12 | Kawasan Lindung - Lamahang [2]

Start from the beginning
                                    

          Geretan pintu mobil terdengar dan cyborg yang para petugas itu bawa ditarik paksa masuk ke dalamnya. Cyborg itu terkulai lemah, seperti habis dibius. Karen melihat lambang Kabupaten Buru pada sisi samping mobil, bersebelahan dengan lambang cengkih yang biasanya ada pada mobil dinas bupati Buru sejak awal abad ke-22.

          "Persetan kalian!" 

          Amarah sudah tak dapat lagi terbendung dari laki-laki paruh baya dan kini ia menerjang tubuh si petugas. Ia memukul-mukuli tubuh kekar itu secara membabi-buta, tetapi kemudian terjatuh atas sodokan gagang senapan di ulu hati. Serta merta istrinya menghampiri dan kembali menangis.

          Sebelum petugas itu masuk ke kursi penumpang di sebelah pengemudi, ia sempat bersitatap dengan Karen sekian detik, lalu masuk dan mobil putih pun melaju melewati Karen. 

          Jantung Karen berdegup sepeninggal mereka. Ia berbelok, bermaksud memutar arah jalan, tak berani melewati pasangan suami-istri yang sedang meraung-raung menangisi kepergian anak mereka. Ia malu karena tak bisa menolong. Hatinya berkerut perih ... tapi apa yang ia bisa lakukan? Tidak ada. Tidak, sebelum ia mengetahui rahasia di balik patogen kinetoksis, kelemahan organisasi The Darkness Hollow, dan mungkin saja ada hubungannya dengan rezim penguasa saat ini. 

          Otot-otot kaki Karen sudah agak kepayahan begitu ia sampai di wilayah karantina. Wilayah ini dipagari kawat tanpa ada jalan masuk. Hanya ada satu kawat yang sedikit longgar, dan cukup bisa dilangkahi Karen. Angin menerbangkan dedaunan yang berserak di sekitar kakinya. Lalu-lalang android menyapa penglihatannya sejak memasuki Karantina Blok I. Sebelum melangkah lebih jauh, ia menepi terlebih dulu ke tempat yang dirasa cukup aman, lalu mengeluarkan serum dari tas selempang. Ia suntikkan serum itu ke pangkal lengan selagi menggigir bibir dan sedikit meringis karena terasa lebih menyakitkan daripada suntikan biasa. 

          Karen melanjutkan perjalanan. Sesampainya di Karantina Blok IV, ia coba melihat situasi. Ia sudah menemukan rumah itu. Dua android medis begitu sibuk mengurusi pasien di dalamnya. Salah satu dari mereka menyadari kehadiran Karen, menoleh, memindai Karen dengan sinar dari retina. 

          "Keluarga pasien Amabea Luksita, terkonfirmasi memiliki imun terhadap patogen kardiokinesis. Anda memiliki sisa jam besuk selama satu setengah jam. Silakan." 

          Kedua android medis keluar satu per satu setelah menyelesaikan pekerjaan mereka. Android terakhir menyerahkan masker khusus sebelum pergi. Karen menunggu sampai mereka menjauh, lalu masuk sambil mengenakan masker, dan menutup pintu rumah. Semakin ke dalam, semakin ia dapat melihat sosok Amabea Luksita yang terbujur kaku di atas ranjang. Sosok neneknya. Ketika mengitari ranjang, ia disambut dengan gerakan iris mata, satu-satunya hal yang membuat Karen tahu bahwa sang nenek masih hidup dan menyadari kehadirannya.

          Separuh bagian tubuh Amabea Luksita mengilap seperti kristal yang menggosong dan menguarkan bau timah. Tubuh itu tak dapat bergerak sama sekali, bahkan untuk menengokkan kepala dan tersenyum pun begitu sulit. 

          Karen duduk pada kursi dekat nakas. Memperhatikan nenek seperti ini selalu membuat matanya panas. "Aku pulang, Nek. Maaf udah bikin nenek nunggu lama." Ia berkedip beberapa kali demi menahan buliran bening jatuh dari pelupuk mata. "Maaf baru bisa jenguk nenek sekarang, dan bikin waktu temu kita jadi sedikit." 

          Karen mengeratkan kepalan tinju di atas pangkuan. Ia menunduk, mengeraskan rahang, meringis pedih atas segala kejadian yang baru saja dilaluinya. Kejadian yang membuatnya datang terlambat untuk menjenguk nenek. Dalam hati ia merutuki Ray, merutuki penjaga gerbang, merutuki dirinya yang tak bisa menolong orang ... merutuki semuanya. 

KATASTROFEWhere stories live. Discover now