yang menguatkan tentang itu," tutur Yewang kepada teman sebangku barunya, Haruto.

Haruto mengangguk-anggukkan kepalanya. "Nama murid yang meninggal itu siapa?"

"Kak Giselle sama Kak Haruno. Haruno ya, bukan Haruto. Kak Abe Haruno namanya. Aku kurang tau pasti sih soal kasus itu, soalnya tahun lalu aku juga belum masuk sekolah ini. Sekolah juga tutup mulut banget. Baru hari ini kan diangkat lagi kasusnya. Kalo mau tau, tanya kakak kelas deh. Itu Kak Beomgyu, yang nemuin Kak Haruno, atau ke Kak Mako sama Kak Wonjin yang nemuin Kak Giselle."

"Aduh, males banget nanya-nanya kakak kelas. Lagian aku juga masih anak baru, belum kenal siapa-siapa."

"Tanya ke Rima juga bisa."

"Kenapa Rima?"

"Dia kan kenal Kak Giselle. Nanti kamu sekalian minta brosur klub sekolah."

(Fyi, Rima dan Giselle kenal in real life).

"Duh, jangan Rima, dong. Takut."

Pada saat itu Youngeun lewat.

"Jhaaaa badan doang gede. Sama Rima takut," ledeknya.

Haruto hampir melemparkan penghapus miliknya, tapi urung karena Youngeun melewati bangku tempat Rima duduk. Salah-salah nanti malah nyasar ke Rima.

"Yaudah tanya Amaru juga bisa. Dia kenal Kak Haruno katanya."

Haruto menoleh. "Amaru yang biasa jalan bareng Hikaru itu?"

"Iya, itu. Tanya dia aja deh."

"Oh iya deh nanti aku tanya-tanya dia."

**

"Ko, Yur, ngantin yuk," ajak Sumin.

Mako langsung berdiri. "Yuk. Aku udah laper juga nih."

Yuri terlihat malas-malasan. "Aku titip siomay aja deh. Mager banget mau jalan ke kantin."

Sumin mengedarkan pandangannya. "Duh, berdua doang sama Mako gak asyik. Eh Remi, ke kantin yuk!"

Yang dipanggil pun menoleh. "Maaf Min, aku udah titip jajan ke Chaerin tadi."

Sumin memanyunkan bibirnya. Kemudian atensinya tertuju pada Soojin yang asyik membaca buku di bangku belakang Remi.

"Soojin, ayo ngantin bareng!"

Soojin menutup buku yang dibacanya, lalu langsung berdiri. "Ayo!"

Sekarang Mako malah tak bersemangat dengan bergabungnya Soojin. Tapi gadis itu berusaha menutupinya. Jadilah Sumin, Mako dan Soojin berjalan bertiga ke kantin.

"Tadi orangtua Kak Giselle sama Kak Haruno datang. Kalian liat, nggak?" ucap Sumin memulai perghibahan di kantin.

Mako mengangguk malas. "Iya liat. Mereka keliatan marah banget."

"Eh, kamu yang nemuin Kak Giselle bukan sih, Ko?"

"Iya..."

"Berarti kamu satu-satunya saksi untuk Kak Giselle? Kalo Kak Haru kan si Beomgyu yang nemuin."

"Ada si Wonjin juga."

"Oh iya mas pacar ya?"

"Mantan..."

Raut wajah Mako yang sudah kusut jadi makin kusut. Sumin jadi tak enak hati.

"Oh maaf lupa..."

Sementara Soojin yang dari tadi diam, raut wajahnya juga sedikit berubah ketika nama Wonjin disebut. Untung Sumin dan Mako tak memperhatikannya.

Sumin sedikit mengecilkan volume suaranya. "Tapi kamu yakin nggak sih Ko, kalo meninggalnya Kak Giselle tuh murni human error?"

Mako berhenti mengaduk baksonya. Kedua matanya menerawang jauh ke arah sebuah sumur tua. Konon di sumur itulah mayat Giselle ditemukan.

"Wonjing- maksudku Wonjin, dia yakin itu kecelakaan. Tapi aku enggak."

"Apa kalian mau memberikan kesaksian soal itu, Ko? Atau malah bantu mengusut kasus itu?"

Mako mengangkat kedua bahunya. "Kalo Wonjin, aku nggak yakin. Tapi aku sih mau-mau aja. Aku juga penasaran dengan kasus itu."

Soojin menepuk bahu Mako. "Tapi kamu harus hati-hati, Ko. Salah-salah nanti kamu yang dituduh."

"Yeah, I know that."

#####

Mafia In The SchoolWhere stories live. Discover now