5. Satu Raga, Dua Jiwa.

107 17 25
                                    

Happy Reading.

***

Rhea berjalan di koridor seorang diri. Pagi ini cukup berkesan, dimana dia mendapat pengalaman baru dan juga suasana baru. Dan persis seperti apa yang dia pikirkan kemarin, hari ini semua orang menganggap dirinya adalah Kaystal.

Maka di saat ini juga Rhea mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang pendiam dan mengerti bagaimana perasaan Kaystal yang pasti merasa tertekan selama ini. Entah bagaimana gadis itu bisa sekuat itu menghadapi orang-orang yang telah membullynya. Tapi satu hal yang Rhea tau, Kaystal tidak seperti yang terlihat, dia gadis yang kuat.

Dibandingkan Kaystal, Rhea bersyukur karena di sekolahnya dulu meski terkenal badgirl dia masih bisa menghirup udara bebas tanpa rasa tertekan karena kasus bullying seperti apa yang Kaystal alami. Karena Rhea adalah orang yang akan melakukan apapun yang dia suka tanpa takut akan seperti apa penilaian orang terhadapnya. Menjadi diri sendiri.

"Waktu sendirian gini, jadi inget sama Ratu. Argh, please rasanya gue pengen balik aja ke sekolah gue yang dulu," monolognya seraya mencebikkan bibirnya kesal. Jujur saja ada rasa sedih karena tidak bisa bersama lagi dengan sahabat yang selalu ada untuknya di sekolah lamanya itu.

Namun begitulah kehidupan, setiap yang namanya pertemuan pasti akan ada perpisahan. Mungkin terdengar klise untuk dijadikan sebuah alasan mengapa dua orang tak lagi bersama--ralat, itu bukan sebuah alasan. Jarak atau ketidakcocokanlah yang menjadi alasan mengapa seseorang tak lagi bersama.

Adakalanya kita akan berada pada kata perpisahan, tapi tak semua perpisahan itu merupakan sesuatu yang buruk, karena perpisahan termasuk bagian dari skenario yang telah tuhan tetapkan.

Jika kemarin Rhea masih bisa bercanda dan tertawa bersama sahabat juga teman-temannya di sekolah lama, maka sekarang berbeda. Keadaan sudah berubah. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk Rhea berusaha menerima keadaan tanpa harus membenci kenyataan.

"HUUU!!"

"EDGAR! YUHUUU!!"

Suara riuh tepuk tangan yang berasal dari lapangan indoor berhasil menyita perhatian Rhea, sepertinya sedang ada sesuatu di dalam lapangan. Karena penasaran Rhea mulai berjalan memasuki lapangan.

"Lagi ada apaan sih, rame banget gini?" gumamnya, memperhatikan keadaan sekitar.

"EDGAR!! AYO, GAR."

"EDGAR, SEMANGAT!! KAMU PASTI BISA!!"

"Wih keknya seru!" Rhea tersenyum lalu melangkah ke barisan penonton dan mengurungkan niat awalnya ingin ke belakang sekolah.

Rhea berdiri di barisan paling depan bersama para penonton lain. Mengedarkan pandangannya sejenak lalu menatap ke depan, dimana pertandingan basket sedang berlangsung. Rhea mulai fokus memperhatikan jalannya pertandingan.

"Ck, terlalu mendominasi," komentarnya seraya memperhatikan bagaimana cara bermain Edgar.

"AAA.. EDGAR, I'M HERE. SEMANGAT!!"

Rhea memutar bola matanya malas, gendang telinganya seakan ingin pecah berada di samping Zeva yang sedari tadi tak henti-hentinya berteriak, bahkan gadis itu kini meloncat-loncat dengan semangat '45, bak pahlawan yang siap bertempur.

RHEA : Satu Raga Dua Jiwa [On Going]Where stories live. Discover now