Ia hampir menemukan kegiatan Karen di dalam sana, ketika tetiba seseorang menyentuh pundaknya. Ia berjengit, buru-buru menghilangkan mantra sihir, buru-buru mengembalikan warna pupil seperti semula. Ia menoleh cepat. Dan di sampingnya itu, ada Vian, menatapnya dengan mimik penuh sesal.

          "Aku ngagetin kamu, ya? Maaf ...." Seperti biasa Vian selalu menunduk saat dalam keadaan canggung. "Tapi ... kenapa kamu di sini, Ray?"

          "Lho, kamu sendiri ngapain di sini?"

          "Oh, kalau aku, dipanggil sama Karen."

          Ray tak menduga Vian akan berujar sejujur itu. Ia pikir, pemuda culun itu akan memberikan gelagat-gelagat aneh, salah tingkah, dan akhirnya berpura-pura pergi dan kembali setelah Ray meninggalkan tempat ini. Kalau dipikir-pikir lagi, pengandaian seperti itu terkesan bodoh juga, ya.

          "Kamu gimana, Ray?"

          Atensi Ray kembali pada pertanyaan itu. Ia bersedekap seraya menjawab setenang mungkin. "Tadi saya nggak sengaja ngelihat Karen ke sini. Namanya anak baru, jadi saya penasaran, apalagi dia sama sekali belum nunjukin tempat ini ke saya. Padahal tempat-tempat lain—sampai kandang semut di kebun belakang Gedung I sekalipun—dia tunjukin semua kemarin." Ray tidak bohong. Ia betul-betul mengucapkan yang sebenarnya, kecuali pada kalimat yang mengandung ungkapan tidak sengaja melihat Karen.

          Vian mengangguk-angguk. "Oh, kamu kenal dia, ya? Wajar sih. Dia kan ketua Dewan Keamanan dan Ketertiban Mahasiswa merangkap asisten rektor kalau kata mahasiswa BIU." Vian memberikan cengiran itu lagi. Lalu, dengan polosnya, ia tawarkan Ray untuk ikut ke dalam Ruang Pengoperasian BIU. "Kamu mau ke sana juga, ketemu Karen?"

          Ray menolak halus dengan satu kali gelengan. "Kan cuma kamu yang dipanggil. Masa saya ikut-ikutan." Ia menunjuk ke lorong di sisi kanan, bermaksud undur diri. "Saya kayaknya mau langsung pulang. Titip salam aja buat Karen, ya."

          Tungkai Ray menderap. Ia melangkah pergi. Sementara Vian, masih dengan senyumannya, mengawasi Ray dari balik kacamata pilfrof.

***

          Lantunan Mother Earth menggema. Musik karya musisi kenamaan Indonesia abad 21 ini beresonansi dalam telinga Ray setelah ia kaitkan wireless earphone di sana. Sembari bersandar pada hyperbike22) di atas jembatan kota, ia menoleh ke arah selatan, ke perbukitan yang masih banyak dihiasi hutan. Ia melihat tebing serta air terjun yang memancur deras di sana, pada wilayah di mana BIU berada. Air terjun itu meski jauh, terasa memercik hingga ke salah satu telinga Ray yang tak tertutupi wireless earphone, sehingga suaranya yang menenangkan menyatu dengan alunan Mother Earth.

If the forest was your birthplace

And the mountain was your castle

Now, those all were gone

          Ray melipat kedua lengan di depan dada, menatap jauh pada langit di atas perbukitan. ia teringat akan perkataan Karen saat mereka berada di lorong menuju Diorama BIU. Karen bilang, Buru masih memiliki banyak hutan yang luas dan alami, dan menyarankan Ray untuk menjelajahinya. Gadis itu begitu percaya diri ketika berujar bahwa penduduk Buru akan terus menjaga keasrian alam. Namun, Ray tidak yakin, seberapa lama kepercayaan itu menempati diri Karen.

If your friends were all around

And your beloved always close to you

Now, they all were gone

          Pandangan Ray beralih ke arah barat. Persis di hadapannya, kota yang amat megah dengan banyak gedung pencakar langit berjejer. Mereka berdiri gagah nan angkuh, dengan cahaya neon silih berganti menyinari malam yang tampaknya tak pernah gelap di sini. Gemerlapnya memang begitu indah dan memabukkan bagi sebagian besar orang, tapi tidak bagi Ray. Ia merasa ada sesuatu yang salah.

KATASTROFEWhere stories live. Discover now