Bab 29 - Perasaan Clara

1.8K 308 3
                                    

Puas mengomeli sang ketua Geng Rajawali, Clara melangkah memasuki ruang rawat inap Dewa. Gadis itu mendekat ke arah ranjang, tak berselang lama alisnya bertaut. Clara mengangkat tangannya dan menyentuh dadanya yang terasa nyeri ketika menatap kondisi Dewa. Terdapat memar di wajah lelaki itu dan luka berdarah di bibirnya.

Clara terus bertanya-tanya, mengapa dirinya merasakan perasaan aneh seperti ini? Rasanya menyesakkan, gelisah saat melihat Dewa belum juga sadar, dan perasaan aneh lainnya yang tidak masuk akal. Padahal, sudah jelas kalau lelaki itu baik-baik saja usai dioperasi, dan teman-teman gengnya pun berkata kepada Clara kalau luka tusukan Dewa tidak terlalu dalam, lantas mengapa dirinya masih saja seperti ini?

Semakin lama Clara memandang Dewa, semakin bertambah pula perasaan aneh yang terus menggumpal di dadanya.

“Gue kenapa sih?” tanya Clara sembari memukul dadanya pelan.

Di saat Clara masih sibuk dengan pikirannya, suara pintu yang dibuka membuat gadis itu menoleh. Terlihat Ibu Dewa berjalan tergesa ke arah ranjang.

“Dewa!” teriak Ibu Dewa.

Clara mengamati Ibu Dewa yang menangis di sebelah ranjang anaknya. Wanita itu menggenggam tangan Dewa masih dengan tangis yang tumpah. “Dasar anak nakal,” ucap wanita itu di sela-sela tangisannya.
Clara menatap Ibu Dewa dengan raut penasaran. Mengapa wanita itu menangis? Apa yang membuatnya sedih? Apakah karena Dewa yang masuk rumah sakit? Tetapi, Dewa hanya masuk rumah sakit dan sekarang kondisinya baik-baik saja, dia juga belum mati, lantas mengapa harus ditangisi?

Entah mengapa melihat Ibu Dewa yang menangisi lelaki itu membuat mata Clara terasa panas dan gumpalan aneh di dadanya kian bertambah. Dia merasa sesak dan seperti ingin mengeluarkan sesuatu, tetapi dia sendiri bingung apa itu, dan apa yang tengah dia rasakan saat ini.

“Clara, kapan kamu sampai?” tanya Ibu Dewa setelah menyelesaikan tangisnya. Wanita itu baru menyadari sosok Clara.

“Sekitar dua jam yang lalu, Tante.”

“Terima kasih sudah menjaga Dewa,” ucap Ibu Dewa sembari tersenyum.

“Ya,” angguk Clara.

Ibu Dewa kembali menatap sang anak yang masih terpejam. “Saya seorang Ibu yang buruk. Bagaimana bisa saya tidak tahu kalau Dewa mengikuti geng di sekolahnya bahkan terlibat tawuran? Sejak dulu saya hanya disibukkan dengan mencari nafkah sampai lupa mengurus anak saya sendiri. Ini semua salah saya.”

Kening Clara berkerut dalam. Di mana letak kesalahan Ibu Dewa? Padahal, anaknya terluka seperti ini karena ditusuk oleh anggota dari geng lain, bukan karena kesalahan Ibu Dewa. Terkadang Clara tidak mengerti dengan jalan pikiran orang-orang.

Puas memandangi sang anak, Ibu Dewa beralih menatap Clara. “Saya perlu keluar sebentar untuk mencari beberapa makanan. Apa tidak apa-apa kalau saya titipkan Dewa ke kamu?”

Clara mengangguk sebagai jawaban. Gadis itu menatap kepergian Ibu Dewa, kemudian pandangannya kembali tertuju ke arah Dewa yang masih betah menutup matanya.

Clara beranjak duduk di kursi kecil yang berada di dekat ranjang. Tiba-tiba saja rasa kantuk menyerang gadis itu. Dia menelungkupkan kepalanya di tepi ranjang, perlahan kedua matanya terpejam.

***

Elusan pada kepala membuat Clara tersadar dari mimpinya. Kedua mata gadis itu terbuka perlahan, dia mengangkat kepalanya dan menegakkan duduknya. Clara mematung sesaat ketika melihat Dewa tengah tersenyum ke arahnya.

Dewa beranjak duduk perlahan, masih menatap Clara dengan senyum yang terhias di wajah tampannya. “Lo nungguin gue dari tadi?”

Clara tak menjawab, gadis itu terdiam membisu dengan mata yang menatap lekat ke arah Dewa. Dia mengernyit ketika merasakan matanya memanas dan perasaan sesak di dadanya secara perlahan berubah menjadi sesuatu yang membuncah hingga membuatnya lega.

“Lo … nangis?” tanya Dewa dengan mata terbelalak. Dia melihat ada bulir bening yang menetes dari kedua mata Clara.

Clara mengerjap. Tangan gadis itu terangkat untuk menyentuh area matanya. Dan, benar saja, ada air mata di sana. “Gue nangis?” herannya.

Dewa mengangguk, membenarkan.

“Kok gue bisa nangis?” tanya Clara dengan raut bingung sembari menghapus sisa air matanya.

“Mungkin karena lo seneng lihat gue udah sadar?” tebak Dewa. Dia mulai percaya diri kalau Clara mengkhawatirkannya.

“Masa sih?”

“Hm. Lo khawatir sama gue, ya?” goda Dewa.

Clara terdiam masih dengan kening berkerut. Tak berselang lama gadis itu berdiri, mulai berjalan mondar-mandir sembari berpikir keras. “Nggak tahu, Wa. Rasanya aneh, gue nggak bisa tenang waktu lihat lo belum juga sadar. Dan, waktu gue lagi di rumah, gue nggak bisa fokus belajar cuma karena lo belum ngirim gue pesan, terus tiba-tiba perasaan gue jadi nggak enak. Anehnya, gue panik waktu Ares bilang ngeliat anak SMA tawuran dan ada yang mirip sama lo,” jujurnya.

Mendadak, Dewa merasa pusing ketika melihat Clara berjalan mondar-mandir di dekatnya dengan mulut terus mengoceh tanpa jeda.

Clara berhenti melangkah, gadis itu menyentuh dada kirinya. “Di sini rasanya aneh, kayak sesak gitu waktu ngeliat lo luka-luka dan belum sadar. Menurut lo, gue kenapa?”

Dewa tampak tertegun mendengarnya. Menyadari sesuatu, lelaki itu meraih tangan Clara lantas menggenggamnya lembut. “Lo khawatir sama gue, takut gue kanapa-napa.”

Clara tidak protes saat Dewa menggenggam tangannya, justru gadis itu beranjak duduk di tepi ranjang. Rasa penasaran masih menguasainya. “Tapi itu nggak masuk akal, padahal lo nggak kenapa-napa. Maksud gue, luka lo nggak parah dan nggak seharusnya gue kayak gini,” ujarnya.

“Wajar ngerasa kayak gitu, Clar. Kalau gue ada di posisi lo, mungkin gue bisa nangis. Semua orang punya perasaan empati, kalau ada seseorang yang dekat sama dia kenapa-napa pasti—” ucapan Dewa terhenti tiba-tiba.

“Kenapa?”

“Lo berempati ke gue,” kata Dewa.

“Hah? Gue?”

“Hm. Perasaan empati lo semakin berkembang, gue yakin itu.”

“Oh, ya?” Clara tampak senang saat menanyakannya.

“Iya. Mulai sekarang, lo juga harus menaruh perasaan empati ke orang lain, jangan cuma ke gue. Berlatih buat peduli sama orang lain, jangan terlalu cuek dan dipikir pakai logika, karena nggak semua hal bisa masuk di logika. Terkadang, ada beberapa hal yang cuma bisa pakai perasaan,” jelas Dewa. Lelaki itu terdiam sejenak dengan raut terkejut saat menyadari ucapannya. Anjay, kok gue jadi bijak gini?

Clara mengangguk paham. Beberapa detik kemudian, gadis itu mengulas senyum. “Wa, ini pertama kalinya gue nangis beneran. Jadi kayak gini rasanya nangisin seseorang,” ujarnya.

“Gue orang pertama yang lo tangisin?”

“Ya. Dulu gue pernah nangis juga, tapi terpaksa dan karena ikut-ikutan biar nggak dibilang aneh. Tapi, tadi tanpa gue paksa pun nangis secara otomatis. Wow,” takjub Clara.

Dewa terkekeh mendengarnya. Bola mata jernihnya memancar bahagia ketika melihat sang pacar tampak senang.

Tawa Dewa membuat Clara tertegun. Terdengar sangat merdu di telinganya, belum lagi wajah lelaki itu seakan bertambah tampan berkali lipat. Perlahan tangan gadis itu terangkat lantas memegangi dadanya. “Wa, kenapa jantung gue berdebar-debar?”

Dewa menghentikan tawanya. “Karena lo hidup?” sahutnya, mengikuti jawaban Clara tempo hari.

“Bukan! Bukan debaran yang kayak biasanya,” jawab Clara.

Clara memandang Dewa tanpa berkedip, selang beberapa saat debaran anehnya kembali muncul diiringi perasaan asing yang membuatnya agak gugup, tetapi menyenangkan. Dia bahkan ingin terus menatap Dewa, seperti ada magnet yang membuat matanya tidak bisa lepas memandang lelaki itu.

“Ini aneh,” ujar Clara.

“Aneh gimana?”

Mulut Clara terbuka lebar ketika teringat sesuatu. “Wa, jangan-jangan gue suka sama lo?”

Ambitious Girl (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang