46.Lekung pemulih luka

Start from the beginning
                                    

Tepuk tangan terdengar dari Xabiru, ia merangkul bangga sang putera. "Jagoan ayah!" puji Xabiru sumringah, beda dengan wajah Bu Nina yang diam, linglung.

"Putera ku akan meminta maaf pada anak yang telah ia pukuli dengan syarat anak itu pun harus meminta maaf pada Nesya, keluar dari persyaratan ku bawa khasus ini ke hukum. Lihat hukuman apa yang pengadilan putuskan," katanya lalu mengedikan bahu. "Terserah akhirnya nanti mau anak itu yang masuk penjara atau putera ku, permisi," diucapkan penuh keyakinan, bangkit kemudian berlalu pergi. Sebab Xabiru yakin itu bukan sepenuhnya salah di Raga.

Di dalam mobil Raga melirik bangga bercampur haru pada ayahnya, dari dulu Xabiru selalu keren bagi Raga. "Ayah betulan tidak marah?"

"Tidak, ayah bangga pada mu," balas Xabiru untuk yang keribuan kali.

"Itu kejadian yang cukup buruk, teman-teman kelas ku berlarian ke pojok dengan lutut mereka yang bergetar. Am i scary? marah ku seperti moster?" kening Raga berkerut bingung.

Tangan Xabiru tetap fokus menyetir. Ia berucap tenang. "Bajingan kecil itu pantas mendapatkan serangan bengis mu. Jikalau teman-teman mu kelak mengganggap mu moster ya biarkan saja, jagoan itu diakui bukan mengakui, lambat laun orang-orang akan tahu siapa yang salah," terkekeh kecil sendiri Xabiru saat Raga tidak paham apa yang ia ucapkan. Mengacak surai panjang anaknya.

"Sungguh bangga atau hanya membuat ku tenang?" sekali lagi Raga bertanya, jujur saja dalam hati ia merasa bersalah telah membuat temannya terluka parah.

"Sungguhan bangga, karna aku pernah ada di posisi mu bedanya aku tidak seberuntung mu," ucap Xabiru sedikit getir, sadar dengan suara serak itu Raga cepat-cepat menyengir, menunjukan deretan gigi rapinya.

"Berbeda bagaimana, apakah tidak ada yang menyebut mu jagoan? jika begitu aku saja, jagoan. Ayah jagoan!"  senyum tulus Raga membuktikan seberapa bersyukurnya ia memiliki ayah seperti Xabiru.

"Bunda mu, dia lah orang yang menyebutku jagoan setelah perginya grandma mu." Setiap membicarakan Bunda bola mata itu berkilau, Raga dapat merasakan sebesar apa cinta ayahnya pada Bunda Rai.

Mengulum senyum hangat. "Bunda ... nda seperti apa dulu yah? kenapa kau bisa begitu menyayanginya."

Menerawang ke depan, mengingat masa saat dulu yang sedikitpun tidak pernah hilang. "Dia luar biasa hebat, buktinya anak baik seperti mu berasal dari rahimnya."

"And... what else. Is she the most beautiful?"

"Sure."

"Sweetest?"

"Yeah, manis."

"Smartest?"

Mengangguk lagi. "Aset berharga milik sekolah adalah bunda mu," katanya sambil menunjuk pelipis. Raga tertawa.

"Katakan lebih banyak lagi ayah, aku ingin mendengarnya."

Xabiru mengibaskan rambutnya ke belakang. Memecingkan mata. "Satu yang paling pasti." dibuka lebar-lebar kuping Raga karna ayahnya berkata pelan. "Jika kau memberikannya beribu panah maka dia akan balas memberikan mu seluruh hatinya. And lastly ... she's mine."

Raga menepiskan bibir sambil memutar malas bola matanya, dasar bucin tidak tahu umur!

*******

Dibela di depan umum memang hal paling berarti ketimbang mengomeli, memojokan hingga mentalnya down, namun tetap saja jika sudah empat mata dengan bertepatam waktu yang pas Xabiru baru bisa menasehati putranya, seperti malam ini di tempat ruangan biliar yang ada di dalam rumah.

XABIRU [END]Where stories live. Discover now