5. Menyelami Masa Lalu

49 19 17
                                    

Note:

Seluruh cerita oleh Andy Wylan hanya diunggah pada platform W A T T P A D. Jika menemukan cerita ini di situs lain, maka kemungkinan situs tersebut berisi malware.

Selamat membaca!

---------------------------

Sepeninggalan Caellan, Rayford menuntaskan kegiatan beberes apartemen. Piring-piring kotor dicuci bersih, pakaian bau baru saja dikumpulkan, dan dia telah mandi. Serangkaian kegiatan yang membuat Rayford terkesima dengan dirinya sendiri. Mendapati kehidupannya perlahan-lahan memasuki sebuah rutinitas laiknya manusia normal membuat jantungnya berdegup dalam kesenangan.

Akhirnya, setelah bertahun-tahun yang penuh dengan setruman menyakitkan!

Rayford mengecek jam saku. Sudah hampir pukul sebelas. Ia bergegas memasukkan seluruh pakaian kotor ke tas kain dan membawanya keluar apartemen. Dia akan mencucikannya ke penatu dan, demi Tuhan, bakal menggunakan uang hadiahnya untuk pertama kali. Ia tak lupa mengunci pintu apartemen dan memastikannya berulang kali. Caellan itu detail betul, dan bayangan akan reaksi refleksnya semalam membuat Rayford otomatis berhati-hati.

Heh. Padahal pemuda-pemuda seusianya bakal mengomel kalau disuruh menaruh cucian ke penatu, dan hanya mau berangkat kalau diiming-imingi uang saku oleh sang ibu. Namun, Rayford berangkat dengan sukarela, bahkan dengan jantung yang masih jumpalitan, saat memasuki penatu yang sarat akan aroma deterjen. Ia malu-malu dan tak bisa berhenti tersenyum saat bertukar cakap dengan nenek penjaga, meminta tolong padanya untuk mencuci dengan penuh kelembutan agar sang nenek tidak lelah. Pemuda yang manis, kan? Kalau Caellan menyertainya, Rayford barangkali akan ditertawakan diam-diam.

Selesai dengan urusan penatu, Rayford melangkah keluar dengan perasaan lega. Ia menutup pintu toko dan menikmati langit biru cerah tanpa noda.

Cuaca yang bagus. Awal yang baik untuk ... menyelami masa lalu lagi.

Pandangan Rayford seketika menurun. Jantungnya sekarang berdetak dalam ketidaknyamanan, dan perutnya mulas. Ia menarik napas dalam-dalam dan, setelah memastikan bahwa ujung jemarinya yang kebas telah melemas, tubuhnya melumat ke udara.

Sepintas kemudian, ia berpijak di sebuah hutan yang teramat familiar, gelap, dan menyesakkan.

Ini hutan tempat desanya dahulu berada.

Rayford tidak pernah menyadari bahwa hutannya bakal terlihat segelap ini. Apakah memang sedari dulu begitu mengerikan? Nampaknya Khass sering mengarungi hutan bersama kawan-kawan seperguruannya, mengejar ayam hutan setinggi lutut tanpa masalah, dan bermain-main dengan Sulur Biru tanpa dirundung ketakutan apa pun. Hutan dahulu nampak begitu cerah kendati dahan-dahan antar pohon menjalin erat dan hanya sedikit sinar matahari yang mampu dipantulkan daun-daun kering di tanah lembap. Tetapi sekarang, Rayford hanya menyaksikan roh-roh hutan yang tergantung lemas di dahan-dahan pohon, membisikkan nyanyian parau pengiring langkah, dan sulur-sulur yang mendesis di sudut-sudut bongkahan batu.

Ia juga pusing menghirup udara di sini. Rasanya seperti mencelupkan jantung berkarat di larutan cuka yang berbuih padat.

Luar biasa. Apakah ini dampak meninggalkan desa suci demi hingar-bingar kehidupan dunia yang kacau?

Rayford memaksa diri untuk mendaki menuju puncak bukit tempat desanya dahulu lenyap. Setiap langkahnya niscaya semakin memberat, semata-mata karena juluran sulur-sulur tipis yang membelit kedua kaki. Ranting-ranting pohon seolah memanjang untuk menggores kulit telanjangnya, mengancam sang pemusnah desa agar tidak melanjutkan perjalanan. Rayford tidak gentar. Ia harus mencari cara untuk membangkitkan desa, lalu—

Langkahnya terhenti saat Rayford menyadari gelayut asap pembakaran yang asing. Alisnya berkedut mengawasi arah datangnya yang berasal dari puncak bukit. Aromanya ... Tunggu. Ini aroma ayam hutan yang sedang dibakar.

"Minggir!" desis Rayford kesal saat sulur-sulur melilit kakinya bertambah erat. Tak ada pilihan lagi. Ia memanjangkan jemarinya menjadi bilah-bilah tulang tajam dan menggores sulur, mengakibatkan tanaman hidup itu menggelepar marah dan melepaskan cengkeramannya. Rayford buru-buru lari sebelum menerima amukan hutan lebih jauh lagi.

Ada yang memanggang ayam! Dengan panik Rayford menghampiri. Ketika ia akhirnya tiba di puncak bukit, hatinya mencelos.

Berdiri di tanah lapang bekas desa, sebuah tenda dari karung goni melintang disangga dahan-dahan besar yang tertancap dalam. Sebuah api unggun berkeletak merdu, memanggang seekor ayam hutan yang tengah diolesi minyak oleh seorang pemuda. Tubuhnya besar, lebih tinggi daripada Caellan, dan rambut merahnya dipangkas sangat pendek, meniru sang pengasuh yang tengah bersandar pada bongkahan batu sembari melantunkan ayat-ayat kitab. Saat Rayford tiba dalam jarak pandang mereka, pemuda berambut merah itu membeliakkan mata.

Rayford hampir menangis.

Amar dan Guru Abraham ternyata masih hidup.

"Khass!" Amar terkesiap. Ia melonjak, begitu panik sampai-sampai nyaris menginjak api unggun saat berlari menghampirinya. "O Tuhan, adikku!"

Rayford tak sanggup bergerak. Ia hanya mampu merasakan kakinya kebas dan jemarinya begitu lemas. Wajahnya memerah padam karena berusaha menahan air mata yang berkumpul di pelupuknya. Ternyata dia masih cengeng di usianya yang kedelapan belas, tetapi siapa yang peduli? Amar selamat, begitu pula dengan Guru Abraham yang beranjak dengan memuji nama Tuhan.

Amar menerjang Rayford dengan sebuah pelukan. "Adikku!" serunya lagi. Rangkulannya begitu erat sampai-sampai Rayford akhirnya tergerak untuk melepaskan diri, semata-mata takut tulangnya bakal diremukkan oleh kekuatan Amar yang luar biasa. "O Khass, engkau selamat!"

"Salaam, Khass." Guru Abraham menghampiri dengan lebih tenang. Ia mengenakan jubah zaitun kusam dan sarung kelabu bebercak noda bandel, yang diikat dengan sabuk tali tambang berserat kasar. Sebuah penampilan yang tidak berubah semenjak perpisahan terakhir di gerbang desa, empat tahun lalu.

Rayford membalas salamnya. "Kakak Abe, kalian juga selamat."

"Kau benar-benar Khass!" raung Amar. Ia meremas bahu Rayford dengan bingung. "Tapi—tapi, mengapa kau tidak mengenakan jubah ... sebentar, kau nampak sangat berbeda, Khass. Kau tak apa-apa?"

Rayford tak bisa menjawab. Mendapat pertanyaan bertubi-tubi justru membuat pemuda itu kalang kabut. Untungnya Abraham mengerti. Sang guru dengan lembut memisahkan cengkeraman Amar di bahu Rayford dan menggiringnya untuk duduk bersama di tepi perapian.

"Kami kira engkau ikut lenyap," kata Abraham. Ia mengusap dahi yang kini nampak jelas berkerut-kerut lelah. "Kami sangat terkejut saat kembali kemari beberapa saat lalu dan mendapati desa tak ada di mana pun. Kukira semuanya ikut menghilang, tetapi—syukurlah!—engkau selamat, Khass."

Rayford semakin panik.

"Katakan, apakah yang lainnya juga selamat?"

Ya Tuhan. Apa yang harus ia katakan?

"Aku ...." Tenggorokan Rayford tercekat, seolah-olah ia baru saja berlarian belasan kilometer dengan mulut menganga dan terus-terusan meneguk angin kering. "Aku tidak tahu dengan keselamatan yang lain."

Yah, ia tidak berdusta. Ia tidak tahu apakah ada sepasang guru dan murid asuhannya selain Abraham dan Amar. Seingatnya tidak ada lagi yang melakukan pengembaraan selain mereka berdua. Desa perguruan mereka sesungguhnya kecil, hanya dihuni guru dan murid-murid yang berjumlah kurang dari seratus, sehingga tidak banyak pasangan guru dan murid yang bisa dikirim untuk pengembaraan.

"Ini aneh," gumam Amar. "Apa kau tahu apa yang terjadi?"

Ya Tuhan, rasanya Rayford ingin sekali kentut, menuntaskan rasa mulas yang semakin melilit perutnya. Sungguhan. Bahkan otaknya terasa berputar-putar panik di dalam tempurung kepalanya, mencari perlindungan akan serangan pertanyaan yang berusaha menyingkap dosanya.

Rayford memejamkan mata sejenak. Hei. Bukankah ia ingin menebus dosa?

"Apa yang terjadi padamu?" Amar menyadari Rayford yang pucat pasi. Ia mengecek wajah pemuda itu. "Astaga, lihatlah dia. Lingkaran hitam macam apa ini? Dan, ya Tuhan, bekas luka ini. Kamitua pasti meninggalkan luka yang sangat mendalam." Amar menepuk-nepuk codet melintang di rahang kiri Rayford. Semakin dia berkomentar, niscaya semakin rusak suasana hati sang pemuda. Rayford tertunduk lesu.

"Hentikan."

"Apa?"

"Namaku bukan Khass lagi."

"Apa?"

ANTIMA: The Trial ✓Where stories live. Discover now