Bab 28 - Wajah yang Mirip Mantan

Start from the beginning
                                    

Tak lama, dokter Winda datang memeriksa kondisi bekas operasi dan menempelkan plaster anti air yang tidak boleh dilepas sampai seminggu ke depan.

Aku pun sudah berusaha bergerak ke kanan dan ke kiri. Dokter mengatakan bahwa aku belum boleh duduk. Kateterku baru akan dilepas sore nanti. Setidaknya aku harus banyak bergerak semampunya agar sakit paska operasi tidak terlalu mengganggu nanti. Mumpung obat pereda sakit yang dialirkan lewat infus di tanganku masih ada.

Sebelum jam makan siang, bayiku dibawa ke ruang rawat untuk observasi harian. Semua tampak baik-baik saja. Ya .... Semoga.

Ketika aku sedang menikmati nasi goreng sosis, segelas jus alpukat, dan tempura udang, suara ketukan pintu dan suara salam dari Mas Bram terdengar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ketika aku sedang menikmati nasi goreng sosis, segelas jus alpukat, dan tempura udang, suara ketukan pintu dan suara salam dari Mas Bram terdengar. Aku menarik jilbab instanku dari tepi kasur dan mengenakannya. Jilbab sepanjang pinggang itu langsung menutupi tanganku yang hanya mengenakan baju pendek dari rumah sakit. "Masuk."

Suara derap langkah terdengar disusul gorden yang terbuka lebar. Mas Bram hadir dengan seplastik apel dan sebuah tas kertas cokelat di tangannya.

"Gimana kondisimu?"

"Alhamdulillah, debay dan aku sehat." Aku membalas senyum ramahnya.

"Terima kasih tiketnya. Mama dan Mbak sedang terbang ke sini. Katanya akan sampai ke rumah sakit sekitar jam empat." Aku menatapnya penuh syukur dan terima kasih. Mas Bram mengenakan kemeja abu-abu gelap dan celana panjang hitam. Kurasa ini harusnya setelan kerjanya, tanpa jas. Mungkin dia merasa terlalu formal untuk menjenguk ke rumah sakit hingga melepaskannya.

"Iya, aku minta mereka ke hotel dulu baru nanti ke sini saat jam jenguk sore. Biar sekalian kujemput." Mas Bram menurunkan buah apel dan kantong kertas untuk diletakkan di nakas. Pria itu tanpa suara mengangkat kursi bulat tanpa sandaran dan meletakkannya satu meter di sisi ranjang. Sebuah piring kertas pun terlihat ketika Mas Bram mengeluarkan isi kantong bersamaan dengan sebuah pisau kecil. Setelah duduk, dia pun mulai memotong apel.

Aku mengerjap tak menyangka Mas Bram ternyata pandai mengupas buah. Aku bahkan masih menggunakan peeler jika mengupas apel.

"Aku suka masak," jelasnya seolah mengerti keherananku. "Aku pemilik perusahaan pengolahan ikan. Wajar, kan kalau aku suka memasak?"

"Justru hebat!" potongku cepat. "Mas benar-benar sepenuh hati menjalankan perusahaan."

Mas Bram sejenak menghentikan gerakannya dan mengangkat kepala menatapku. "Syukurlah kalau kamu merasa begitu."

Aku merasa ada kepahitan dalam suaranya. "Ada masalah?" Aku memberanikan diri bertanya.

Mas Bram hanya menggeleng. "Tidak perlu memusingkan aku." Satu apel sudah dipotong dan dikupas. Piring kertas yang dibawanya pun sudah terisi dan diletakkan di meja makan bersebelahan dengan makan siangku. "Oh, iya. Sudah ada ide nama anak kita?"

Kali ini giliran yang yang menggeleng lemah. "Mas sudah lihat bayinya?"

Mas Bram mengangguk. "Ganteng, ya!" Matanya terlihat berbinar. "Hidungnya mancung sekali."

Aku terdiam. Memang salah satu yang kusuka dari Mas Adnan adalah hidungnya yang mirip orang blasteran. Begitu lurus dan mancung.

"Iya. Mirip papa kandungnya," bisikku. Ada ragu kembali menggantung di udara.

"Iya juga." Mas Bram kini bergerak mengupas sepoting pir seolah tidak terjadi apa-apa.

Aku sungguh tak bisa membaca ekspresinya sama sekali. Tiba-tiba dia mendongak. Menatapku dalam dan terkekeh. "Astagfirullah! Kamu khawatir kalau aku jadi membenci bayi kita hanya karena dia mirip Adnan?"

Aku tak mampu menjawab. Bagaimana dia bisa selalu menebak jalan pikiranku?

"Ekspresimu mudah sekali dibaca, Raya. Kalau berurusan dengan tender dan presentasi perusahaan, kamu harus belajar untuk menyembunyikan ekspresimu dan sebaliknya membaca ekspresi lawan bicaramu." Mas Bram melanjutkan kegiatannya.

Namun, aku masih tak tahu harus berkata apa.

"Justru bagus kalau anak kita mirip Adnan. Orang akan tahu itu anak yang lahir atas hubungan halal dan diridhoi Allah." Mas Bram menambahkan beberapa potong pir ke piringku. "Bayangkan kalau bayi itu mirip sama aku. Kan gawat!" Tawa lebar terdengar panjang dan terasa riang.

Aku merasa mataku memanas. Tanpa terasa satu tetes mengalir jatuh. Aku tak menyangka Mas Bram begini hebat menerimaku apa adanya. Semua kelemahanku juga bayiku.

"Kok malah nangis?" Mas Bram panik dan mencari-cari tisu dan diberikan di sisiku. "Maaf, aku menyinggung, ya?"

"Enggak, Mas. Aku terharu. Aku bahagia."

Mas Bram terdiam sejenak sebelum menyunggingkan senyum termanisnya. "Alhamdulillah. Weekend ini, satu hari setelah kamu keluar dari rumah sakit, kita adakan akad nikah di rumahku."

Aku membeliak. "Cepat sekali?"

"Tidak perlu berias. Kamu masih pakai kursi roda pun tak apa. Pernikahan hanya akan dihadiri orang tua kita, kakakku, dan beberapa saksi. Semua di lakukan di rumahku supaya nggak repot."

Aku menelan liur tak yakin. Rasanya tidak enak tidak tampil maksimal di hari istimewa. Bahkan Mas Bram sudah rela mempersiapkan itu semua tanpa membebaniku sama sekali.

"Aku akan berias meski sederhana, Mas. Dan harusnya, aku sudah bisa berjalan meski pelan banget." Aku meringis mengingat kateter yang masih terpasang dan nyeri yang kualami bahkan untuk makan siang dalam posisi setengah tidur seperti ini.

"Enggak usah memaksakan diri. Yang penting 'kan sah. Pengantin wanita cukup tunggu di ruangan." Mas Bram memasukkan kembali pisau ke tas kertasnya.

Aku pun hanya bisa menyetujuinya.

"Oh, aku sebenarnya sudah ada ide nama buat bayi kita." Mas Bram menampilkan wajah penuh semangat.

Aku membeliak. "Apa?"

"Daffa Ezhar Bimantara." Sejenak Mas Bram memberi jeda. "Pria yang mampu membesarkan hati dan bersinar gemilang dari keluarga Bimantara."

"MasyaAllah! Deal!" Aku langsung mengangkat jempolku penuh kekaguman. Aku sebagai ibunya malah sibuk mengkhawatirkan bagaimana jika Mas Adnan begini dan begitu kelak. Mas Bram justru sudah bersusah payah mencarikan nama terbaik buat anakku.

"Panggilannya Daffa boleh?" Mas Bram meminta izinku.

Aku langsung setuju tanpa pikir panjang.

Semoga, Mas Adnan tidak akan merebut Daffa. Semoga Allah senantiasa melindunginya. Namun, firasatku masih tidak bisa tenang.

 Namun, firasatku masih tidak bisa tenang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

18 Agustus 2023

Lagi bikin adegan akad nikahnya didetailin apa langsung aja, ya?

Buat yang udah baca di KBM kan tahu banget bedanya antara versi KBM sama versi Wattpad, ya? 

Cuma, aku mikir, kalau kupanjangin, takut kepanjangan. Wakakakakak

Menurut Kakak-Kakak gimana?

Shirei masih batpil. Trus tanggal 27-4 mau mudik ke Trenggalek Jawa Timur. Ada yang rumahnya dekat-dekat sini?

Mbuh bisa aupdate atau enggak, ya. Semoga sih tetap bisa up. Tapi nggak janji. T_T


Vote : 198

Putra yang Tak Kupunya x Ketabahan Seorang JandaWhere stories live. Discover now