About That Girl

55 6 4
                                    

Linnea namanya, lengkapnya Amaryllis Illian Linnea. Seorang anak sekolahan biasa dengan nilai akademik yang bisa dikatakan, cukup baik?

Ya, cukup baik kata orangnya sendiri.

Tapi dimana definisi kata "cukup" -nya jika hampir seluruh angka-angka itu selalu diatas sembilan puluh? Dari mata pelajaran logika yang memeras otak bak kain cucian. Sampai mata pelajaran memori yang membuatmu merasa seperti Google search engine.

Faktanya, Linnea adalah seorang multi-talent yang cukup dibanggakan oleh sekolahnya.

. . .

Tengah hari yang berawan di Yogyakarta High School.

Kriiiiiiinggggg!

Bel tanda istirahat berbunyi nyaring diseluruh penjuru sekolah.

"Baik, semuanya silahkan istirahat." kata seorang guru laki-laki begitu bel berhenti.

Dan setelah sang guru keluar ruangan, seisi kelas tetap pada tempat duduknya sejenak. Entah itu bersandar pada kursi atau menaruh kepalanya di meja. Beberapa sekedar mengobrol dengan teman didekatnya.

. . . Kecuali seorang yang tetap menggoreskan tinta pada buku tulis didepannya.

"Murid teladan emang beda. . ." celetuk seorang murid perempuan, sedikit menyindir; namun tentunya dengan lirih agar orang yang dimaksud tidak menyadarinya.

Waktu pun berlalu hingga seisi kelas telah keluar ruangan. "Um. . . selesai."

Menutup buku tulisnya, ia akhirnya beranjak keluar kelas. Pergi menuju kantin sekolah yang sudah tidak terlalu ramai antrian.

Namun, setiap langkahnya diluar ruang kelas menjadi perhatian murid lain. Meski tidak nyaman, Linnea sudah mulai terbiasa dengan tatapan seperti itu setelah bertahun-tahun.

Menjadi seorang dengan berlatar belakang hebat, dan meskipun enggan, sesuatu seperti ini tidak bisa dihindari sama sekali. Termasuk dirinya yang berasal dari keluarga Amaryllis.

Singkatnya, keluarga Amaryllis berisi orang-orang yang memegang kedudukan ataupun memiliki image besar di masyarakat. Dan meskipun Linnea hanyalah seorang murid yanh belum selesai mengempu pendidikannya, prestasi yang ia capai sendiri tidak bisa diabaikan.

Ia sendiri sebenarnya merasa lebih nyaman untuk mendapat pedidikan secara privat, dan sudah beberapa kali meminta kepada orangtuanya. Tapi permintaannya itu hanya membuatnya berakhir mendengar tolakan mentah-mentah setiap saat.

Alasannya sendiri cukup sederhana. Pelajaran interaksi sosial dengan pertumbuhan mental di lingkungan masyarakat itu adalah penting. Mereka jelas tidak mau jika Linnea menjadi seorang yang kesulitan melakukan interaksi sosial dikemudian hari.

'Lelah. . .' keluhnya dalam hati, sambil memasang wajah datar. Mengabaikan bisikan-bisikan dibelakangnya, ia segera bergegas.

Sampai tujuan, Linnea dengan cepat membeli roti isi dan satu cup kopi instan yang merupakan menu hariannya. Dan setelah mendapatkan semuanya, ia langsung berjalan pergi dari tempat itu secepat mungkin, menghilang dari pandangan.

. . .

Disebuah ruangan sepi, satu dari sekian banyak deretan ruang ekstra kulikuler disekolah itu. Papan bertuliskan Ruang Ekstra Kulikuler - Sejarah tergantung pada pintu coklatnya. Satu-satunya tempat dimana Linnea bisa menikmati waktunya tanpa tatapan-tatapan itu.

Mungkin karena minat para murid pada hal-hal sejarah tidak terlalu banyak, sekaligus stigma pelajaran sejarah yang dianggap membosankan; Ekstra kulikuler sejarah hanya diikuti oleh sedikit orang termasuk dirinya.

Ruangan itu sendiri tidaklah buruk. Mirip perpustakaan mini dengan beberapa rak penuh buku di sisi kiri dan kanannya. Meja dan kursi ditata membentuk huruf U mengarah ke pintu masuk. Dan terakhir, deretan jendela yang tertutup gorden biru muda pada bagian seberang ruangan.

"Huuf. . ." Linnea menghela pelan. Ia memilih salah satu buku dari rak, kemudian duduk pada meja paling belakang diruangan itu, meja tengah yang diapit sisi kiri dan kanan. 

"Apa kita bisa terus bertahan, Alice?" Ia bertanya dengan suara kecil.

. . . Sunyi.

Sebuah pertanyaan monolog. Jelas dikatakan sebuah monolog dengan tidak adanya kehadiran orang lain di ruangan tempatnya berada sekarang. Tapi itu hanya berlaku dalam sudut pandang orang lain, karena. . .

'Harus!' jawab sebuah suara dengan nada yang menyemangati.

"Um. . , baiklah." katanya lirih sambil menjejalkan roti masuk kemulutnya, memperlihatkan tatapan kosong.

Linnea masih mengingat masa lalunya yang tidak menyenangkan. Saat dimana dirinya dianggap sebagai orang aneh, dijauhi dan dikucilkan.

Alasannya adalah satu hal.

Self Alternative Parallel Mind Syndrome.

Sebuah keadaan unik dimana dirinya bukanlah satu tapi lebih, seolah didalam tubuhnya ada 'dirinya' yang lain. Tapi itu bukanlah keadaan yang disebut Alter Ego ataupun penyakit mental lain yang disebut Multiple Personality Disorder, dan tidak pula Schizoprenia.

Linnea sendiri mengakui jika dirinya sulit untuk dikatakan waras dalam pandangan yang 'normal', tapi ia juga menyangkal untuk dikatakan gila.

Hanya saja, jika dilihat dari pandangan orang lain; Linnea secara sadar mampu untuk melakukan dua fokus tugas yang berbeda disaat bersamaan; dimana itu sebenarnya tidak mungkin untuk dilakukan oleh orang biasa. Dan ditambah dengan dirinya yang termasuk seseorang yang memiliki kualitas IQ superior, Linnea dikatakan sebagai jenius diantara jenius secara intelektual.

[Seolah-olah dirinya adalah dua orang.]

Namun, dibalik semua itu selalu ada kekhawatiran lain. Para psikolog, dan psikiater memiliki kesimpulan dan menjelaskan jika ada kemungkinan kecil yang bisa menyebabkan Linnea kehilangan <Dirinya> dengan perlahan.

Semua itu didasarkan pada pikirannya yang mampu bekerja secara paralel mandiri, dimana orientasi tentang kata <Aku> menjadi buyar. Dan sebab itu, pandangan orang-orang terhadapnya perlahan berubah menjadi —

— [Seorang jenius dengan masalah mental.]

Seseorang yang biasa dikenal sebagai Amaryllis Illian Linnea.

Dan juga seseorang yang akan dikenal sebagai Amaryllis Illian Alice.

Terris Story : Someone/ThemWhere stories live. Discover now