bab 1

2.3K 118 6
                                    

•happy reading•


Malam semakin larut, jam sudah menunjukkan pukul setengah satu pagi, namun Altezza sama sekali tidak menunjukkan kalau dirinya akan pulang.

"Kapan suami Zefa bisa kayak orang-orang ya? Zefa cape" Zefa berbicara sendiri. Perempuan polos dan lugu itu menyandarkan kepala di sofa. Tangisannya luruh mengingat awal pertemuannya dengan Altezza.

Plak

"Cewek miskin kayak lo gak usah sok-sokan kuliah di sini! Uang beasiswa aja bangga"

"Maaf Zefa cu--"

"Siapa kamu berani-beraninya memperlakukan dia seenaknya?  Kalau mau sok berkuasa bikin kampus sendiri!" Tegas Altezza, laki-laki itu menarik pergelangan tangan Zefa lembut, membawanya menjauh dari kerumunan. Tidak mempedulikan atau mendengarkan penjelasan dari orang yang baru saja membully Zefa.

"M..m..makasih" gugup Zefa berusaha menarik tangan. Altezza tidak bergeming, ia masih terus menggenggam tangan Zefa, menarik Zefa agar duduk di samping, mengeluarkan sapu tangannya.

Mengelap dengan hati-hati. Segala perlakuan Altezza Padanya Zefa perhatikan baik-baik. Bulu mata tebal, hidung mancung dan jangan lupakan bibir seksinya tidak baik untuk kesehatan jantung Zefa "kenapa tidak melawan?" Tanya Altezza setelah membersihkan luka dipergelangan tangan Zefa.

"Ze..Zefa takut" cicit Zefa mengalihkan pandangan.

"Takut? Kenapa?"

"Mereka bakalan usir Zefa kalau Zefa ngelawan"

"Hmm.. kamu percaya mereka bisa melakukannya?" Altezza tertawa gemas melihat Zefa yang mengangguk lucu. Tidak sadar tangannya mengacak rambut Zefa pelan, lalu setelah sadar dengan kelakuannya barusan, Altezza langsung menarik tangan.

"Jangan takut, kalau mereka ngapa-ngapain kamu, saya bakalan urus masa depan mereka bakalan sulit"

"Kenapa kakak baik sama Zefa?" Tanya Zefa lugu.

"Karena kamu juga orang baik. Ya sudah, tunggu di rumah kamu. Saya akan datang malam nanti, dimana ponsel kamu?"

Menaikkan alis. Altezza dibuat bingung karena Zefa menggeleng "Zefa gak punya ponsel" akunya jujur, perempuan itu mengusap air matanya.

"Baiklah tidak pa-pa. Kita belum berkenalan nama saya Altezza, terserah kamu mau panggil apa"

"Panggil kak Eza?"

"Hm boleh, kembali kekelas. Mata kuliah kamu sebentar lagi akan dimulai" ujar Altezza setelah menilik arlojinya.

Niat Zefa ingin bertanya darimana Altezza mendapatkan informasi tentang dirinya urung karena mata kuliahnya akan dimulai sebentar lagi.

Malam hari Zefa pulang ke rumah, perempuan itu kaget karena Altezza sudah duduk di ruang tamu dan berbicara dengan ibunya.

"Zefa, kamu dari mana?"

Mendekat. Zefa mencium tangan Ratu, ibunya "lembur Bun, tadi Zefa dapat uang tambahan juga" ceritanya dengan mata berbinar.

"Kasian anak bunda cape. Ya sudah mandi dulu, bunda siapkan makan malam, nak Eza tidak pa-pa kan menunggu?" Altezza menggeleng.

"Gak usah repot-repot Bu. Saya akan bicara langsung ke intinya saja"

"Ya sudah minum saja ya?"

"Boleh"

Setelah beberapa lama, Ratu dan juga Zefa duduk di depan Altezza.

"Jadi maksud saya ke sini untuk melamar Zefa. Lamaran ini belum resmi, nanti saya akan membawa orang tua saya. Kali ini mereka sedang tidak ada di Indonesia jadi saya kesini lebih dulu untuk mengajukan lamaran sekaligus meminta izin pada anda sebagai ibunya Zefa"

Ratu tersenyum, dia melihat Zefa yang melongo kaget "kamu pacar Zefa? Sejak kapan kalian saling kenal?" Tanya Ratu ingin menggali informasi. Namun baik dari pihak Zefa ataupun Altezza sama-sama menggeleng tidak tahu.

"Zefa gak pacaran bunda. Zefa juga gak ngerti, kak Eza salah orang atau salah makan sih?" Zefa jadi pusing sendiri.

"Tidak, saya ingin menikah dengan kamu tanpa menjalin hubungan yang labil seperti pacaran atau sejenisnya. Katakan iya atau iya?"  Altezza beralih pada Ratu "apakah anda memberi izin?" Ratu tersenyum.

"Panggil bunda saja. Bunda ngikut Zefa, kalian ngomong berdua dulu bunda tinggal. Pikirkan baik-baik, kalian sama-sama belum saling kenal lho" Ratu menepuk-nepuk punggung Altezza.

"Bunda percaya kalau kamu akan jadi suami yang baik untuk putri bunda"

"Terimakasih"

"Zefa" panggil Altezza lembut.

"Bicara diluar aja, gak enak kedengaran bunda" Altezza menurut, mereka duduk di teras Zefa.

"Kak, kita belum kenal. Gimana bisa kakak langsung lamar aja sa--"

"Kamu butuh uang kan?" Pertanyaan itu tepat sasaran. Zefa sangat butuh uang untuk sekarang. Rumah mereka sudah semakin tua dan tabungan ayah Zefa semakin menipis.

"Iya" angguk Zefa.

"Kamu bisa mendapatkan uang dari saya dan juga renovasi rumah lebih dari yang kamu bayangkan. Asal kamu mau menikah dengan saya"

"Zefa orang miskin kak" Zefa menatap Audi milik Altezza "bahkan melihat mobil kak Eza saja Zefa sudah merasa kalau level kita itu beda. Alasan kak Eza mau nikah sama Zefa apa? Zefa jauh di bawah perempuan perempuan yang mungkin bisa kak Eza dapatkan"

"Saya maunya kamu. Pikirkan baik-baik, ini ponsel" Altezza mengeluarkan smartphone dari dalam saku, keluaran terbaru dan juga dari perusahan keluarganya "buka dokumen yang ada di sana, saya sudah sisipkan kontrak jika kamu mau menikah dengan saya. Saya akan jamin kamu hidup bahagia"

"Bahagia ya kak? Bahagia dengan harta melimpah ini?" Kekeh Zefa. Lalu memejamkan matanya.

Sementara itu Altezza melirik jam tangan, ini sudah pukul dua pagi. Tadi ada pekerjaan tambahan yang membuat Altezza pulang terlambat. Seharusnya jam 8 malam dia sudah ada di rumah dan bisa melihat gadis kecilnya itu.

"Zefa!"  Begitu sampai di rumah, Altezza berjengit kaget karena Zefa tertidur di sofa dengan sebuah dokumen yang ada di meja. Tangan Altezza terulur untuk mengambil kertas itu.

Tangan Altezza mengepal. Urat-urat leher dan juga urat-urat tangannya menonjol. Laki-laki itu tidak tahu harus mengatakan apa "surat pisah? Apa yang membuatnya seperti ini?" Gumam Altezza tersenyum miris.

Apa sikapnya membuat Zefa tidak nyaman? Sebisa mungkin Altezza menjaga jarak untuk membuat Zefa bahagia tapi sepertinya cara itu salah. Apa uang yang diberinya setiap bulan kurang? Tidak? Uang itu bahkan tidak tergerak banyak dari saldo Zefa.

Altezza berjongkok, duduk di karpet, menatap wajah Zefa yang tertidur dengan tenang "eh!" Zefa terbangun karena Altezza yang mengusap pipinya lembut.

"Kak Eza kenapa nangis? Zefa gak mati kok" celetuk Zefa kelewat polos. Altezza tersenyum manis, seperti biasa, dia tidak banyak bicara hanya tersenyum dan mengacak singkat rambut Zefa. Bersikap lembut dan dingin sekaligus.

"Kalau kamu mau pisah gak pa-pa. Tunggu beberapa bulan lagi. Saya menikahi kamu juga untuk pengalihan perusahaan, setelah itu saya akan memberikan kamu bagian juga. Berbahagialah" Altezza bangkit, mengunci pintunya. Masuk kekamar mandi, mengabaikan gedoran pintu dari Zefa.

•vote-coment•

RestartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang