Bab 11 - Bertemu Calon Mertua

6.2K 735 131
                                    

DAPAT 88 Vote [Total jadi 534 vote], UPDATE LAGI Selasa.

Kalau enggak, ya Rabu!

Teriiiima kasiih sudah menunggu. Qadarullah jumlah vote-nya juga ga sampe 88.  Jadi, sekalian ga up pas Jumat.

Rabu Insyaallah  akan ke RS lagi. Mungkin  update telat. Doakan  cabut benang jahitannya lancar, ya....

Pagi tiba dengan cahaya mentari yang bersinar sangat cerah

Ops! Esta imagem não segue as nossas directrizes de conteúdo. Para continuares a publicar, por favor, remova-a ou carrega uma imagem diferente.

Pagi tiba dengan cahaya mentari yang bersinar sangat cerah. Perasaan hatiku sudah sangat membaik. Ibu juga sudah ku-video call selepas subuh. Sesuai dugaan, beliau bahkan menangis haru. Ibu mengatakan mungkin ini adalah takdir Allah untuk menjauhkanku dari orang bejat seperti Mas Adnan. Kemudian Allah memberikan Mas Bram sebagai pelipur semua duka yang kualami. Beliau banyak berpesan agar aku jangan terlalu merepotkannya, menurut pada mertua, dan selalu bersikap sopan.

Namun, yang paling membuatku sedih justru bagaimana Ibu terus meminta maaf. Beliau merasa kalau semua kejadian buruk yang kualami karena beliau yang memaksaku cepat-cepat menikah. Ibu merasa, andai saja beliau bersabar sedikit saja, mungkin aku bisa langsung menikahi Mas Bram dan tidak perlu mengalami segala macam penderitaan.

Padahal, Allah sudah menggariskan takdir terbaik bagi setiap hamba-Nya. Aku mungkin saat ini belum tahu apa alasan Allah membuatku menikahi Mas Adnan terlebih dahulu. Namun, aku mulai bisa ikhlas dan percaya kalau inilah jalan terbaik bagi kami.

Aku sarapan dengan lebih lahap. Roti lapis isi daging lembut, puding, semangka potong, dan susu menjadi menu di pagi yang tenang ini. Ketika dokter spesialis kandungan sudah datang, aku pun dibawa ke ruang periksa kehamilan untuk di-USG.

"Alhamdulillah bayinya sehat. Jangan kecapaian lagi, ya, Bu." Dokter Winda tersenyum.

"Apa saya boleh langsung bekerja kantoran, Dok?" Aku ingin secepatnya bekerja. Tak enak rasanya bergantung pada Mas Bram terus-menerus meski tampaknya dia pun tidak keberatan.

Dia menatapku lembut. Senyum teduh terpancang di wajah yang berbalut jilbab lebar. Ah, aku ingin bisa memiliki wajah seteduh itu. Seolah tanpa beban dan hidup begitu penuh rasa syukur, juga kebaikan.

"Saya sarankan untuk beristirahat sampai akhir minggu. Nanti Ahad, saya cek lagi. Kalau kondisinya baik, Insyaallah Senin boleh bekerja."

"Wah terima kasih!" Hanya dua hari aku akan beristirahat. Yes! Alhamdulillah!

"Tapi," potong Dokter Winda, "jangan bekerja terlalu berat. Soalnya, meski janin yang ini cukup sehat, tapi Ibu ada riwayat kuret kurang dari satu tahun. Saya masih khawatir."

Aku mengangguk. "Saya Insyaallah akan menjaga dedek bayi sebaik mungkin, Dok. Saya nggak mau bayi saya meninggal lagi."

"Alhamdulillah."

Begitulah, Mas Bram yang kukirimi pesan kalau aku sudah boleh keluar rumah sakit siang ini, langsung datang dengan segera.

Dia masuk ke ruangan dengan pakaian kerja khasnya. Kemeja polos warna gelap dan celana bahan slim fit hitam. Meski ini hari Jumat, tapi tampaknya dia melepas jas dan dasinya agar lebih nyaman saat menjengukku.

Putra yang Tak Kupunya x Ketabahan Seorang JandaOnde as histórias ganham vida. Descobre agora