02:B.Beginning, Starting

32 5 6
                                    

Waktu itu adalah hal yang relatif dan itulah faktanya, sebab Linnea telah mengalaminya sendiri.

Seolah baru sehari sebelumnya dirinya dimarahi, kenyataannya seminggu telah berlalu. Kalau bukan karena melihat tanggal pada komputernya, gadis itu sudah dipastikan lupa hari.

. . . Tepat pada saat Linnea mengungkap kondisi kamarnya yang mengerikan, Lia memberinya senyum, dengan dekorasi aura kematian yang mencekam.

Gadis itu mau tak mau harus mendapat hujan omelan tanpa henti. Termasuk dari para pembantu yang harus membereskan kamarnya, yang kemudian memberi ceramah panjang, sepanjang masa, tanpa mempedulikan mata gadis itu yang sudah terlihat tak bernyawa.

Belum cukup dengan itu, adiknya sendiri turut andil dalam memarahinya habis-habisan. Dan saat itulah figur serta harga dirinya sebagai seorang kakak hancur. Hilang, berubah menjadi atom.

Pada akhirnya, tidak ada lagi kamar yang terkunci rapat bersama rahasianya. Untuk mencegah hal itu terulang dikemudian hari, kunci duplikat kamar gadis itu dibuat untuk mengawasinya. Yang kemudian dipegang beberapa orang termasuk Lia, Haris dan adiknya sendiri yang bersikeras untuk mengawasi sang kakak.

. . .

"Kakaaak. . ." sebuah rengekan manis terdengar di perpustakaan keluarga Amaryllis.

Linnea yang terlihat lelah akhirnya memberi tanggapan mendengar rengekan tanpa henti adiknya. "Hmn, ada apa?"

"Kak, maafin Luna. . , Luna sebelumnya kelewatan." kata Luna penuh penyesalan, yang segera dilanjut dengan sebuah alasan. "T-tapi! Kakak sendiri kok kamarnya bisa. . , uh, bisa. . ."

Bingung mencari kata yang tepat untuk menggambarkan kamar kakaknya yang terlalu luar biasa, Luna akhirnya terdiam dan mulai berpikir keras.

Disisi lain, Linnea hanya memberi sebuah helaan pendek saat mendengarnya. Ia sendiri tidak lagi memikirkan hal itu, karena ia memang mengakui jika dirinya pantas untuk dimarahi.

Tapi. . !

Ia memiliki alasan untuk sikapnya yang terlihat mengabaikan adiknya sendiri. Sebab selama Luna berada didekatnya, ketenangan yang diinginkan gadis itu tidak akan pernah datang.

Terutama saat ini, dimana dirinya ingin menghabiskan waktu beberapa hari yang santai dengan membaca buku.

Sayang, caranya mengabaikan Luna berakhir menjadi senjata makan tuan, dan menyebabkan Luna salah paham soal sikap sang kakak. Sebelum akhirnya berubah menjadi permintaan maaf yang datang secara berlebihan.

'Adik manja. . . Uh-huh. . .' pikir Linnea, menggelengkan kepala.

Linnea yang merasa cukup dengan itu pun menyerah, beralih menatap Luna yang sedang tertunduk lesu disebelahnya. Meletakan tangan di kepala adiknya, ia mulai membelainya dengan lembut.

"Lupakan. . ."

"Kakak. . . enggak benci Luna?" tanyanya dengan wajah memelas.

"―Urk. . ." Sebagai seorang kakak, Linnea merasa seperti hatinya sedang ditusuk jarum tanpa ampun yang membuatnya menunjukkan wajah masam.

Tersenyum kaku, Linnea segera menjawab. ". . . Nggak."

Bagaimana bisa dirinya membenci adiknya yang begitu perhatian? Kalau hal itu sampai terjadi, jelas ada yang salah dengan dirinya sendiri.

. . .

Ditempat itu, kakak adik yang sedang duduk berdampingan terlihat kontras.

Memiliki wajah yang sangat mirip, dengan sekali lihat orang-orang bisa menyimpulkan jika keduanya memiliki hubungan darah. Dan tidak jarang juga ada yang salah mengira kalau keduanya adalah kembar.

Terris Story : Someone/ThemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang